translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Hipertensi Sekunder

Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang cukup banyak di masyarakat. Menurut data JNC-7, hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi. Bila hipertensi tidak ditangani dengan baik maka akan menimbulkan masalah lain berupa komplikasi berbagai organ penting. Hampir sebagian besar kasus hipertensi adalah hipertensi primer dan sebagian kecil merupakan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyebab lain. Memang tidak mudah untuk menentukan apakah hipertensi primer atau sekunder yang diderita pasien. Untuk itu dibutuhkan beberapa test untuk menentukan jenis hipertensi. Dengan mengetahui penyebab hipertensi sekunder, maka penatalaksanaan hipertensi akan lebih baik.




Diambil dari Artikel oleh:
Ismail Yusuf
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang memiliki risiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Menurut JNC-7, kriteria hipertensi adalah tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) ≥90 mmHg. JNC-7 2003 membagi hipertensi menjadi 2 stadium sedangkan pedoman lain masih membagi dalam 3 derajat hipertensi. Pada JNC-7 2003 TDS 120-139 mmHg atau TDD 80-89 mmHg dimasukkan dalam klasifikasi prehipertensi, di mana pedoman lain menyebutkan nya sebagai tekanan darah normal atau normal tinggi, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran individu akan risiko terjadinya hipertensi sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk memperlambat perkembangan penyakit.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa berdasarkan JNC-7 2003
Klasifikasi ini tidak mengelompokkan hipertensi dengan atau tanpa faktor risiko atau kerusakan target organ.

EPIDEMIOLOGI
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan penatalaksanaan yang baik. Di Amerika Serikat sekitar 50 juta penduduk mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg. Beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi dan adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.7 Di Indonesia belum ada penelitian nasional multicenter yang menggambarkan prevalensi secara tepat. Boedhi Darmojo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,8-28,6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah pasien hipertensi. Pada umumnya prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Terlihat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan, seperti pada penelitian Susalit E laporan yang mendapatkan angka 14,2% pada masyarakat di pinggiran kota Jakarta. Syakib Bakri dan kawankawan mendapatkan prevalensi hipertensi 11,75% pada kelompok industri, 9,75% pada kelompok nelayan, dan 7,92 pada kelompok tani di Ujung Pandang.
Data di atas menggambarkan bahwa masalah hipertensi perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik, mengingat prevalensi yang tinggi dan komplikasi yang ditimbulkan cukup berat. Dari uji klinik diketahui bahwa dengan penatalaksanaan yang baik, dapat mengurangi insiden stroke 35-40%, infak miokard 20-25%, dan gagal jantung >50%.

ETIOLOGI
Walaupun pemahaman mengenai patofisiologi peningkatan tekanan darah semakin meningkat, namun 90-95% etiologi hipertensi masih belum diketahui (hipertensi primer). Pada tabel 2 dapat diketahui berbagai bentuk hipertensi dan keadaan yang menyebabkannya (hipertensi sekunder).
Tabel 2. Faktor risiko penyakit kardiovaskular
Semakin tinggi tekanan darah, maka akan semakin tinggi kemungkinan untuk mengalami serangan jantung, gagal jantung, stroke dan penyakit ginjal. Systolic Blood Pressure (SBP) adalah faktor risiko utama Cardiovascular Disease (CVD) di samping faktor-faktor risiko yang lainnya (tabel 2).

PATOGENESIS
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Di dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem kontrol tersebut ada yang bereaksi segera seperti refleks kardiovaskular melalui baroreseptor, refleks kemoreseptor, respon iskemia susunan saraf pusat, dan refleks yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis dan otot polos; sistem yang bereaksi kurang cepat dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresor; dan bereaksi jangka panjang dengan melibatkan ginjal.6,7
Pada hipertensi primer terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi peningkatan tekanan darah berupa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan sisten renin-angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas simpatik. Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali normal sedangkan tahanan perifer meningkat karena refleks autoregulasi. Oleh karena curah jantung meningkat terjadi konstriksi sfingter prekapiler yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan peninggian tahanan perifer. Kelainan hemodinamik tersebut diikuti pula kelainan struktural pada pembuluh darah dan jantung. Pada pembuluh darah terjadi hipertrofi dinding, sedangkan pada jantung terjadi penebalan dinding ventrikel.
Stres dengan peninggian aktivitas simpatis dan perubahan fungsi membran sel dapat menyebabkan konstriksi fungsional dan hipertrofi struktural. Faktor lain yang berperan adalah endotelin yang bersifat vasokonstriktor. Berbagai promotor pressor-growth bersama dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi vaskular akan menyebabkan peninggian tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah.
Mengenai kelainan fungsi membran sel, Garay (1990) telah membuktikan adanya defek transpor Na+ dan atau Ca+ lewat membran sel. Defek tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik atau oleh peninggian hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular. Selain itu juga terjadi perubahan intraseluler di mana kenaikan kadar Na+ intraseluler akibat penghambatan pompa Na+ akan meningkatkan kadar Ca+ intraseluler sehingga menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah maupun konstriksi fungsional yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah yang menetap. Sistem renin, angiotensin dan aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi, dimana renin berperan pada konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang mempunyai efek vasokonstriksi dan angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan retensi Na+ dan air.
Studi pasien Framingham melaporkan adanya korelasi antara gangguan toleransi glukosa dan hipertensi. Selain itu ada penelitian yang melaporkan bahwa pada pasien hipertensi tanpa pengobatan, kadar insulin darah meningkat setelah pembebanan glukosa pada tes toleransi glukosa oral yang sejalan dengan peningkatan kadar glukosa darah. Pada keadaan hiperinsulinisme kemungkinan terjadi pengaktifan saraf simpatis, peningkatan reabsorpsi Na+ oleh tubulus proksimal dan gangguan transport membran sel berupa penurunan pengeluaran Na+ dari dalam sel akibat kelainan pada sistem Na+K+ATPase dan Na+H+ exchanger dan terganggunya pengeluaran ion Ca+ dari dalam sel. Akibat peningkatan kadar ion Na+ dan Ca+ di dalam sel terjadi peninggian sensitivitas otot polos pembuluh darah terhadap zat vasokonstriktor sehingga terjadi peninggian kontraktilitas. Sementara itu kadar ion H+ intrasel merendah (alkalosis intraseluler) akan meningkatkan sintesis protein, proliferasi sel dan hipertrofi pembuluh darah. Faktor lingkungan seperti stres psikososial, obesitas dan kurang olahraga juga berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi primer. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal sedangkan aktivitas saraf simpatis meningkat dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Rokok dan alkohol juga dihubungkan dengan hipetensi.


