translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Manajemen Pankreatitis Akut




Pankreatitis akut terjadi akibat proses autodigesti jaringan pankreas oleh enzim yang dihasilkan pankreas sendiri. Patogenesis pankreatitis akut sangat kompleks dan multifaktorial. Terjadinya pankreatitis akut diawali karena adanya jejas di sel asini pankreas yang dapat disebabkan oleh karena; obstruksi duktus pankreatikus, stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi enzym pankreas, atau oleh karena iskemia sesaat sehingga dapat meningkatkan degradasi enzim pankreas. Sekitar 80% perjalanan klinis pankreatitis akut bersifat ringan dengan mortalitas 1%, dan sebanyak 10-20% berkembang menjadi pankreatitis akut berat dengan risiko mortalitas 20-50%. Komplikasi pankreatitis akut berat dapat bersifat lokal (abses, nekrotik, pseudocyst) atau bersifat sistemik (gagal organ multipel). Manajemen pankreatitis akut tergantung pada derajat penyakitnya. Pankreatitis akut ringan tidak perlu tindakan operatif, cukup terapi konservatif dan tidak perlu antibiotika. Sementara itu manajemen pankreatitis akut berat bersifat interdisipliner yang melibatkan intencivist, radiologist, endoscopist dan dokter bedah, dan memerlukan perawatan khusus, bila perlu di ICU, mengingat risiko terjadinya gagal organ multipel pada minggu pertama perjalanan penyakit. Terapi suportif, nutrisi enteral dan pemberian antibiotika profilaktik pada pankreatitis nekrosis akut dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeser dari tindakan pembedahan awal ke perawatan intensif agresif. Seiring dengan kemajuan di bidang radiologi dan endoskopi, intervensi tindakan bedah dapat diminimalisasi. Tindakan bedah diindikasikan apabila ada pankreatitis nekrosis akut terinfeksi.

Diambila dari artikel oleh:
JB Suharjo B Cahyono
Bagian Penyakit Dalam - RS RK Charitas Palembang

