translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Berbagai Pengawet Kosmetik sebagai Penyebab Dermatitis Kontak Alergi

Kosmetik adalah bahan yang diaplikasikan secara topikal dengan tujuan untuk memperbaiki penampilan. Pengawet adalah bahan kimia biosidal yang ditambahkan dalam kosmetik, obat topikal, makanan dan produk industri lainnya supaya terjaga dari kemungkinan kontaminasi mikroorganisme seperti bakteri, jamur, kapang dan alga yang berimplikasi pada percepatan proses pembusukan. Pengawet merupakan penyebab terbanyak dermatitis kontak alergi (DKA) karena kosmetik setelah pewangi. Kosmetik berdasarkan tempat aplikasi dibagi menjadi 4 golongan, yaitu kosmetik rambut, wajah, mata, dan kuku, sedangkan menurut fungsinya dikenal kosmetik perawatan dan kosmetik rias (dekoratif). Tinjauan kepustakaan ini membahas berbagai jenis pengawet dalam kosmetik yang sering menyebabkan reaksi sensitisasi, baik dari aspek kimia, aspek klinis, konsentrasi bahan untuk uji tempel, dan reaksi silang, serta manifestasi kelainan lain yang ditimbulkan. Diharapkan dengan lebih mengenal sifat dari berbagai jenis pengawet kosmetik, dapat membantu penderita DKA oleh karena pengawet untuk memilih kosmetik yang aman dan menghindarkan sumber kontak alergi lainnya yang mengandung pengawet yang sama dengan pengawet kosmetik yang telah menimbulkan reaksi alergi pada penderita tersebut.

Diambil dari artikel oleh
Ary Widhyasti Bandem, Fajar Waskito
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit Kelamin
Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakart

Kosmetik adalah bahan yang diaplikasikan secara topikal dengan tujuan untuk memperbaiki penampilan. Komponen kosmetik secara umum mengandung bahan aktif, pewangi, pengawet, stabilizer, lipid, air, alkohol dan bahan pelarut lain serta zat warna. Kandungan bahanbahan ini di samping memberi efek seperti yang diinginkan, juga tidak terlepas dari efek samping yang mungkin terjadi pada pemakaiannya seperti, dermatitis kontak iritan (DKI), dermatitis kontak alergi (DKA), kontak urtikaria, fotosensitivitas dan lain sebagainya. Pengawet merupakan penyebab terbanyak dermatitis kontak alergi karena kosmetik setelah pewangi.
Pengawet adalah bahan kimia biosidal yang ditambahkan dalam kosmetik, obat topikal, makanan dan produk industri lainnya supaya terjaga dari kemungkinan kontaminasi mikroorganisme seperti bakteri, jamur, kapang dan alga yang berimplikasi pada percepatan proses pembusukan. Pengawet yang ideal di samping efektif mencegah kontaminasi berbagai mikroorganisme, juga stabil, cocok dengan bahan lain dalam suatu produk, non-toksik dan tidak menimbulkan iritasi maupun sensitisasi.
Kosmetik berdasarkan tempat aplikasi dibagi menjadi 4 golongan, yaitu kosmetik rambut, wajah, mata, dan kuku, sedangkan menurut fungsinya dikenal kosmetik perawatan dan kosmetik rias (dekoratif). Di dalam kosmetik rambut dan kuku paling banyak menggunakan pengawet formaldehid sedangkan pengawet tersering untuk krim wajah dan mata adalah paraben. Produsen kosmetik pada umumnya mencantumkan jenis pengawet yang dipakai dalam kemasan produknya sehingga dengan mudah dapat diketahui oleh konsumen. Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2001, melaporkan sebelas pengawet terbanyak yang dipakai dalam kosmetik, yaitu: metilparaben, propilparaben, butilparaben, imidazolidinyl urea, DMDM hydantoin (dimethyloldimethyl hydantoin), etilparaben, diazolidinylurea, 5-chloro-2methyl-4-isothiazolin-3-one (methylchloroisothiazolinone), quarternium-15, iodopropynyl butylcarbamate, methyldibromoglutaronitrile.
Tinjauan kepustakaan ini membahas berbagai jenis pengawet dalam kosmetik yang sering menyebabkan reaksi sensitisasi, baik dari aspek kimia, aspek klinis, konsentrasi bahan untuk uji tempel, dan reaksi silang, serta manifestasi kelainan lain yang ditimbulkan. Diharapkan dengan lebih mengenal sifat dari berbagai jenis pengawet kosmetik, dapat membantu penderita DKA oleh karena pengawet untuk memilih kosmetik yang aman dan menghindarkan sumber kontak alergi lainnya yang mengandung pengawet yang sama dengan pengawet kosmetik yang telah menimbulkan reaksi alergi pada penderita tersebut.