HIPERTENSI SEKUNDER
Sekitar 5%-10% pasien hipertensi diketahui penyebabnya (tabel 3). Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, dapat diketehui penyebabnya.
Tabel 3. Penyebab hipertensi sekunder
Dengan menanyakan riwayat keluarga, riwayat hipertensi sebelumnya, dan refakter dengan pengobatan dapat mengarahkan diagnosis hipertensi sekunder.
Gejala Klinis
Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang gejala didominasi penyakit dasarnya dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala seperti sakit kepala (biasanya oksipital), epistaksis, pusing dan migren. Pada survei hipertensi di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi seperti pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering dijumpai, selain gejala lain seperti mimisan, sukar tidur, dan sesak napas. Rasa berat di tengkuk, mata berkunangkunang, palpitasi, dan mudah lelah juga banyak dijumpai.
Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Selain itu juga dapat ditemukan gejala penyakit yang mendasarinya (misalnya sakit kepala, palpitasi, diaforesis, dan pusing postural pada feokromositoma).
Penyakit Parenkim Ginjal
Penyebab hipertensi yang disebabkan penyakit parenkim ginjal adalah yang terbanyak. Penyakit ini berasal dari penyakit-penyakit glomerular, tubulointerstisial dan penyakit ginjal polikistik. Banyak kasus yang terjadi adalah karena retensi air dan garam tapi sekresi renin dan angiotensin juga ikut berperan. Hipertensi yang terjadi akan menyebabkan fungsi ginjal menurun. Oleh karena itu target tekanan darah adalah <130/85 mmHg untuk mengurangi risiko penurunan fungsi ginjal. Dilatasi arteriol efferen dengan penghambat ACE akan mengurangi progresivitas penurunan fungsi ginjal. Calsium antagonist juga dapat digunakan di samping diet rendah garam.
Penyakit Renovaskular
Penyakit ini lebih banyak pada usia muda dan penyebabnya adalah fibromuskular hiperplasia. Penyebab lain adalah aterosklerosis yang menyebabkan stenosis arteri renalis proksimal. Mekanismenya adalah produksi renin yang meningkat karena aliran darah ke ginjal yang berkurang dan akhirnya rentensi garam dan air. Penyakit renovaskular harus dipikirkan bila8,9
1. Usia di bawah 20 tahun.
2. Terdengar bruits pada auskultasi epigastrium.
3. Jika terdapat aterosklerotik di aorta dan arteri perifer (15-25% pasien dengan gejala aterosklerotik di ekstremitas didapatkan stenosis arteri renalis).
4. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang cepat setelah pemberian ACE inhibitor.
5. Hipertensi resisten dengan 2 atau lebih obat.
6. Cenderung menjadi hipertensi maligna.
7. Riwayat merokok.
8. Edema paru berulang.
9. Ukuran ginjal yang tidak sama >1,5 cm.
10. Hipokalemi dan alkalosis (curiga hipoaldsteronisme).
Tidak ada tes yang ideal untuk skrining hipertensi karena penyakit renovaskular. Walaupun demikian pemeriksaan arteriografi dapat dilakukan. Pemeriksaan lain adalah captopril challenge test dan USG doppler. Persiapan captopril challenge test:
1. Kecurigaan hipertensi renovaskular.
2. Kreatinin tidak lebih dari 2,5 mg/dl, penyakit cerebrovascular dan tidak ada edema.
3. Antihipertensi dan diuretik distop >10 hari atau diganti labetolol/kalsium antagonis.
4. Captopril 50 mg. Monitor tekanan darah.
5. Darah diambil setelah 60 menit pemberian captopril.
6. Captopril >5,7 ng/ml/jam merupakan menunjukkan hasil yang positif.
Pengobatan
Tujuan adalah perbaikan tekanan darah. Percutaneus transluminal renal angioplasty (PTRA) dapat mengatasi stenosis sekitar 80%.