Patogenesis dan Komplikasi Pankreatitis Akut

Fungsi utama organ pankreas adalah sebagai organ penghasil enzim pencernaan, antara lain: untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa (amilase), protein menjadi asam amino (tripsin) dan lemak menjadi asam lemak (lipase). Pankreas memiliki mekanisme sedemikian rupa sehingga enzim yang diproduksi tidak menyebabkan autodigesti, salah satunya melalui penyimpanan enzim dalam bentuk inaktif (proenzim). Pada keadaan tertentu di mana mekanisme proteksi terganggu yang menyebabkan teraktivasinya enzim pankreas dapat memicu terjadinya autodigesti, sehingga menyebabkan terjadinya pankreatitis akut. Patogenesis pankreatitis akut sangat kompleks dan multifaktorial. Apapun penyebabnya (tabel 1) terjadinya pankreatitis akut diawali karena adanya jejas di sel asini pankreas. Gangguan sel asini pankreas dapat terjadi karena beberapa sebab:
1. Obstruksi duktus pankreatikus. Penyebab tersering obstruksi adalah batu empedu kecil (microlithiasis) yang terjebak dalam duktus. Sebab lain adalah karena plug protein (stone protein) dan spasme sfingter Oddi pada kasus pankreatitis akibat konsumsi alkohol,
2. Stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi enzim pankreas. Hormon CCK terstimulasi akibat diet tinggi protein dan lemak (hipertrigliseridemia) dapat juga karena alkohol. Iskemia sesaat dapat meningkatkan degradasi enzim pankreas.
Keadaan ini dapat terjadi pada prosedur operatif atau karena aterosklerosis pada arteri di pankreas. Gangguan di sel asini pankreas akan diikuti dengan pelepasan enzim pankreas, yang selanjutnya akan merangsang sel-sel peradangan (makrofag, neutrofil, sel-sel endotel, dsb) untuk mengeluarkan mediator inflamasi (bradikinin, platelet activating factor [PAF]) dan sitokin proinflammatory (TNF-α, IL-1 β, IL-6, IL-8 dan intercellular adhesive molecules (ICAM 1) dan vascular adhesive molecules (VCAM) sehingga menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat, teraktivasinya sistem komplemen dan ketidakseimbangan sistem trombo-fibrinolitik. Kondisi tersebut akhirnya memicu terjadinya gangguan mikrosirkulasi, stasis mikrosirkulasi, iskemia dan nekrosis sel-sel pankreas. Kejadian di atas tidak saja terjadi lokal di pankreas tetapi dapat pula terjadi di jaringan/organ vital lainnya sehingga dapat menyebabkan komplikasi lokal maupun sistemik (lihat tabel 2).
Secara ringkas progresi pankreatitis akut dapat dibagi menjadi 3 fase berurutan, yaitu: inflamasi lokal pankreas, peradangan sistemik (systemic inflammatory response syndrome [SIRS]), dan terakhir adalah disfungsi multi organ (multiorgan dysfunctions [MODS]). Berat ringannya pankreatitis akut tergantung dari respons inflamasi sistemik yang diperantarai oleh keseimbangan sitokin proinflammatory dan antiinflammatory, dan ada tidaknya infeksi baik lokal maupun sistemik. Pada keadaan dimana sitokin proinflammatory lebih dominan daripada sitokin antiinflammatory (IL-10, IL-1 receptor antagonist (IL-1ra) dan soluble TNF receptor (sTNFR) keadaan yang terjadi adalah pankreatitis akut berat. Sekitar 80% perjalanan klinis pankreatitis akut bersifat ringan, mortalitas sekitar 1% selebihnya akan membaik secara spontan dalam 3-5 hari sehingga tidak perlu perawatan intensif maupun penanganan secara bedah. Sebaliknya 10-20% berkembang menjadi pankreatitis akut berat dengan risiko mortalitas 20-50%. Pasien meninggal akibat pankreatitis akut berat dapat terjadi pada fase awal (minggu 1-2 setelah onset gejala) atau fase lambat (2-3 minggu setelah onset gejala). Pada umumnya perjalanan klinis pankreatitis akut berat dapat dibagi menjadi dua, yaitu fase awal dan fase lanjut. Pada fase awal penyebab kematian karena respons inflamasi (SIRS) yang memicu terjadinya MODS. Zhu et al, melaporkan frekuensi terjadinya gagal organ pada pasien dengan pankreatitis akut berat: gagal organ multipel (27%), gagal respirasi (46%), gagal ginjal (16,2%), gagal jantung (17,6%), gagal hati (18,9%) dan perdarahan saluran cerna (10,8%), dengan angka mortalitas akibat gagal organ multipel sebesar 45%. Kematian pada fase lambat umumnya terjadi akibat sepsis yang terjadi karena pankreatitis nekrotika akut (acute necrotizing pancreatitis) yang mengalami infeksi. Secara ringkas disimpulkan bahwa komplikasi tersering dengan risiko mortalitas yang tinggi adalah MODS dan pankreatitis nekrotika akut yang mengalami infeksi.



Tabel 1. Penyebab pankreatitis akut

Tabel 2. Mekanisme terjadinya komplikasi pankreatitis akut berat
ARDS (adult respiratory distress syndrome), PLA2 (phospholipase A2), DIC (disseminated intravascular coagulation), PAF (platelet activating factor)




