translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Peran USG Sebagai Alat Bantu Diagnostik Pada Penyakit Demam Berdarah Dewasa

Perubahan patofisiologi yang penting pada penyakit demam berdarah (DBD) adalah permeabilitas kapiler yang meningkat sehingga menimbulkan kebocoran cairan plasma dari intravaskular ke ruang ekstravaskular. Menemukan secara awal adanya kebocoran plasma merupakan salah satu bentuk antisipasi terhadap terjadinya syok hipovolemik. Pemeriksaan hematokrit tidak selalu dapat diharapkan memberikan informasi adanya ekstravasasi. Pemeriksaan USG merupakan alternatif untuk mengetahui adanya ekstravasasi cairan. Tujuan penelitian. (1) Mengetahui gambaran USG pada pasien DBD berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskular, (2) Mengetahui nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% pada pasien dengan DBD dewasa. Rancangan penelitian. Deskriptif analitik Subyek penelitian. Sebanyak 60 pasien DBD dewasa di RS RK Charitas, Palembang, selama selama periode bulan Juli 2005 s/d Juli 2006 dilibatkan dalam penelitian. Analisis statistik. Data dianalisis menggunakan uji t-test dan korelasi Pearson Hasil penelitian. (1) Adanya ekstravasasi plasma dijumpai berupa penebalan dinding kandung empedu (76,7%), asites (56,7%), efusi pleura (48,3%), (2) Nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% dalam membantu menentukan adanya hemokonsentrasi memiliki sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value adalah; 42,0%, 81,8%, 80% dan 45%. Kesimpulan. (1) Pemeriksaan USG dapat membantu dalam menemukan adanya ekstravasasi plasma pada penderita DBD, (2) Peningkatan hematokrit >20% memiliki spesifisitas cukup tinggi namun nilai sensitivitasnya rendah.