Pheochromocytoma
Hipertensi yang sebabkan oleh karena sekresi katekolamin. Neural crest adalah sel yang terdapat pada medula adrenal, ganglion autonom, organ Zuckendal (terletak anterio bifurcatio aorta), dan kandung kemih. Pheochromocytoma dapat terjadi di tempat-tempat tersebut tetapi hampir 90% adalah di adrenal. Pheochromocytoma adalah penyakit yang diturunkan secara genetik autosom dominan.
Gejala klinis
Hipertensi adalah klinis yang sering terjadi dapat berkembang menjadi hipertensi berat bila tiba-tiba katekolamin meningkat. Gejala lain adalah sakit kepala, gemetar, banyak keringat, cemas, dan tremor. Katekolamin yang meningkat biasanya karena aktivitas, defekasi, berkemih, anestesi, dan obat-obatan seperti vasodilator. Kecurigaan penyakit ini bila hipertensi disertai dua dari gejala (sakit kepala, banyak keringat, dan palpitasi), hipertensi paroksismal, dan tekanan diastolik >120 mmHg. Test diagnosis dapat dilakukan dengan (clonidin test):
1. Beta bloker dan diuretik distop 2 minggu.
2. Berikan antihipertensi pada hari pemeriksaan.
3. Pasien berbaring dengan IV line selama 30 menit sebelum dan selama test.
4. Berikan clonidin 0,3 mg oral.
5. Periksa katekolamin plasma sebelum dan 3 jam sesudahnya.
6. Test positif bila kadar katekolamin >500 pg/ml atau tekanan darah tidak turun sedikitnya 50%.
Tingkat sensitivitas test ini mencapai 95%. Cara noninvasif yaitu dengan CT scan dan MRI.
Pengobatan
Adalah operasi pengangkatan tumor. Kombinasi α-blocker dan β-blocker dapat digunakan dalam pengobatan. Hiperaldosteronisme Primer adalah hipertensi akibat peningkatan aldosteron tanpa peningkatan renin. 60% kasus biasanya karena adenoma di zona sel glomerulosa (APA = aldosteron producing adenoma) yang disebut juga Conn’s syndrome. Selebihnya adalah idiopatik hiperaldosteronisme (IHA). Kondisi ini dapat didiagnosa dengan menekan ACTH oleh dexametasone. Hipertensi terjadi karena retensi cairan dan natrium. Pada kasus ini juga terjadi perubahan ekskresi K+ dan H+ sehingga terjadi hipokalemi dan alkalosis metabolik. Jadi dapat ditegakkan diagnosis bila didapatkan hipokalemi tanpa penggunaan diuretik, kadar renin yang rendah, dan kadar Natrium >140 mEq/L.
Gejala klinis lain akibat hipokalemi:
• Kelemahan otot.
• Aritmia.
• Hipotensi ortostatik karena disfungsi autonom.
• Poliuria karena gangguan pemekatan urin.
• Insulin resistensi.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes skrining:
1. Pengukuran kadar kalium urin dalam 24 jam. Biasanya >140 mEq/L.
2. Perbandingan kadar aldosteron plasma aktivitas renin plasma 50-100.
3. Ekskresi aldosteron urin yang meningkat.
Untuk membedakan APA dan IHA dapat dilakukan saline suppresion test dan postural stimulation test.
Saline suppression test adalah: dilakukan infus NaCl 0,9% 1,25 L dalam waktu 2 jam untuk menekan plasma renin activity (PRA) dan angiotensin II (A-II). Darah diambil sebelum dan sesudah test untuk pemeriksaan kortisol dan aldosteron. APA akan terus memproduksi aldosteron tanpa tergantung A-II. Oleh karena itu rasio aldosteron:kortisol >2,2.
Postural stimulation test: pada keadaan ortostatik, terjadi peningkatan PRA dan A-II. Test ini dimulai saat aldosteron dan kortisol normal rendah. Oleh karena itu pasien berbaring kurang lebih 1 jam pada pagi hari jam delapan. Darah diambil untuk pengukuran aldosteron, PRA, 18-hydroxycorticosteron (18-OHB), dan kortisol. Kemudian diukur setelah 4 jam berjalan biasa. Pada APA terjadi peningkatan aldosteron dan 18-OHB dan tidak meningkat saat berdiri. Pada orang normal dan IHA pada keadaan ortostatik terjadi peningkatan aldosteron, 18-OHB, dan PRA tapi kortisol menurun. Pemeriksaan diagnostik lain adalah dengan CT scan dapat mendeteksi tumor >1 cm.
Pengobatan
Untuk APA dengan operasi pengangkatan tumor. Pada IHA dapat diberikan spironolactone atau amiloride.