Penilaian Derajat Pankreatitis Akut Pankreatitis akut ditegakkan berdasarkan keluhan klinis, yaitu nyeri epigastrik berat, didukung dengan peningkatan kadar amilase dan lipase. Pemeriksaan kadar lipase memiliki spesifisitas dan sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan kadar amilase. Menurut the Atlanta, Ga, International Symposium on Acute Pancreatitis, pankreatitis akut diklasifikasikan menjadi pankreatitis akut ringan dan pankreatitis akut berat. Penilaian derajat pankreatitis akut sangat penting karena menentukan prognosis dan tindakan yang dilakukan kemudian. Ada beberapa parameter yang sering digunakan untuk menilai derajat pankreatitis, yaitu: kriteria Ranson (sensitivitas 73%, spesifisitas 77%), APACHE II (acute physiology and chronic health evaluation, dengan sensitivitas 77% dan spesifisitas 84%), Balthazar’s computed tomography (CT) severity index (sensitivitas 87%, spesifisitas 88%), C-reaktive protein/CRP (sensitivitas 75%, spesifisitas 71%).
Pankreatitis akut berat dapat didefinisikan sebagai pankreatitis akut yang disertai dengan gagal organ dan atau dengan komplikasi lokal (pembentukan abses, nekrosis dan pseudocyst). Menurut klasifikasi Atlanta, pankreatitis akut dikategorikan sebagai pankreatitis akut berat apabila memenuhi beberapa kriteria dari 4 kriteria:
1. Gagal organ, apabila dijumpai satu atau lebih, adanya: syok (tekanan sistolik <90 mmHg), insufisiensi pulmonal (PaO2 <60 mmHg), gagal ginjal (kreatinin >2 mg/dl), perdarahan gastrointestinal (>500 ml/24 jam);
2. Komplikasi lokal, seperti: pseudocyst, abses atau pankreatitis nekrotika;
3. Kriteria Ranson, paling tidak dijumpai 3 dari 11 kriteria (tabel 3);
4. APACHE II, paling tidak nilai skor >8 (tabel 3).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk menilai prognosis/derajat pankreatitis akut berat adalah CT scan, C-reaktive protein dan trypsinogen activation peptide (TAP). Pankreatitis nekrotika akut merupakan salah satu bentuk dari pankreatitis akut berat. Secara patologi tipe nekrotika tersebut diidentifikasi secara bedah atau berdasarkan otopsi.8 Demi kepentingan klinis pankreatitis nekrotika akut ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis melalui contrast-enhancement abdominal computed tomography (CECT). Pemeriksaan CECT merupakan gold standard untuk mendiagnosis pankreatitis nekrotika akut non-invasif dengan akurasi 90%. Di samping berguna dalam diagnostik, CECT dapat digunakan sebagai alat untuk staging dan menilai prognosis pankreatitis nekrotika akut. Secara CECT luasnya nekrosis dapat dikategorikan: tidak ada nekrosis, nekrosis <30% (mortalitas tidak ada), nekrosis 30-50% dan nekrosis >50% (mortalitas 11-25 %). Sebaiknya untuk medeteksi adanya nekrosis CECT dilakukan pada hari 4-10, karena nekrosis jarang terjadi sebelum itu.
Secara normal tripsinogen dipecah menjadi tripsin di dalam lumen intestinal dengan bantuan enzim enterokinase. Aktivasi secara prematur enzim tersebut di dalam intrapankreas selama episode pankreatitis akut akan menghasilkan TAP. Sehingga TAP dapat mencerminkan tingkat nekrosis pankreas. Peningkatan TAP urin mempunyai korelasi dengan beratnya penyakit. Pada pemeriksaan 48 jam onset pankreatitis akut nilai diagnostik TAP urin (>35 nmol/liter) yaitu; senstivitas 83% dan spesifisitas 72%. Berdasarkan konsensus Santorini kadar C-reactive protein yang digunakan sebagai indikator untuk menilai beratnya pankreatitis akut adalah >150 mg/dl, yang diperiksa 48 jam setelah onset gejala.
Tabel 3. Klasifikasi pankreatitis akut berat menurut klasifikasi Atlanta

Catatan: dikatakan mengalami pankreatitis akut berat bila memenuhi beberapa kriteria dari 4 kriteria di atas Manajemen Pankreatitis Akut Berat Manajemen pankreatitis akut tergantung pada derajat penyakitnya. Pankreatitis akut ringan tidak perlu tindakan operatif, cukup terapi konservatif dan tidak perlu antibiotika.