JB Suharjo B Cahyono
Bagian Penyakit Dalam
RS RK Charitas, Palembang

Sampai saat ini infeksi virus dengue yang secara klinis dapat bermanifestasikan sebagai Demam Dengue (DD) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit DBD sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Angka fatalitas DBD berdasarkan laporan Sheng Lee1 dan Rahman berkisar 1,14%-1,2%.
Perubahan patofisiologi yang penting pada penyakit demam berdarah adalah permeabilitas kapiler yang meningkat sehingga menimbulkan kebocoran cairan plasma dari intravaskular ke ruang ekstravaskular. Perembesan tersebut secara klinis dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Mortalitas dapat mencapai 10-20%, dan akan menjadi 40% bila telah terjadi syok. Oleh sebab itu penanganan yang cepat dan tepat dapat menurunkan risiko mortalitas.
Menemukan secara awal adanya kebocoran plasma merupakan salah satu bentuk antisipasi terhadap terjadinya syok. Permasalahan dalam klinis sehari-hari adalah tidak mudah untuk mengetahui adanya perembesan plasma ke ruang ekstravaskular. Peningkatan hematokrit >20% sebagai gambaran adanya perembesan plasma seringkali sulit dinilai dalam praktek klinis sehari hari. Hal ini disebabkan karena sering tidak diketahui kadar awal dari hematokrit dan juga karena resusitasi cairan dapat mempengaruhi kadar hematokrit.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengetahui adanya kebocoran plasma sehingga risiko syok hipovolemia dapat diantisipasi secara lebih awal. Di daerah endemis infeksi demam dengue gambaran USG adanya penebalan dinding kandung empedu, efusi/asites pada pasien demam dapat membantu dalam menegakkan diagnostik adanya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
  1. Gambaran USG pada pasien DBD berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskular,
  2. Mengetahui nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% pada pasien dengan DBD dewasa.
Metodologi
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris, sebagai berikut:
  1. Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari,
  2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: uji torniquet positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis/melena,
  3. Pembesaran hati,
  4. Syok, dan kriteria laboratoris:
  • trombositopenia <100.000/uL,
  • hemokonsentrasi. Dua kriteria pertama ditambah dengan salah satu kriteria cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.
Alat ultrasonografi yang digunakan adalah Aloka seri SSD 3500, dengan menggunakan probe convex dengan frekuensi 3,5–5 MHz. Pemeriksaan USG dilakukan setelah pasien menjalani puasa selama 6 jam untuk memungkinkan distensi kandung empedu secara optimal. Dinding kandung empedu dikatakan abnormal bila tebal dinding posterior pada potongan tegak lurus dengan sumbu panjang dan sumbu pendek lebih dari 3 mm dan terlihat sebagai zona anechoic yang terlihat sebagai dinding berlapis dua. Hemokonsentrasi didefinisikan bila terjadi peningkatan kadar hematokrit >20%. Setelah diketahui adanya efusi dan asites melalui pemeriksaan USG maka keadaan klinis tersebut digunakan sebagai gold standar adanya kebocoran dinding vaskular dibandingkan dengan peningkatan hemotokrit >20% dan kemudian dilakukan uji diagnosa. Data dianalisis menggunakan SPSS 11.0. Analisis statistik menggunakan uji t-test. Analisis korelasi digunakan korelasi Pearson.
Hasil Penelitian
Selama periode bulan Juli 2005 s/d Juli 2006 didapatkan 60 pasien DBD yang terdiri dari 25 wanita dan 35 pria, berumur antara 15–60 tahun. Dari 60 pasien DBD tersebut 24 pasien diantaranya memiliki serologi positif, sedangkan sebanyak 36 pasien sisanya tidak dilakukan pemeriksaan serologi.
Hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan adanya bukti ekstravasasi plasma berupa; penebalan dinding kandung empedu (76,7%), asites (56,7%), efusi pleura (48,3%), dan peningkatan hematokrit >20% sebesar 31,7% (lihat tabel 1). Penebalan dinding kandung empedu berkisar antara 2-18 mm (rerata=7,9±3,7 cm), kadar trombosit antara 10.00–79.000/ul (rerata=29.500±14.263/ul), dan kadar hematokrit 37-60% (rerata=45,0±5,0%). Nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% dibandingakan dengan gold standar (adanya efusi dan asites pada pemeriksaan USG) masing-masing adalah: sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value (NPV) adalah; 42,0%, 81,8%, 80% dan 45%.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan adanya perembesan plasma dan peningkatan kadar hematokrit >20% pada pasien DBD

Tabel 2. Nilai sensetifitas, spesifisitas, PPV dan NPV peningkatan hematokrit >20% pada pasien DBD


Sensitivitas = 16/38 = 42,0%
Spesifisitas = 18/22 = 81,8%
Positive predictive value (PPV) = 16/20 = 80%
Negative predictive value (NPV) = 18/40 = 45%

Tabel 3. Korelasi antara penebalan dinding GB dengan perubahan nilai hematokrit, kadar trombosit dan kadar hematokrit

Pada tabel 3. dapat dilihat bahwa ada korelasi positif antara penebalan dinding kandung empedu dengan perubahan kadar hematokrit (semakin besar perubahan kadar hematokrit semakin tebal dinding kandung empedu).
Penebalan dinding kandung empedu dengan kadar trombosit memiliki korelasi negatif (semakin menurun kadar trombosit semakin tebal dinding kandung empedu). Sedangkan penebalan dinding kandung empedu tidak memiliki korelasi dengan kadar hematokrit. Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa apabila pasien DBD dengan penebalan kandung empedu, maka diperikirakan akan dijumpai asites dengan kemungkinan 69,5%. Sedangkan bila tidak mengalami penebalan kandung empedu kemungkinan tidak mengalami asites sebesar 92,9% (13/14x100%=92,9%).
Tabel 4. Tebal dinding kandung empedu (KE) pada penderita DBD dengan asites