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN
Keadaan hamil, CO meningkat 40% karena adanya peningkatan isi sekuncup jantung mulai pada minggu ke-6 mencapai maksimum pada trimester ke-2. Aktivitas renin plasma, aldosteron meningkat pada minggu ke-6. Aldosteron akan meningkat terus sampai minggu ke-36 kehamilan. ANP juga meningkat pada minggu ke-24 hingga ke-36 kehamilan. Hipertensi (HT) pada kehamilan dapat dikelompokkan dalam:
1. HT gestational
HT yang terjadi pada selama kehamilan atau 24 jam pasca partus tanpa disertai proteinuria atau tanda-tanda preeklampsia Biasanya tekanan darah (TD) kembali normal 12 minggu pasca partus.
Patogenesis
Sebab belum jelas. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab timbulnya hipertensi (HT) ini. Menurut penelitian terdapat kelainan mutasi pada reseptor mineralokortikoid (MR) yaitu substitusi leusin terhadap serin pada codon 810 di reseptor tersebut sehingga reseptor tersebut mudah diaktivasi oleh progesteron dan menimbulkan HT. HT timbul karena aktivasi MRL 810 oleh progesteron.
Menurut penelitian pasien preeklampsia dengan pemberian asam folat dapat mengurangi risiko HT pada wanita hamil. Pada kea daan HT dan preeklampsia pada wanita hamil terdapat peningkatan kadar homosistein dalam darah. Risiko HT gestational dapat dicegah dengan menurunkan kadar homosistein ini. Suplementasi asam folat ternyata lebih efektif bila dimulai pemberiannya pada kehamilan kurang dari 8 bulan.
Riwayat perokok sebelum dan selama kehamilan menyebabkan risiko timbulnya HT pada kehamilan lebih besar. Resisten terhadap insulin merupakan salah satu yang dipikirkan sebagai patogenesis terjadinya HT pada kehamilan. Kelainan metabolik yang berkaitan dengan resistensi terhadap insulin yang bermakna ditemukan pada wanita hamil dengan HT seperti intoleransi terhadap glukosa, hiperinsulinemia, hiperlipidemia, serta meningkatnya kadar PAI1 (plasminogen activator inhibitor-1), leptin, dan TNF-α(tumor necrosis factor-α). Kondisi yang terkait dengan resistensi terhadap insulin seperti diabetes gestational, sindrom polikistik ovarium, dan obesitas merupakan predisposisi bagi timbulnya HT pada wanita hamil.
Gangguan keseimbangan hemostasis (keadaan hiperkoagulasi) melalui faktor genetik protrombosis merupakan predisposisi untuk timbulnya HT gestational.
2. HT Kronik
HT kronik adalah HT yang sudah ada sejak sebelum kehamilan. Sering terjadi kematian janin perinatal atau pertumbuhan janin menjadi terganggu atau peningkatan kejadian preeklampsia superimpose dan solusio plasenta. Apakah TD dapat menjadi normal setelah partus dapat dilihat secara immunohistokimia. Bila protein kontraktil (SM2) tidak berkurang di arteriol aferen, ternyata TD dapat kembali normal setelah partus, jadi bukan HT kronik.
3. Preeklampsia/Eklampsia
Disebut preeklampsia bila ditemukan HT, proteinuria, dan edema pada wanita hamil yang biasanya timbul mulai akhir trimester kedua atau ada yang timbul pada awal pasca partus. Disebut HT bila TD lebih dari 140/90 mmHg dan proteinuria lebih dari 300 mg/24 jam. Proteinuria terus meningkat sesuai dengan lamanya preeklampsia bahkan dapat mencapai rentang angka status nefrotik. Pada keadaan nefrosklerosis, proteinuria tidak melebihi 1 g/24 jam. Meningkatnya kadar asam urat plasma juga merupakan tanda khas preeklampsia sehingga dapat dibedakan dengan HT kronik pada kehamilan di mana kadar asam urat kurang dari 5,5 mg/dl. Pada kehamilan normal, bersihan asam urat akan meningkat oleh karena laju filtrasi glomerulus juga meningkat. Pada keadaan preeklampsia, ini terganggu sehingga kadar asam urat plasma meningkat. Terjadi disfungsi glomerular dan penurunan kapasitas ultrafiltrasi glomerulus.
Patogenesis
Belum jelas, akan tetapi adanya gangguan pada sirkulasi uteroplasental sebagai penyebab berkurangnya perfusi plasental sebagai pemicu terjadinya disfungsi endotel vaskular ibu yang sampai saat ini masih diakui sebagai patogenesis terjadinya preeklampsia. Banyak hal yang mungkin menjadi penyebab berkurangnya sirkulasi uteroplasental ini, akan tetapi dari banyak studi yang dilakukan dibuktikan bahwa invasi abnormal sitotropoblas pada arteri spiralis merupakan faktor penyebab terpenting.
Disfungsi endotel yang ditimbulkan pada wanita dengan preeklampsia oleh gangguan sirkulasi uteroplasental ini dapat dilihat dari bukti-bukti bahwa terjadi peningkatan fibronektin dan faktor von Willebrand dalam sirkulasi ibu yang merupakan petanda kerusakan sel endotel serta penurunan kadar NO dan prostasiklin, peningkatan endotelin dan thromboxane, peningkatan reaksi vaskular terhadap angiotensin-II menunjukkan adanya gangguan fungsi endotel. Terdapatnya peningkatan TNF-α dan IL-6 pada pasien dengan preeklampsia diduga memberi kontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel. Hasil akhir dari gangguan dan penurunan fungsi endotel ini adalah penurunan kemampuan pressure natriuresis ginjal dan peningkatan resistensi perifer yang keduanya mengakibatkan peningkatan TD atau HT.
Turunnya kadar prostacycline pada keadaan preeklampsia menyebabkan sekresi renin ginjal akan berkurang sehingga kadar aldosteron menurun yang akhirnya menyebabkan menurunnya volume plasma. Kerusakan pada sel endotel juga dapat menimbulkan aktivasi koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin pada dinding vaskular. Peningkatan thromboxane disertai peningkatan permeabilitas dinding vaskular pada preeklampsia dapat menimbulkan edema perifer maupun edema paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Marc Spaanderman dkk. melaporkan adanya suatu maladaptasi pada pasien preeklampsia di mana pada awal kehamilan sudah terjadi peningkatan kadar ANP bersamaan dengan volume plasma yang lebih rendah pada minggu ke-7 kehamilan dibandingkan dengan kehamilan normal. Maladaptasi ini khususnya ditemukan pada pasien dengan HT sebelum kehamilan dan pasien dengan TD normal sebelum kehamilan yang tidak memiliki kecenderungan hiperkoagulasi. Sebanyak 15-25% pasien HT gestational dapat berubah menjadi preeklampsia bila HT timbul pada awal kehamilan atau memiliki riwayat keguguran sebelumnya, berkurang jadi 10% bila HT timbul setelah minggu ke-36.
4. Penyakit ginjal
Pada wanita hamil dengan riwayat penyakit ginjal dan HT, kehamilannya dapat memperberat keadaan penyakit ginjal dan HT yang sudah ada. Kadar kreatinin 1,5 mg/dl, merupakan batas yang masih aman untuk kehamilan. Bila terjadi perburukan fungsi ginjal perlu ada kerja sama antara nephrologist dan spesialis kebidanan (subspesialis fetomaternal).