Manajemen pankreatitis akut berat bersifat interdisipliner yang melibatkan intensivist, radiologist, endoscopist dan dokter bedah, dan memerlukan perawatan khusus, bila perlu di ICU mengingat risiko terjadinya gagal organ multipel pada minggu pertama perjalanan penyakit. Manajemen pankreatitis akut berat meliputi: (1) terapi suportif, (2) dukungan nutrisi enteral, (3) antibiotika profilaktif, (4) intervensi nonbedah (ERCP/endoscopic retrograde cholangiopancreatography) atau pembedahan.


Terapi Suportif



Terapi suportif meliputi resusitasi cairan, koreksi gangguan elektrolit dan koagulasi, pemberian oksigen, dan ventilasi non-invasif atau invasif. Resusitasi cairan harus segera dimulai secara dini karena sequestrasi cairan sudah dapat terjadi dalam 48 jam pertama. Vasokonstriktor diberikan apabila terjadi gangguan hemodinamik, dan dilakukan monitoring sistem kardiovaskular dan sistem respirasi. Apabila diperlukan analgesia dapat diberikan. Jenis opiat dapat berisiko menimbulkan spasme sfingter Oddi. Dalam praktek obat yang sering digunakan sebagai analgetik adalah: meperidine, morfin dan fentanil. Sampai saat ini tidak ada terapi spesifik untuk pankreatitis akut. Beberapa obat seperti; antiprotease (gabexate), obat antisecretory (octreotide), dan antiinflamasi (lexipan) tidak terbukti bermanfaat secara klinis.