Pembahasan
Pada umumnya kematian pada pasien DBD terjadi akibat syok hipovolemia, yang dilatarbelakangi oleh perdarahan masif atau karena merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien DBD, ultrasonografi dapat membantu menemukan adanya perembesan plasma dari intravaskular ke ekstravaskular. Ultrasonografi dapat dengan mudah mengidentifikasi adanya penebalan dinding kandung empedu, asites dan efusi pleura serta efusi perikardial (gambar 1 dan 2).
Penebalan dinding kandung empedu dan asites/efusi merupakan refleksi atau akibat dari kebocoran cairan intravaskular ke ruang interstitial/ekstravaskular. Ada beberapa kondisi penyakit yang dapat menimbulkan penebalan kandung empedu sebagaimana dilaporkan oleh Patriquin et al yaitu pada keadaan: hipoalbuminemia, asites dan hipertensi vena sistemik. Melani dkk melaporkan dalam penelitiannya bahwa ada korelasi positif antara tebal dinding kandung empedu dan berat penyakit DBD. Pada penelitian ini ditemukan ada korelasi positif antara peningkatan kadar hematokrit dengan tebalnya dinding kandung empedu, dan penebalan dinding empedu berkorelasi dengan adanya asites.
Adanya timbunan cairan di Morrison’s pouch dan spleno-peritoneal recess memberikan indikator spesifik adanya cairan dalam intraperitoneal. Secara ultrasonografi, adanya cairan sebanyak 30-40 cc yang berada di Morrison’s pouch dan spleno-peritoneal recess sudah dapat dideteksi yang digambarkan secara ultrasonografi sebagai moon crescent sign. Ultrasonografi lebih sensitif dalam menegakkan adanya efusi pleura dibandingkan foto toraks. USG mampu mendeteksi adanya cairan efusi meskipun hanya 3–5 cc, sementara foto toraks memerlukan minimal 50 cc.
Pada tabel 5 dapat dilihat perbandingan hasil beberapa penelitian pemeriksaan USG pada pasien dengan DBD. Pada penelitian ini adanya ekstravasasi plasma dijumpai berupa penebalan dinding kandung empedu (76,7%), asites (56,7%), efusi pleura (48,3%). Pada penelitian ini dijumpai efusi pleura kanan sebanyak 29 pasien (48%), efusi pleura kiri tidak dijumpai. Melani dan Pramulyo melaporkan hal yang sama di mana efusi pleura dijumpai pada sisi kanan dan bilateral namun tidak dijumpai efusi pleura kiri.
WHO telah memasukkan kriteria peningkatan hematokrit >20% sebagai salah satu kriteria diagnosis DBD. Idealnya pemeriksaan hematokrit secara serial harus dilakukan untuk mengetahui peningkatan kadar hematokrit. Namun dalam kondisi endemis sering pemeriksaan serial tidak selalu dapat dilakukan. Di samping itu penilaian kadar hematokrit sering sulit dinilai karena beberapa faktor, seperti; pengaruh infus cairan, ada/tidak riwayat anemia sebelumnya, ada/tidak perdarahan. Sharma hanya mendapatkan 19,7% hematokrit >20% pada pasien DBD. Pada penelitian ini peningkatan kadar hematokrit didapatkan pada 31,7%. Nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% yang menunjukkan adanya hemokonsentrasi memiliki sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value adalah; 42,0%, 81,8%, 80% dan 45%.
Nilai hematokrit yang normal tidak menjamin tidak adanya ekstravasasi cairan. Dilaporkan oleh Melani, 12 dari 13 pasien DBD grade III/IV dengan nilai hematokrit dan trombosit normal ternyata pada pemeriksaan USG semuanya dijumpai asites dan efusi pleura. Pramulyo melaporkan, efusi pleura ditemukan pada pasien DBD dengan trombosit normal (13,4%) dan hematokrit <40% (14,76%). Pemeriksaan USG pada DBD mempunyai korelasi positif yang bermakna antara efusi pleura/asites/penebalan dinding empedu dan berat penyakit DBD. Pada pasien dengan DBD ringan (grade I-II) efusi pleura, asites dan penebalan dinding kandung empedu didapatkan masing-masing; 30%, 34% dan 32%. Pada DBD berat (grade III-IV) efusi pleura, asites dan penebalan dinding kandung empedu didapatkan pada 95% kasus. Pada keadaan di mana secara laboratoris tidak dijumpai adanya peningkatan hematokrit >20% namun dicurigai adanya hemokonsentrasi atau ekstravasasi cairan maka pemeriksaan USG sangat membantu dalam menemukan adanya efusi dan asites. Manfaat lain dari pemeriksaan USG pada pasien DBD adalah bahwa adanya asites dan efusi pleura yang cukup banyak dapat menjadi pertimbangan kapan sebaiknya dapat dimulai diberikan cairan koloid.
Tabel 5. Perbandingan hasil pemeriksaan USG pada pasien DBD