Pengobatan
Menurunkan TD sampai pada tingkat yang aman. Tujuan pengobatan mengurangi risiko pada ibu seperti infark serebri atau gagal jantung dan juga untuk mengurangi gangguan pada sirkulasi uteroplasental. Penurunan TD yang terlalu rendah dapat mengganggu aliran darah kepada janin. Di samping itu perlu diperhatikan jenis obat antihipertensi yang diberikan agar tidak mengganggu sirkulasi uteroplasental serta obat yang mengganggu pertumbuhan janin seperti ACE-Inhibitor atau angiotensin reseptor blockers (ARB). Pemberian ACE-Inhibitor akan menimbulkan oligohidramnion oleh karena gangguan pada ginjal janin. Dalam memilih atau memutuskan pengobatan HT perlu diperhatikan:
1. Sedapat mungkin mengindarkan pemberian antihipertensi pada trimester pertama. Hari 0–17 merupakan masa fertilisasi dan implantasi dan hari 18–55 merupakan fase organogenesis yaitu masa kritis yang mengganggu pertumbuhan organ janin, sedang lebih dari hari ke-55 janin lebih resisten terhadap efek buruk obat walaupun ada sebagian obat dapat juga memberi efek buruk.
2. Pakailah obat antihipertensi yang sudah diketahui dalam jangka panjang tidak memberi efek buruk pada ibu dan janin.
3. Hindarkan pemberian obat secara episodik.
4. Harus diingat bahwa semua jenis obat antihipertensi berpotensi memberi efek yang tak diinginkan pada ibu dan janin.
5. Pemantauan ketat pada ibu dan janin perlu dilakukan.
6. Kemungkinan gangguan kepribadian dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan.
Obat-obat oral yang sering dipakai dan telah dibuktikan aman pada ibu dan janin untuk HT ringan dan sedang antara lain:
1. Metildopa. Dapat dipakai pada HT ringan dan sedang secara aman. Tidak mengganggu CO, aliran darah ke uterus dan ginjal. Dosis maksimal dapat sampai 2 g sehari, 2-4 kali pemberian.
2. Labetalol. Kombinasi penyekat alfa dan beta yang aman diberikan pada wanita hamil dengan HT tanpa memberi efek buruk pada janin seperti prematur, berat badan bayi yang rendah dan penghambatan pertumbuhan janin. Dosis yang diberikan 200–600 mg dua kali sehari.
3. Penyekat beta. Aman diberikan pada trimester ketiga. Obat yang dipakai adalah pindolol dua kali 5-15 mg, oxprenolol dua kali 20-40 mg. Pemberian atenolol tidak dianjurkan karena terbukti menurunkan berat badan bayi dan mengganggu perkembangan janin.
4. Penyekat kalsium. Obat yang sudah banyak dipakai adalah nifedipine dan sangat dianjurkan untuk memakai jenis yang slowrelease dua kali 20-40 mg.
5. Clonidine. Dapat diberikan dua atau empat kali 0,05-0,2 mg/hari. Tidak ada satu pun obat antiHT yang dapat mencegah terjadinya preeklampsia kecuali ketanserin yang dibuktikan dapat mengurangi kejadian preeklampsia dibandingkan dengan obat lain.
6. Obat-obat yang dipakai untuk HT berat, diberikan secara parenteral antara lain:
· Hidralazine. Diberikan 5-10 mg bolus IV setiap 20 menit (dapat sampai 30 mg) atau dengan tetesan IV 3-10 mg/jam.
· Labetalol. Diberikan 10-20 mg bolus IV setiap 10 menit atau dengan infus 1-2 mg/menit.
· Bila dengan hidralazine dan labetalol tidak memberi respons dapat diberikan sodium nitroprusside dengan IV drip 0,5-10 Ug/kg/menit.
· Tujuan pengobatan pada HT berat ini adalah untuk mencegah timbulnya perdarahan intraserebral pada ibu.

DIAGNOSIS
Tujuan evaluasi pasien hipertensi:
1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular, beratnya penyakit serta respons terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskular yang lain atau penyakit penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan.
Evaluasi pasien dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin dan prosedur diagnosis lainnya.

Anamnesis
Selain ditanyakan gejala-gejala yang menyertai, pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat penyakit hipertensi dalam keluarga, riwayat peningkatan tekanan darah sebelumnya. Hipertensi sekunder sering terjadi sebelum usia 35 tahun atau sesudah usia 55 tahun. Riwayat infeksi traktus urinarius berulang dengan dugaan adanya pielonefritis, walaupun keadaan ini dapat terjadi tanpa gejala. Adanya riwayat peningkatan berat badan dapat menunjang sindrom Cushing, sedangkan penurunan berat badan menunjang keadaan feokromositoma.2 Obatobat yang sedang diminum seperti golongan kortikosteroid, golongan monoamin oksidase dan golongan simpatomimetik yang dapat menimbulkan hipertensi serta obat-obat hipertensi yang telah diminum untuk mengetahui efektivitas dan efek samping obat juga perlu ditanyakan.
Selain itu, pada anamnesis juga perlu ditanyakan adanya penyakit vaskular yang membahayakan seperti angina pektoris, gejala insufisiensi cerebrovascular, gagal jantung kongestif dan insufisiensi vaskular perifer. Faktor risiko lain yang perlu ditanyakan adalah kebiasaan merokok, diabetes mellitus, gangguan lipid dan riwayat keluarga yang meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Gaya hidup pasien meliputi diet, aktivitas fisik, status keluarga, pekerjaan dan tingkat pendidikan juga perlu ditanyakan karena selain berhubungan dengan penyakitnya juga mempengaruhi penatalaksanaan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan melihat penampakan pasien secara umum seperti apakah terdapat moon face dan obesitas trunkal yang biasa terdapat pada sindrom Cushing. Pada pemeriksaan fisik mencakup pengukuran tekanan darah dan nadi, dengan membandingkan lengan kontralateral pada keadaan berbaring dan berdiri, pemeriksaan fundus optik, pengukuran Body Mass Index (BMI) (pengukuran lingkar perut juga sangat berguna), auskultasi bruits pada karotis, abdominal dan femoral, palpitasi kelenjar tiroid, pemeriksaan paru dan jantung untuk mengetahui apakah terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan dekompensasi kordis, pemeriksaan abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, massa, kandung kemih yang distensi, pulsasi aorta abnormal dan bruits akibat stenosis arteri renal, palpasi ekstremitas bawah untuk pemeriksaan edema dan nadi serta melakukan pemeriksaan neurologi.
Dalam melakukan pengukuran tekanan darah dalam menegakkan diagosis hipertensi, selain diperlukan cara pengukuran yang tepat dengan alat ukur yang akurat, juga perlu dilakukan pemeriksaan minimal 2 kali pada masing-masing kedatangan dengan minimal kedatangan 2 kali.
Tabel 3. Rekomendasi follow-up berdasarkan pengukuran tekanan darah inisial pada dewasa tanpa kerusakan target organ

Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 5. Laboratory tests for evaluation of hypertension

NOTE: HDL, high-density lipoprotein; LDL. low-density lipoprotein; MRI, magnetic resonance imaging.