Diagnosis DKA Pengawet Kosmetik
Dermatitis kontak alergi karena pengawet kosmetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilengkapi dengan uji tempel. Anamnesis meliputi penggunaan kosmetik secara rinci mengenai jenis kosmetik yang dipakai, lokasi, onset, cara dan lama pemakaian. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai tanda-tanda dermatitis seperti eritema, papul, vesikel, dan lain sebagainya. Pemeriksaan fisik meliputi lokasi, perluasan, morfologi dan pola atau distribusi lesi sesuai karakteristik kosmetik yang dipakai. Pada individu yang tersensitisasi bahkan dapat dijumpai urtika, edema, pruritus generalisata maupun bronkospasme. Tes konfirmatif untuk menegakkan diagnosis DKA pengawet adalah uji tempel dengan bahan standar pengawet dan kosmetik yang dipakai penderita. Apabila didapatkan hasil uji tempel negatif tetapi masih dicurigai kosmetik tersebut sebagai penyebab, dapat dilakukan ROAT (Repeated Open Application Test) maupun Usage Test. Berikut ini akan diuraikan beberapa pengawet kosmetik yang sering menimbulkan reaksi sensitisasi, yaitu:
1. PARABEN
Paraben atau ester alkyl parahydroxy benzoic acid adalah pengawet yang tidak berwarna, tidak berbau, dan nonvolatil; diinaktifkan oleh surfaktan non-ionik terdiri dari metil-, etil-, propil- dan butilparaben. Aktivitas paraben sebagai bahan pengawet ditingkatkan oleh propilen glikol. Pada tahun 1930, paraben ini diperkenalkan sebagai pengawet kosmetik, makanan dan obat topikal.
Golongan yang tersering dipakai adalah metil dan etilparaben. Paraben efektif terhadap jamur dan bakteri Gram positif tetapi kurang efektif terhadap Gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, sehingga sering dikombinasi dengan pengawet lain seperti isothiazolines atau phenoxyethanol yang bersifat formaldehyde releaser. Konsentrasi yang dipakai pada kosmetik 0,1-0,8%. Walaupun paraben termasuk pangawet yang cukup ideal tetapi pada tahun 1940 telah dilaporkan dermatitis kontak alergi yang disebabkan karena paraben. Penelitian sensitisasi paraben pada populasi umum yang dilakukan di Eropa dan Amerika Utara pada periode tahun 1985-2000 dilaporkan berkisar 0,5-1%. Sensitisasi dapat terjadi setelah pemakaian obat topikal, termasuk steroid topikal yang memakai bahan pengawet paraben. Sensitisasi paraben pada sediaan kosmetik jarang terjadi walaupun jumlah pemakai kosmetik lebih luas dari pemakai sediaan topikal. Hal ini disebabkan karena adanya fenomena paraben paradox. Fenomena ini terjadi karena paraben mampu mensensitisasi kulit yang abnormal (trauma, eksim) tetapi tidak mensensitisasi kulit normal.
Dilaporkan juga reaksi hipersensitivitas tipe cepat berupa urtikaria kontak pada pemakaian sediaan topikal yang mengandung paraben dan bronkospasme serta pruritus generalisata setelah injeksi hidrokortison dengan pengawet paraben. Paraben yang dipakai pada uji tempel dengan sediaan standar adalah paraben mix 16% yang terdiri dari metil-, etil-, propil- dan butilparaben dengan konsentrasi masingmasing 4% dalam petrolatum. Konsentrasi yang tinggi ini dibutuhkan untuk menghindari hasil uji tempel negatif palsu karena uji tempel dilakukan pada kulit normal. Reaksi silang dapat terjadi di antara ester paraben, benzocaine, paraphenylendiamine dan sulfonamid walaupun sangat jarang. Contoh produk yang mengandung paraben: Gizi®Cleansing Lotion (propil- dan metilparaben), Nivea® Body UV Protection Lotion (propil- dan metilparaben), ROC® 2 in 1 Cleanser and Freshener (propil- dan metilparaben), Ellgy-H2O® Hand and Body Lotion (metil-, etil-, propil dan butilparaben)
2. FORMALDEHID DAN PENGAWET PELEPAS FORMALDEHID
Formaldehid aqua (formalin, formol, morbicid, veracur) terdiri dari gas formaldehid 37-40% yang berbau menyengat dan ditambahkan 10-15% metanol. Secara alami formaldehid dapat dihasilkan dari hasil pembakaran kayu, tembakau, batubara dan bensin, sedangkan síntesis formaldehid dibuat pada tahun 1889 dan dipergunakan secara luas dalam berbagai industri, pembuatan kain, kertas, lem, kosmetik, pengawet kosmetik, obat-obatan, makanan, lateks dan lain sebagainya.