Kesimpulan
  1. Berdasarkan pemeriksaan USG pada pasien DBD dijumpai adanya ekstravasasi cairan berupa penebalan dinding kandung empedu sebesar 76,7%, asites sebesar 56,7% dan cairan efusi pleura sebesar 48,3%.
  2. Nilai diagnostik peningkatan hematokrit >20% dalam membantu menentukan adanya hemokonsentrasi memiliki sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value adalah; 42,0%, 81,8%, 80% dan 45%.
Gambar 1. Cairan asites di peri vesica urinaria pada pasien DBD

Gambar 2. Efusi pleura kiri (volume sekitar 250 cc) pada pasien DBD 

*********************************************************************
 
  1. Sheng Lee, Pin Hwang K, Chieh Chen T, Po-Lian Lu, Tyen Po Chen. Clinical characteristics of dengue and dengue hemmorrhagic fever in a medical center of southern Taiwan during the 2002 epidemic. J Microbiol Immunol Infect 2006: 121-9
  2. Rahman M, Rahman K, Siddue AK, Shoma S, Kamal M, Ali KS, Nisaluk A, Breiman RF. First outbreak of dengue hemorrhagic fever, Bangladesh. Emerg Infect Dis 2002:738-40
  3. Sri Rezeki HH, Soegiyanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan, 2001
  4. Gibbons RV, Vaughn. Dengue escalating problem. BMJ 2002; 324:1563-66
  5. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment and control. Geneva, 1997
  6. Sharma S., Sharma SK, Mohan A, Wadhwa J, Dar L, Thulkar S, Pande JN. Clinical profile of dengue haeorrhagic fever in adults during 1996 outbreak in Delhi, India. Dengue Bulletin 1998: 22
  7. Venkata Sai PM, Krisnan R. Role of ultrasound in dengue fever. The British J Rad 2005; 78:416-8
  8. Melani W, Tatang K Samsi, Sugianto D, Wulur H, Setiawan J. Penebalan dinding kandung empedu pada penderita demam berdarah. Dalam: Prosiding dari Pertemuan Ilmiah Berkala Ultrasonografi VII Kursus Intensif Ultrasonografi Madya, Jakarta, 29 Juni- 3 Juli 1993.p.74-83
  9. Patriquin HB, DiPietro M, Barber FE, Teele RT. Sonography of thickened gallbladder wall: causes in children. AJR 1983; 141: 57-60
  10. Weill F, Le Mouel A, Bihr E, Rohmer P, Zeltner F, Sauget Y. Ultrasonic diagnosis of intraperitoneal fluid in Morrison’ pouch and in the splenoperitoneal recess: the moon crescent sign. J Radiol 1980: 61:251–6
  11. Ferreira AC, Filho FM, Braga T, Fanstone GD, Chodraui CB, Onari N. The role of ultrasound in the assessment of pleural effusion. Radiol Bras 2006; 39:2
  12. Pramulyo HS, Harun SR. Ultrasound findings in dengue hemorrahic fever. Pediatr Radiol 1991; 21(2):100-2
  13. Melani S, D Sugianto, H Wulur and Tatang KS. The role of ultrasound in the diagnosis and management of dengue hemorrhagic fever. Journal of the Indonesian Society of Ultrasound Medicine 1992:57–63
  14. Pramulyo S, Farida H, Harun SR. Ultrasonografi pada demam berdarah dengue: suatu penelitian prospektif. Dalam: Kumpulan Makalah Konggres Ultrasonik Kedokteran Indonesia V, Kursus Ultrasonografi Tingkat Dasar, Kursus Ultrasonografi Tingkat Madya, Jakarta. 1994.p.353-63




Artikel Lainnya