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum terapi dimulai mencakup EKG 12 lead, urinalisis, glukosa darah (diabetes mellitus sering ditemukan pada hipertensi) dan hematokrit, kalium serum (skrining terhadap aldosteronisme primer, kreatinin (untuk menilai Laju Filtrasi Ginjal/LFG), kalsium dan lipid profile yang meliputi kolesterol HDL, LDL dan trigliserida (faktor predisposisi aterosklerosis). Pemeriksaan pilihan meliputi pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin/kreatinin. Kecuali pada diabetes dan penyakit ginjal, dimana pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tahun. Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab secara umum tidak diindikasikan kecuali tekanan darah yang terkontrol tidak tercapai atau evaluasi klinis dan laboratorium rutin terdapat dugaan kuat penyebab sekunder (misalnya bruits vaskular, gejala katekolamin yang berlebihan, hipokalemia tanpa penyebab yang jelas).
Prosedur diagnosis tambahan mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi, terutama pada pasien dengan: (1) umur, anamnesis, pemeriksaan fisik, derajat beratnya hipertensi atau penemuan laboratorium ke arah beberapa penyebab hipertensi; (2) respon yang buruk terhadap pengobatan; (3) tekanan darah mulai meningkat tanpa alasan yang jelas setelah terkontrol dengan baik; (4) onset hipertensi yang tiba-tiba. Pemeriksaan tersebut misalnya: pemeriksaan LFG untuk mengetahui adanya penyakit ginjal kronik, CT-angiography untuk mendiagnosis koarktasio aorta, pengukuran metaepinefrin dan normetaepinefrin urin 24 jam untuk mendiagnosis feokromositoma, dan masih banyak yang lainnya.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ditujukan untuk dapat melakukan proteksi kepada ”target organ” penting. Fokus yang ditujukan kepada evaluasi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi pada target organ penting seperti susunan saraf pusat, retina mata, jantung, ginjal serta pembuluh darah secara umum merupakan jalur berpikir rutin pada setiap penanganan hipertensi.8 Pada clinical trial, terapi antihipertensi berhubungan dengan penurunan insiden stroke 35-40%,

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan hipetensi
infark miokard 20-25%, gagal jantung >50%. Target TDS dan TDD adalah <140/90 mmHg yang berkaitan dengan penurunan komplikasi CVD.2,3 Pasien hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal, target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. Sedangkan tujuan terapi individu dengan prehipertensi tanpa penyakit penyerta adalah dengan menurunkan tekanan darah ke normal dengan modifikasi gaya hidup untuk mencegah progresivitas peningkatan tekanan darah.3 Dalam mencapai tujuan terapi dapat dilakukan penatalaksanaan terhadap hipertensi berdasarkan algoritma yang telah ditetapkan. (Gambar 3)
Apabila diagnosis hipertensi telah ditegakkan maka pengobatan dapat dimulai dengan terapi non-farmakologi dengan modifikasi gaya hidup berupa pengurangan asupan garam, olah raga teratur, menghentikan rokok, dan mengurangi berat badan. Pengobatan non-farmakologik dapat mendahului atau bersama-sama sejak awal dengan pengobatan farmakologi.3
Tingginya tekanan darah merupakan salah satu faktor yang menentukan dimulainya pengobatan farmakologi. Pedoman menurut JNC-7 2003 memberikan rekomendasi pengobatan farmakologi pada hipertensi stadium 1 apabila terapi non-farmakologi tidak mencapai target TD yang ditetapkan. Individu yang mengalami prehipertensi tidak diberikan pengobatan tetapi dengan melakukan modifikasi gaya hidup untuk mengurangi risiko berkembangnya ke arah hipertensi dikemudian hari. Namun, individu dengan prehipertensi yang juga mengalami diabetes mellitus atau penyakit ginjal seharusnya diberikan pengobatan apabila modifikasi gaya hidup gagal menurunkan tekanan darah menjadi 130/80 mmHg atau kurang.
Pedoman menurut JNC-7 2003 membagi pengobatan menjadi dua yaitu tanpa atau dengan indikasi memaksa (compelling indication), tidak didasarkan atas ada atau tidak adanya faktor risiko dan kerusakan organ target. Yang dimaksud dengan indikasi memaksa adalah keadaan medik seperti diabetes, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, pasca infark miokard, stroke berulang, penyakit pembuluh darah perifer dan risiko tinggi penyakit jantung koroner yang mengharuskan digunakannya obat antihipertensi tertentu sebagai pilihan pengobatan (tabel 6).
Sebagai terapi inisial bila dengan modifikasi gaya hidup target tekanan darah tidak tercapai, thiazide sebaiknya digunakan baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan obat antihipertensi dari kelas lain (ACEI, ARB, BB, CCB). Pemilihan obat dari kelas yang lain juga dipertimbangkan bila thiazide tidak dapat digunakan atau terdapat keadaan penyerta yang membutuhkan terapi yang spesifik. Kebanyakan pasien hipertensi membutuhkan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diharapkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda sebaiknya dimulai ketika penggunaan obat tunggal dalam dosis yang adekuat gagal untuk mencapai target. Ketika SBP >20 mmHg atau DBP >10 mmHg di atas target, maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi inisial dengan 2 obat, baik dalam 1 kemasan maupun terpisah.3,7 Terapi kombinasi yang dianjurkan adalah diuretik dan BB, ACE-I dan diuretik, BB dan CCB dan ACE-I dan CCB.
Table 6. Clinical Trial and Guideline Basis for Compeling Indication for Individual Drug Classes

Untuk dapat menggunakan obat antihipertensi yang rasional, maka perlu dipahami tempat kerja dan mekanisme kerja masing-masing obat. Secara umum, terdapat 7 macam golongan obat, yaitu diuretik, ACE-I, ARB, CCB, antiadrenergik, vasodilator, dan antagonis reseptor mineralokortikoid. Dosis obat-obat tersebut dapat dilihat pada keterangan di bawah ini.

Diuretik
Diuretik mempunyai efek antihipertensi dengan cara menurunkan volume ekstraselular dan plasma sehingga terjadi penurunan curah jantung. Thiazide menghambat reabsorpsi Na+ di segmen kortikal ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Pada studi ALLHAT menunjukkan bahwa diuretika golonga thiazide lebih baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular dibandingkan dengan ACE-I dan CCB, di samping itu harganya tidak mahal, sehingga dianjurkan sebagai obat lini pertama hipertensi baik sebagai monoterapi ataupun dengan kombinasi dengan golongan lain. Pada penggunaan jangka panjang juga dilaporkan terjadi penurunan resistensi vaskular perifer. Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia, hiponatremia, hiperurisemia, dan gangguan lain seperti kelemahan otot, muntah dan pusing. Pada gangguan fungsi ginjal thiazide tidak dianjurkan karena tidak menunjukkan efek antihipertensi dan pada keadaan ini dapat digunakan diuretik loop seperti furosemide dan asam etakrinat yang merupakan diuretik kuat. Golongan ini bekerja pada segmen tebal medullary ascending limb, loop Henle. Diuretik jenis lain adalah potasium sparing diuretics seperti aldactone dan triamteren yang menghambat ekskresi Na+, sekresi K+ dan H+ pada tubulus distal. Hiperkalemia adalah efek samping yang dapat terjadi sehingga obat ini jarang dipakai pada hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal.