Formaldehid dalam kosmetik telah dilaporkan sebagai iritan, sensitizer dan karsinogen sehingga penggunaannya telah banyak dikurangi, bahkan di Swedia dan Jepang formaldehid telah dilarang sebagai pengawet kosmetik. Di Amerika formaldehid 0,2% dalam kosmetik masih diperbolehkan dan di Eropa, penggunaan formaldehid lebih dari 0,05% harus dicantumkan dalam label. Pada uji tempel konsentrasi yang digunakan adalah 1% dalam aqua.
Penelitian sensitisasi terhadap formaldehid yang dilakukan oleh North America Contact Dermatitis Group (NACDG) tahun 1998-2000, dilaporkan sebesar 9,2%. Penelitian sensitisasi terhadap formaldehid yang dilakukan pada periode sebelumnya dijumpai peningkatan persentase sensitisasi. Pada tahun 1970-1976 sebesar 3,4%, pada tahun 1985-1990 sebesar 5,3% dan pada tahun 1992-1994 sebesar 6,8 %.
Produk kosmetik yang mengandung formaldehid masih mungkin ditemukan dalam sampo, produk perawatan rambut dan pengeras kuku. Contoh produk di pasaran: Sunsilk® Hair Nourisher, Sunsilk® Nutrient Shampoo, Lux® Shower Cream, Clear® Shampoo. Formaldehid saat ini telah digantikan oleh pengawet yang melepas formaldehid dalam air (formaldehyde releaser) seperti quarternium-15, diazodidinyl urea, imidazoldinyl urea, DMDM hydantoin, dan bronopol. Reaksi silang antara formaldehid dan pengawet pelepas formaldehid dapat terjadi, tetapi bila hasil uji tempel terhadap salah satu dari pelepas formaldehid menunjukkan hasil positif tidak perlu menghindari semua pengawet penghasil formaldehid.
3. QUARTERNIUM-15
Pengawet ini didapatkan dalam sampo, kondisioner, kosmetik mata, losio, krim, sabun cair dan lain-lain. Nama dagang quarternium adalah Dowicil 75, 100, 200, dan sering dalam label disebut sebagai N-(3chlorally)-hexanium chloride dan chlorallyl methanamine chloride. Sifat kelarutan yang baik dalam air, tidak berbau, tidak berwarna dan aktivitas antimikrobialnya tidak tergantung dari pH membuat pengawet ini dipakai secara luas. Quarternium efektif terhadap jamur, bakteri termasuk Pseudomonas aeruginosa. Frekuensi sensitisasi pada populasi umum didapatkan 1-9%. Quarternium-15 dalam konsentrasi 0,1% dapat melepas formaldehid 100 ppm (parts per million). Konsentrasi dalam kosmetik 0,02-0,3%. Kosmetik yang banyak menggunakan quarternium adalah kosmetik yang berbasis air (water-based) seperti dalam sampo, conditioner, make-up mata, body lotion, dan sabun cair. Konsentrasi quarternium-15 dalam uji tempel standar adalah 2% dalam petrolatum. Contoh produk: Sebamed® Cleansing Soap, Wella-SP® Restructuring Complex Leave-on Conditioner, L’oreal® Plenitude Gentle Eye Make-up Remover.
4. IMIDAZOLIDINYL UREA
Bahan ini diperkenalkan sebagai pengawet pada tahun 1970. Nama dagang imidazolidinyl urea adalah Germall 115 dan efektif terhadap bakteri. Germaben adalah kombinasi Germall 115 dengan paraben yang menjadi efektif terhadap bakteri dan jamur. Konsentrasi imidazolidinyl urea dalam kosmetik 0,03-0,2%, sedangkan konsentrasi uji tempel standar untuk imidazol urea adalah 2% dalam aqua. Imidazolidinyl urea dalam konsentrasi 2% dapat melepaskan formaldehid sebanyak 90 ppm dan dibandingkan quarternium-15 hanya melepaskan formaldehid 1/8-nya.