Antibiotika profilaksis



Sebagaimana sudah disebutkan di atas penyebab kematian pada pankreatitis akut berat fase lambat adalah karena pankreatitis nekrotika akut. Pankreas yang mengalami nekrosis dapat bersifat steril atau terinfeksi. Pankreas yang terinfeksi mempunyai mortalitas lebih tinggi (10-50%) dibandingkan yang steril (10%). Risiko pankreatitis nekrotika akut terinfeksi tergantung dari luasnya area nekrosis. Semakin luas nekrosis semakin besar risiko infeksi. Berdasarkan CECT, apabila nekrosis yang terjadi >50% risiko terinfeksi sekitar 42%. Penyebab infeksi terbanyak adalah: Echerichia coli (32%), Enterococcus (25%), Klebsiella (15%), Staphylococcus epidermidis (15%), Staphylococcus aureus (14%), Pseudomonas (7%) dan Candida (11%). Infeksi lebih banyak bersifat monomikrobial (66%) dibandingkan polimikrobial (34%).
Invasi bakterial ke jaringan pankreas dapat terjadi melalui beberapa cara: translokasi bakterial dari colon, refluks cairan bilier melalui duodenum, penyebaran secara hematogen atau melalui saluran limfatika. Pemberian antibiotika profilaksis pada pankreatitis nekrotika akut masih kontroversial. Salah satu keberatannya adalah meningkatnya resistensi mikroba dan risiko meningkatnya infeksi nosokomial akibat organisme nonenterik. Sainio et al, melaporkan pemberian antibiotika awal pada pasien yang mengalami nekrosis pankreas akut dengan cefuroxime 4,5 g/hari dibandingkan dengan plasebo dapat menurunkan mortalitas dan risiko sepsis (p=0,01). Berdasarkan data penelitian, antibiotika yang paling efektif adalah imipenem yang diberikan dengan dosis 0,5 g/8 jam secara intravena). IAP dan UK Working Party on Acute Pancreatitis menegaskan bahwa pemberian antibiotika profilaktik dapat menurunkan kejadian infeksi tetapi tidak menurunkan mortalitas. Apabila diberikan secara profilaktik disarankan lama pemberian berkisar antara 7-14 hari. Berdasarkan evaluasi Cochrane systematic review dilaporkan bahwa pemberian antibiotika profilaktik intravena selama 10-14 hari dapat menurunkan risiko infeksi dan mortalitas pada pasien dengan pankreatitis nekrotika akut yang dibuktikan dengan pemeriksaan CECT.
Pemeriksaan aspirasi jarum halus yang dipandu dengan USG/CT scan sebaiknya dilakukan untuk membedakan nekrosis pankreas akut bersifat steril atau terinfeksi dan melakukan kultur dan sensitivitas sebagai pedoman pemberian antibiotika yang tepat. Aspirasi jarum halus relatif aman dan memberikan hasil yang akurat, dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas untuk menegakkan nekrosis pankreas terinfeksi sebesar masing masing 90% dan 96%.
Terapi nutrisi pada pankreatitis akut berat Metabolisme pada pasien dengan pankreatitis akut berat menyerupai keadaan sepsis, yang ditandai dengan hiperdinamik, hipermetabolik, dan hiperkatabolik sehingga mereka jatuh dalam keadaan malnutrisi. Dalam beberapa tahun lalu pemberian nutrisi yang direkomendasikan adalah nutrisi parenteral melalui vena sentral. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberian nutrisi per-oral akan merangsang produksi enzim pankreas sehingga justru akan memperberat penyakit. Namun seiring dengan penelitian klinis konsep telah berubah, justru sebaiknya nutrisi diberikan secara enteral. Berdasarkan penelitian, pemberian nutrisi parenteral dapat mengakibatkan:
1. Atrofi jaringan limfoid usus (GALT/gut associated lymphoid tissue) yang merupakan sumber utama imunitas mukosa,
2. Terganggunya fungsi limfosit Sel T dan sel B, menurunnya aktivitas kemotaksis leukosit dan fungsi fagositosis sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri (bacterial overgrowth),
3. Meningkatnya permeabilitas dinding usus yang dapat mempermudah terjadinya translokasi bakteri, endotoksin, dan antigen masuk ke dalam sirkulasi.
Pemberian nutrisi enteral berdasarkan penelitian lebih menguntungkan karena:
1. Dapat melindungi fungsi barrier usus,
2. Menurunkan produksi mediator proinflamatori sehingga risiko translokasi bakterial dan endotoksin menurun.
Nutrisi yang diberikan secara oral, nasogatrik maupun melalui duodenum dapat meningkatkan produksi enzim pankreas. Namun nutrisi enteral melalui nasojejunal tube (NJT) tidak merangsang produksi enzim. Hal ini dibuktikan oleh Zhao et al, pada pasien dengan pankreatitis akut berat, pemberian nutrisi enteral dikombinasi dengan nutrisi parenteral vs dengan nutrisi parenteral saja disimpulkan: kadar TNF-α, IL-6, kadar CRP lebih rendah pada kelompok nutrisi enteral, dan kadar enzim pankreas tidak terpacu dengan pemberian nutrisi enteral. Nutrisi enteral diberikan segera setelah dilakukan resusitasi cairan, dapat diberikan 48 jam pertama bila kondisi sudah stabil, dan tidak ada kontraindikasi seperti: adanya syok, perdarahan gastrointestinal masif, obstruksi intestinal, fistula jejunum atau enteroparalisis berat. Ada tiga alternatif pemberian nutrisi enteral pada pankreatitis akut berat: (1) nasojejunal tube, (2) gastrostomy/jejunostomy tube, (3) jejunostomi secara bedah. Pemberian secara NJT lebih terpilih karena lebih aman, non-invasif dan lebih mudah dikerjakan dengan bantuan endoskopi/fluoroskopi.
Berdasarkan studi meta-analisis, Marik & Zaloga melaporkan, nutrisi enteral (via NJT) dibandingkan nutrisi parenteral memiliki kejadian infeksi lebih rendah (risiko relatif 0,45; 95% confidence interval 0,26-0,78, p=0,004), menurunkan tindakan bedah (0,48, confidence interval 0,22-1,0, p=0,05) dan menurunkan masa rawat inap di rumah sakit (p<0,001).