Angiotensin Converting Enzym-Inhibitors (ACE-I)
Obat golongan ini menghambat ACE (enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II). Obat ini semakin dikenal dalam terapi inisial. Obat ini berguna karena tidak hanya menghambat pembentukan vasokonstriktor poten (angiotensin II) tetapi juga memperlambat degradasi vasodilator (bradikinin), mengubah produksi prostaglandin dan mengubah aktivitas sistem saraf adrenergik. Obat ini berguna terutama pada hipertensi renal atau renovaskular dan pada pasien diabetes. Obat ini juga merupakan salah satu obat utama dalam gagal jantung kiri, dan juga bermanfaat untuk infark jantung akut, terutama dengan gangguan faal jantung kiri. Efek samping yang terjadi berupa batuk (5-10%), hiperkalemia pada pasien insufisiensi renal dan angioedema. Pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral, penurunan fungsi ginjal yang cepat dapat terjadi.
Obat golongan ini yang pertama kali digunakan di klinik adalah enalapril dan captopril, namun saat ini telah banyak beredar ACE-I yang lain. Pada hipertensi ringan dan sedang, captopril dapat diberikan 12,5 mg, 2x/hari. Dosis yang biasa adalah 25-50 mg/hari. Saat ini telah diketahui bahwa aktivasi sistem renin angiotensin bertanggungjawab terhadap efek merusak pada kardiovaskular dan ginjal dan dengan dihambat oleh ACE-I, maka efektif dalam melawan perubahan organorgan ini, walaupun pasien tanpa hipertensi.


Angiotensin II Reseptor Blockers (ARB)
Obat ini yang paling selektif dalam menghambat sistem reninangiotensin, dan mempunyai efek yang sama dengan ACE-I. Obat ini secara kompetitif menghambat pengikatannya terhadap reseptor angiotensin II subtipe AT1. Perangsangan pada AT1 akan menyebabkan vasokonstriksi, retensi air dan garam, pembentukan aldosteron, perangsangan simpatis, hipertrofi jantung, pembuluh darah dan glomerulus, pembentukan radikal bebas, oksidasi LDL, menyebabkan adesi, proses peradangan, dan merangsang efek proaterogenesis. Sedangkan reseptor AT2 mempunyai efek antiproliferatif organ target, efek sel diferensiasi, regenerasi, apoptosis dan efek vasodilatasi. ARB secara selektif menghambat perangsangan AT1 sehingga efek vasokonstriksi dan proaterogenik dari angiotensin II dapat dicegah, sedangkan AT2 tidak dihambat sehingga terjadi vasodilatasi dan antiproliferasi. Jadi kedua efek tersebut dapat menurunkan tekanan darah dan memberikan proteksi organ target, seperti jantung, pembuluh darah dan ginjal. Efikasi dan tolerabilitas ARB serupa dengan ACE-I tetapi dengan sedikit efek samping. Secara spesifik, ARB tidak menyebabkan batuk dan angioedema karena tidak meningkatkan kadar bradikinin. Seperti ACE-I, ARB juga dikontraindikasikan untuk wanita hamil dan stenosis arteri renalis bilateral.

Calcium Channel Blocker (CCB)
Terdapat 3 subkelas CCB yaitu derivat phenyilalkilamine (verapamil), benzothiazepine (diltiazem) dan dihydropyridine (amlodipine). Golongan obat ini menghambat masuknya Ca2+ melalui saluran kalsium, menghambat pengeluaran Ca2+ dari pemecahan retikulum sarkoplasma, dan mengikat Ca2+ pada otot polos pembuluh darah. Selain efek pada pembuluh darah perifer dengan menurunkan resistensi perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah, CCB juga mempunyai efek hormonal dan renal yang mempengaruhi efek antihipertensi.

Ketiga subtipe ini menyebabkan vasodilatasi, namun hanya dyhidropyridine yang menyebabkan takikardi sementara diltiazem dan verapamil menyebabkan perlambatan konduksi atrioventrikular. Saat ini semua obat golongan CCB menunjukkan efek antihipertensi yang efektif dan aman, sehingga obat golongan ini diusulkan sebagai obat antihipertensi lini pertama. Penggunaan CCB saat ini luas baik dalam penatalaksanaan hipertensi dengan penyakit jantung koroner maupun keadaan lain seperti hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi dengan asma bronkial, pasien diabetes melitus, gagal ginjal kronis, dan pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer. Dan pada akhir-akhir ini CCB dianjurkan untuk hipetensi dengan usia lanjut. Saat ini, CCB diharapkan mempunyai efek anti aterosklerosis seperti yang ditunjukkan dalam studi INSIGHT di mana progresivitas penebalan intima media thickness dapat dihambat dan kalsifikasi pembuluh koroner dapat dikurangi. Namun, pemberian CCB haruslah memperhatikan kontraindikasi seperti gagal jantung yang berat, sindrom sick sinus, adanya gangguan konduksi di nodus atrioventrikular ataupun sinoatrial. Efek samping yang timbul dapat berupa rasa panas pada muka dan edema pada ekstremitas bawah.