Pengawet ini jarang menimbulkan sensitisasi dan aman untuk penderita yang sensitif terhadap formaldehid. Contoh produk yang mengandung pengawet ini adalah Ponds® Perfect Care Antibacterial Facial Scrub, Marina® UV White Body Lotion.
5. DIAZOLIDILNYL UREA
Diperkenalkan pada tahun 1982 dengan nama dagang Germal II. Diazolidinyl urea sangat larut dalam air dan efektif terhadap bakteri Gram positif dan negatif. Untuk meningkatkan efektivitasnya terhadap jamur dikombinasi dengan paraben, yang dikenal dengan nama Germaben II. Konsentrasi dalam kosmetik 0,1-0,5% dan banyak digunakan pada sedíaan sabun cair, make-up wajah, make-up mata, produk perawatan kulit, dan perawatan rambut. Konsentrasi yang dipakai pada uji tempel standar 1% dalam aqua. Contoh produk dipasaran: Clear® Styling Gel (diazolidinyl urea, metil- dan propilparaben), Obagi® Nu Derm Eye Cream (diazolidinyl urea, propil- dan metilparaben).
6. BRONOPOL
Pengawet dengan nama 2-bromo-2-nitropropane-diol (BNPD) atau Myacide BT diperkenalkan sebagai pengawet kosmetik terutama sabun pada tahun 1970. Bahan ini mempunyai aktivitas antimikroorganisme yang luas dan larut dalam air. Konsentrasi aman dalam produk kosmetik 0,01-1%. Bila konsentrasinya melebihi 1% dapat menimbulkan iritasi. Apabila produk yang diawetkan dengan bronopol disimpan lebih lama, akan melepaskan formaldehid lebih banyak sehingga penggunaannya dewasa ini makin dikurangi. Bronopol dapat juga berinteraksi dengan amine atau amides menghasilkan nitrosamines atau nitrosamides yang dicurigai sebagai bahan karsinogen. Konsentrasi bronopol untuk uji tempel standar adalah 0,5% dalam petrolatum. Contoh produk yang mengandung pengawet bronopol di pasaran: Sari Ayu® Lidah Buaya Shampoo, Sari Ayu® Orang Aring Shampoo.
7. DIMETHYLOLDIMETHYL HYDANTOIN (DMDM HYDANTOIN)
Dipasarkan dengan nama dagang Glydant dan mempunyai spektrum antimikroba yang luas dan sangat larut dalam air sehingga dipakai sebagai pengawet sampo. DMDM hydantoin melepaskan formaldehid 0,5-2% dan konsentrasi aman DMDM hydantoin dalam kosmetik 0,1-1%.
Konsentrasi bahan ini dalam uji tempel standar sebesar 1% dalam aqua. Contoh produk dengan DMDM hydantoin: Pantene® Pro-V Pelembab Rambut Tanpa Pembilas, Paul Mitchel®Awapuhi Shampoo (DMDM Hydantoin plus pengawet Iodopropynyl Buthylcarbamate/IPBC),
8. METHYLCHLOROISOTHIAZOLINONE/METHYLISOTHIAZOLINONE (MCI/MI)
Pengawet ini dikenal dengan nama Kathon CG (CG=Cosmetic Grade), pertama kali dipakai di Eropa pada tahun 1970 dan di Amerika tahun 1980. Bahan pengawet ini merupakan campuran dari MCI dan MI dengan perbandingan 3:1. Formulasi lainnya dipasarkan dengan nama Kathon 886 MW, Kathon WT, Kathon LX, dan Euxyl K100 yang dipakai pada industri logam, produk pembersih, cat, lateks, lem, dan lain sebagainya. Sedangkan Kathon 893 dan Proxel dipakai dalam pewarna, cairan fotografi, emulsi, plastik, dan penyegar udara.
MCI/MI sangat efektif terhadap jamur, bakteri Gram positif dan Gram negatif walaupun dalam konsentrasi rendah. MCI/MI bersifat sensitizer poten, tetapi dalam konsentrasi di atas 200 ppm bersifat iritan. Penelitian prevalensi sensitisasi pada periode tahun 1985-2000 yang dilakukan di Inggris sebesar 0,4%, di Itali 11,5% dan di Amerika antara 1,8-3%. Untuk kepentingan uji tempel dipakai konsentrasi 100 ppm kandungan aktif dalam air. Reaksi silang dapat terjadi dengan golongan isothiazolinone lainnya. Konsentrasi MCI/MI yang masih diperbolehkan untuk produk kosmetik di Eropa 15 ppm, sedangkan di Amerika 7,5 ppm dalam produk leave-on dan 15 ppm dalam produk rinse-off.