Intervensi Radiologi dan ERCP



Pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeser dari tindakan pembedahan awal ke perawatan intensif agresif. Seiring dengan berkembangnya radiologi dan endoskopi intervensi, tindakan bedah dapat diminimalisasi. Tindakan ERCP, drainase endoskopis dan perkutaneus baik dengan panduan USG maupun CT scan dapat diindikasikan pada komplikasi pankreatitis berat seperti: timbunan cairan peripankreatik, pseudocyst dan abses lambat. Pseudocyst yang didefinisikan sebagai adanya timbunan cairan yang menetap lebih dari 4 minggu, terjadi akibat rupturnya duktus pankreatikus dapat didrainase secara endoskopis dengan keberhasilan sekitar 83%.
Batu empedu yang bermigrasi dan terjebak di ampula merupakan penyebab tersering pankreatitis akut (acute biliary pancreatitis). Batu empedu ditemukan pada tinja sebesar 85-95% pada pasien yang menderita pankreatitis akut. ERCP merupakan prosedur endoskopik untuk mengevaluasi sistem bilier dan sistem duktus pankreatikus. Beberapa studi membuktikan bahwa ERCP yang dilakukan pada 24-72 jam dari onset klinis pada pasien pankreatitis akut berat yang terbukti dengan obstruksi bilier, kolangitis dan peningkatan bilirubin dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pasien yang menjalani ERCP seringkali dikombinasi dengan tindakan sfingterotomi endoskopis tanpa memandang ada/tidaknya batu di duktus biliaris. Pada pasien dengan kolangitis memerlukan tindakan sfingterotomi endoskopis atau drainase duktus dengan stent perlu dilakukan untuk menghilangkan obstruksi bilier. Pankreatitis akut yang disebabkan oleh batu kantong empedu sering menimbulkan rekurensi, dengan angka kejadian rekurensi yaitu antara 29-63% pasien. Pada kasus pankreatitis akut ringan akibat batu di kantong empedu, cholecystectomy dapat dilakukan segera setelah serangan akut mereda. Sebaliknya pada pankreatitis akut berat cholecystectomy dilakukan setelah proses inflamasi mereda dan kondisi klinis telah stabil. Angka keberhasilan cholecystectomy laparoscopy antara 80-100%.
Tabel 4. Komparasi terapi ERCP dengan konservatif pada pasien dengan pankreatitis bilier akut


Terapi Bedah



Tindakan bedah diindikasikan pada pankreatitis akut berat:
1. Pankreatitis nekrotik akut terinfeksi,
2. Pankreatitis nekrotik steril dengan pankreatitis akut fulminan (ditandai dengan menurunnya kondisi pasien akibat gagal organ multipel yang muncul dalam beberapa hari sejak onset gejala),
3. Pankreatitis akut dengan perdarahan usus. Tujuan tindakan bedah adalah untuk membersihkan jaringan nekrotik sebersih mungkin dengan menyisakan jaringan pankreas yang masih viabel. Tindakan debridement (necrotomy) merupakan gold standard pada pankreatitis nekrosis akut terinfeksi dan nekrosis peripankreatik.
Pankreatitis nekrotik akut steril tidak perlu tindakan bedah, cukup konservatif kecuali terjadi pankreatitis akut fulminan. Berdasarkan penelitian, dari 172 pasien dengan nekrosis steril mortalitas terjadi sebanyak 13,1% pada kelompok yang menjalani pembedahan dibandingkan yang konservatif hanya 6,2%. Tindakan bedah dilakukan pada minggu ke 3-4 setelah onset gejala karena intervensi pada minggu awal meningkatkan risiko mortalitas >65% karena komplikasi pulmonal/kardial.
Tabel 5. Pedoman manajemen bedah pada pankreatitis akut berdasarkan the International Association of Pancreatology (IAP)




1. Yankshe P. Pancreatitis, acute. Update 2005. http://www.emediciene.com/med
2. Wu XN. Current concept of pathogenesis of severe acute pancreatitis. World J Gastroentero 2000; 6(1):32-6
3. Tiscornia OM, Hamamura S, Lehmann ES, et al. Biliary acute pancreatitis: a review. World J Gastroentero, 2000; 6(2):157-68
4. Bhatia M, Wong FL, Cao Y, et al. Pathophysiology of acute pancreatitis. Pancreatology 2005; 5:132-44
5. Uhl W, Warshaw A, Imrie C, et al. IAP guidelines for the surgical management of acute pancreatitis. Pancreatology 2002; 2:565-73
6. Zhu AJ, Shi JS, Sun XJ. Organ failure associated with severe acute pancreatitis. World J Gastroenterol 2003; 9(11):2570-3
7. Munoz A, Katerndahl DA. Diagnosis and management of acute pancreatitis. Am Fam Physician 2000; 62:164-74
8. Baron TH, Morgan DE. Acute necrotizing pancreatitis. New Engl J Med 1999; 340(18):1412-7
9. Vege SS, Baron TH. Management of pankreatitis necrosis in severe acute pancreatitis. Clin Gastroenterol and Hepatology 2005; 3:192-6
10. Balthazar EJ. Acute pancreatitis: assessment of severity with clinical and CT evaluation. Radiology 2002; 223:603-13
11. Dervenis C. Assessment of severity and management of acute pancreatitis based on the Santorini Concensus Conference Report. J of Pancreas 2003; 1(4):178-82
12. Neoptolemos JP, Kemppainen EA, Mayer JM, et al. Early prediction of severity in acute pancreatitis by urinary trypsinogen activation peptide: a multicentre study. Lancet 2000; 335:1955-60
13. UK Working Party on Acute Pancreatitis. UK guidelines for the management of acute pancreatitis. Gut 2005; 54(Suppl III):iii1-iii9
14. Renzulli P, Jakob SM, Tauber M, et al. Severe acute pancreatitis: caseoriented discussion of interdisciplinary management. Pancreatology 2005; 5:145-56
15. Uhl W, Buchler MW, Malfertheiner P, et al. A randomized, double blind, multicentre trial of octreotide in moderate to severe acute pancreatitis. Gut 1999; 45:97-104
16. Gumaste V. Prophylactic antibiotic therapy in the management of acut pancreatitis. J Clin Gastroenterol 2000; 31(1):6-10
17. Schmid SW, Uhl W, Friesa H, et al. The role of infection in acute pancreatitis. Gut 1999; 45:311-6
18. Beger HG, Rau B, Isenmann R, et al. Antibotic prophylaxis in severe acute pancreatitis. Pancreatology 2005; 5:10-9
19. Sainio V, Kemppainen E, Puolakkainen P, et al. Early antibiotic treatment in acute necrotizing pancreatitis. Lancet 1995; 346:663-7
20. Bassi C, Larvin M, Villatoro E. Antibiotica therapy for prophylaxis against infection of pancreatic necrosis in acute pancreatitis. Cochrane Database Syst Rev. 2003; 4:CDC002941
21. Chen QP. Enteral nutrition and acute pancreatitis. World J Gastroenterol 2001; 7(2):185-92
22. Zhao GZ, Wang CY, Wang F, et al. Clinical study on nutrition support in patients with severe acute pancreatitis. World J Gastroenterol 2003; 9(9):2105-8
23. Marik PE, Zaloga GP. Meta-analysis of parenteral nutrition versus enteral nutrition in patients with acute pancreatitis. BMJ 2004; 12(328):1407-12
24. Fogel EL, Sherman S. Acute biliary pancreatitis: when should the endoscopist intervene? Gastroenterology 2003; 125:229-35
25. Tenner S. Initial management of acute pancreatitis: critical issues During the firsts 72 hours. Am J Gastroenterol 2004; 99:2489-94
26. Werner J, Feuerbach S, Uhl W, et al. Management of acute pancreatitis: from surgery to interventional intensive care. Gut 2005; 54:426-36
27. Rau B, Pralle U, Uhl W, et al. Management of sterile necrosis in instances of severe acute pancreatitis. J Am Coll Surg 1995; 181:279-88





Artikel Lainnya