Kosmetik dengan kandungan MCI/MI yang paling banyak menyebabkan DKA adalah yang dipakai sebagai produk leave-on misalnya krim moisturizer, lotion, dan gel rambut. Penderita dengan hasil tes positif alergi terhadap MCI/MI terkadang masih toleran terhadap produk yang rinseoff, misalnya pada kondisioner, sampo, dan bubble bath. Sumber DKA lain dari bahan ini adalah kertas toilet, sampo karpet, dan pelembut pakaian. Contoh produk yang mengandung pengawet MCI/MI adalah Panthene® Pro V Shampoo, Clairol® Herbal Essences Deep Moisturizing Shampoo.
9. METHYLDIBROMOGLUTARONITRILE/PHENOXYETHANOL
Bahan ini diperkenalkan di Eropa pada tahun 1985 dan di Amerika Utara pada tahun 1990. Di pasaran dikenal dengan nama Euxyl K 400. Euxyl K 400 terdiri dari 2-phenoxyethanol dan methyldibromoglutaronitrile (MDBGN) dengan perbandingan 4:1. Bahan ini juga dikenal dengan nama 1,2-dibromo-2,4-dicyabobutane (Tektamer 38). Konsentrasi yang dibolehkan dalam kosmetik antara 0,0075% sampai 0,06%. Euxyl K 400 dipakai sebagai pengganti MCI/MI karena penelitian pada binatang tidak bersifat sensitizer, sehingga saat ini di Jerman bahan ini merupakan pengawet kosmetik terlaris. Tetapi pada penelitian observasi yang dilakukan di Eropa tahun 2000 dijumpai prevalensi sensitisasi sebesar 3,5% sedangkan di Amerika pada periode tahun 1994-1996 sebesar 1,5%, pada periode tahun 1996-1998 sebesar 2,7% dan pada periode tahun 1998-2000 sebesar 3,5%. Konsentrasi Euxyl K 400 untuk uji tempel sebesar 2,5% dalam petrolatum. Konsentrasi Euxyl K 400 2,5% mengandung MDBGN 0,5%. Lesi DKA yang ditimbulkan umumnya eksematous dan sebagian besar disebabkan oleh produk kosmetik yang leave-on seperti lotions, moist toilet paper, gel rambut, gel mata, hair mousse, conditioner rambut, krim tabir surya dan sebagainya. Bagian yang menimbulkan alergi adalah MDBGN sedangkan phenoxyethanol jarang sebagai sensitizer. Contoh produk kosmetik yang mengandung pengawet phenoxyethanol ini adalah Vaseline® AHA White Lotion.
10. IODOPROPYLNYL BUTHYLCARBAMATE (IPBC)
Iodopropylnyl buthylcarbamate (IPBC) sangat efektif sebagai antifungi, antibakteri dan antiparasit. Bahan ini dipakai sejak 1970 sebagai pengawet kayu dan cat. Pada tahun 1990 baru dipakai sebagai pengawet kosmetik dengan konsentrasi maksimal 0,1%. Pengawet ini didapatkan pada make-up, krim, losion pelembab, sampo, produk bayi, pembersih kontak lens dan kertas toilet. Untuk meningkatkan aktivitasnya terhadap Pseudomonas aeruginosa bahan ini dikombinasi dengan pengawet pelepas formaldehid.
Prevalensi sensitisasi pada tahun 1998-2000 yang ditemukan di Eropa berkisar 0,2-0,3% dan di Amerika rata-rata 0,4%. Uji tempel menggunakan IPBC dipakai dengan konsentrasi 0,1% dalam petrolatum. Reaksi silang sering terjadi dengan thiuram dan carbamate. Contoh produk yang mengandung IPBC: ROC® Minesol Protect Sun Lotion SPF 40.

Kesimpulan
Komponen produk kosmetik yang sering menimbulkan DKA setelah pewangi adalah pengawet kosmetik. Penelitian FDA menyebutkan ada 11 pengawet kosmetik yang sering menimbulkan reaksi sensitisasi. Bahan pengawet yang paling sering menimbulkan reaksi sensitisasi adalah paraben dan formaldehid. Berbagai manifestasi reaksi sensitisasi karena pengawet kosmetik adalah dermatitis kontak alergi, bronkospasme, dan urtikaria kontak. Uji tempel merupakan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan dermatitis kontak alergi dan identifikasi terhadap pengawet kosmetik. Bahan pengawet produk kosmetik tersedia dalam berbagai konsentrasi dan dalam berbagai bahan pembawa yang cocok dengan komponen dalam produk kosmetik tersebut. Bahan pengawet formaldehid dan pelepas formaldehid biasanya dipakai untuk produk kosmetik berbasis air. Paraben di samping sebagai pengawet kosmetik juga merupakan pengawet makanan, obat topikal dan dapat terjadi reaksi silang diantara ester paraben, benzocain, paraphenylendiamine, dan sulfonamid. Sumber sensitisasi formaldehid dapat berasal dari alam dan pelepas formaldehid lain. Walaupun komponen bahan pengawet tercantum dalam label kosmetik, perlu diingat nama dagang lainnya, karena pencantuman nama dagang juga sangat bervariasi.


Daftar Pustaka

1. Amin S, Engasser PG, and Maibach HI. Side-effects and social aspects of cosmetology: adverse cosmetic reactions. In: Baran and Maibach (eds). Textbook of Cosmetic Dermatology. 3rd edition. London. Taylor & Francis; 2005.p.761-85
2. Sasseville D. Hypersensivitivy to preservatives. Dermatology Therapy 2004; 17:252-63
3. Ortiz KJ and Yiannias JA. Contact dermatitis to cosmetics, fragrances and botanicals. Contact Dermatitis 2003; 28:44-6
4. Mowad CM. A practical approach to patch testing for cosmetic allergens. Dermatology Therapy 2001; 14:188-93
5. Vasquez MG, Fernandez-Redondo V, Torbio J. Allergic contact eczema/dermatitis from cosmetics. Allergy 2002; 57:268-9
6. Wolf R, Wolf D, Tuzun B, Tuzun Y. Cosmetic and contact dermatitis. Dermatology Therapy 2001; 14:181-7
7. Schnuch A, Geier J, Uter W, Frosch PJ. Patch testing with preservatives, antimicrobials and industrial biocides. Results from a multicentre study. British J of Dermatol 1998; 138:47-76
8. Flyvholm MA. Presevatives in registered chemical products. Contact Dermatitis 2005; 53:27-32
9. Mehta SS, Reddy BSN. Cosmetic dermatitis-current perspectives. Int J of Dermatol 2003; 42:533
10. Rietschel RL, Fowler JF. Dermatitis to preservatives and the other additives in cosmetics and medication. In: Fisher’s Contact Dermatitis. 4th edition. Baltimore:Williams & Wilkins; 1995.p.257-319
11. Timmer C. Antimicrobials and disinfectants. In: Kanerva L, Elsner P, Wahlberg JE, Maibach HI (eds) Handbook of Occupational Dermatology. Berlin:Springer, 2000; 59:462-73
12. Herbert C, Rietschel RL. Formaldehyde and formaldehyde releaser: How much avoidance of cross-reacting agents is required? Contact Dermatitis 2004; 50:371-3
13. Cahill J, Nixon R. Allergic contact dermatitis to quarternium 15 in a moisturizing lotion. Australasian J of Dermatol 2005; 46:284-5
14. Kantor GR, Taylor JS, Ratz JL, Every PL. Acute allergic contact dermatitis from diazolidinyl urea (Germall II) in a hair gel. J Am Acad Dermatol 1985; 13:116-9
15. Uter W and Frosch PJ. Contact allergy from DMDM hydantoin, 1994-2000. Contact Dermatitis 2002; 47:57-8
16. DeGroot AC, Weyland JW. Kathon CG. A review. J Am Acad Dermatol 1988; 18:350-8
17. DeGroot AC, Herxheimer A. Isothiazolinone preservative: cause of a continuing epidemic of cosmetic dermatitis. The Lancet 1989; 11:314-6
18. DeGroot AC, Van Ginkel CJW, Weijland JW. Methyldibromoglutaronitrile (Euxyl K 400): An important “new” allergen in cosmetics. J Am Acad Dermatol 1996; 35:743-7
19. Gruvberger B, Andersen KE, Brandao FM, et al. Patch testing with methyldibromo glutaronitrile, a multicenter study within the EECDRG. Contact Dermatitis 2005; 52:14-8




Artikel Lainnya