Antiadrenergik
a. Penghambat reseptor β-adrenergik
Obat ini menghambat efek simpatik pada jantung dan paling efektif dalam menurunkan cardiac output dan menurunkan tekanan darah arteri pada keadaan terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis jantung. Obat ini sering digunakan sebagai terapi lini pertama. Obat ini terutama berguna bila diberikan bersama vasodilator, di mana cenderung untuk meningkatkan denyut jantung dan diuretik yang meningkatkan aktivitas renin. Dalam prakteknya, β-blocker efektif walaupun tidak terdapat peningkatan tonus simpatis. Obat ini dapat mempresipitasi gagal jantung dan asma dan sebaiknya digunakan dengan perhatian pada pasien diabetes yang menerima terapi hipoglikemik karena β-blocker menghambat reaksi simpatis akibat hipoglikemi. β-blocker kardioselektif (beta blocker seperti metaprolol, atenolol) lebih superior dibandingkan dengan yang nonkardioselektif seperti propanolol dan timolol pada pasien dengan bronkospasme. Obat yang bekerja sentral seperti clonidine dan metildopa menstimulasi reseptor α2 vasomotor di otak, sehingga dapat menurunkan simpatis dan tekanan arteri. Biasanya penurunan cardiac output dan denyut jantung juga terjadi. Hipertensi rebound dapat terjadi bila clonidine dihentikan, hal ini mungkin secara sekunder akibat peningkatan pelepasan epinefrin. Obat ini tidak digunakan sebagai terapi lini pertama.
b. Penghambat reseptor α-adrenergik
Obat golongan ini tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Terdapat 2 reseptor α yaitu α1 dan α2, dimana α2 berkaitan dengan kejadian toleransi. Prazosin, terazosin, dan doxazosin lebih efektif dibandingkan dengan phentolamine dan phenoxybenzamine karena secara selektif hanya menghambat reseptor α1. Ketiga obat ini dapat menyebabkan hipotensi pada dosis pertama. Penggunaan obatobat tersebut menurun berkaitan dengan pelaporan peningkatan kejadian kardiovaskular.

Vasodilator
Golongan obat ini tidak digunakan sebagai terapi inisial. Hidralazine dapat menyebabkan relaksasi langsung otot polos pembuluh darah terutama pada resistensi arterial. Namun obat ini dapat menyebabkan refleks peningkatan simpatis yang meningkatkan frekuenis jantung dan cardiac output sehingga penggunaannya terbatas terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Diazoxide, nitroprusside dan nitrogliserin digunakan pada terapi hipertensi emergency

Antagonis Reseptor Mineralokortikoid
Saat ini diketahui bahwa aldosteron tidak hanya mempunyai efek pada ginjal tetapi juga pada jantung dan pembuluh darah berkaitan dengan fibrosis dan hipertrofi. Spironolactone lebih efektif digunakan pada terapi hipertensi dengan kadar mineralokortikoid berlebih seperti pada aldosteronisme sekunder. Namun pada studi uji klinis RALES pada gagal jantung, penggunaan spironolactone dosis rendah dapat menurunkan mortalitas 30%, sehingga diduga bahwa antagonis repetor aldosteron berguna walaupun kadar aldosteron relatif normal.
Bila diketahui adanya hipertensi sekunder, maka perlu penatalaksanaan sesuai dengan penyebabnya. Hipertensi ginjal selain dilakukan pembatasan natrium dan pemberian obat antihipertensi (diuretik thiazide, diuretik loop, ACE-I, CCB) juga dengan diet rendah protein. Sedangkan penatalaksanaan hipertensi renovaskular meliputi terapi obat, Percutaneus Transluminal Renal Angioplasty (PTRA), nefrektomi dan ablasi renal. Penatalaksanaan sindrom Cushing tergantung penyebabnya, bila tumor adrenal sebagai penyebab maka dilakukan tindakan pembedahan dan pemberian kortikosteroid sebagai substitusi, sedangkan apabila karena hiperplasia akibat rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap kelenjar adrenal maupun hipofisis. Penatalaksanaan hiperaldosteronisme primer juga tergantung penyebab, dimana bila penyebabnya adalah adenoma, maka dilakukan pembedahan, sedangkan pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit dengan pemberian antagonis aldoseron atau diuretik hemat kalium. Pemberian pengobatan medikamentosa (fenoksibenzamin atau prazosine oral) pada feokromositoma sangat bermanfaat sebelum tindakan pembedahan.

FOLLOW-UP DAN MONITOR
Sekali obat antihipertensi diberikan, kebanyakan pasien sebaiknya kembali untuk follow-up dan menilai kembali obat yang diberikan dalam interval 1 bulan atau kurang sampai target tekanan darah dicapai. Kedatangan yang lebih sering diperlukan untuk pasien hipertensi derajat 2 atau adanya komplikasi. Kalium dan kreatinin serum sebaiknya dimonitor paling sedikit 1-2x/tahun. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil, follow-up biasanya dilakukan dalam interval 3-6 bulan. Adanya komorbiditas seperti gagal jantung yang berhubungan dengan penyakit seperti diabetes, dan perlunya pemeriksaan laboratorium mempengaruhi frekuensi kedatangan. Faktor risiko kardiovaskular lainnya sebaiknya dimonitor dan diterapi. Terapi aspirin dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan hanya pada hipertensi yang terkontrol karena risiko stroke hemoragik akan meningkat pada hipertensi yang tidak terkontrol.

KEADAAN-KEADAAN KHUSUS PADA HIPERTENSI
Indikasi Memaksa (Compelling Indications)
Compelling indications untuk terapi spesifik mencakup kondisi risiko tinggi yang dapat menyebabkan secara langsung gejala sisa hipertensi (gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronik dan stroke yang berulang) atau penyakit yang berhubungan dengan hipertensi (diabetes, risiko tinggi penyakit jantung), sehingga diperlukan obat antihipertensi tertentu. Pemilihan obat-obat ini didasarkan atas uji klinis.

Penyakit Jantung Iskemik
Penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target utama yang paling sering yang berhubungan dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan angina pektoris atabil, BB adalah pilihan pertama dan CCB kerja panjang dapat digunakan sebagai obat alternatif. Pada pasien sindrom koroner akut, dalam terapi inisial sebaiknya diberikan BB dan ACE-I, dengan tambahan obat lain bila diperlukan untuk mengontrol tekanan darah. Pada pasien post-infark miokard, ACE-I, BB dan antagonis aldosteron dapat diberikan. Selain itu, perlu juga penatalaksanaan dalam hal gangguan lipida dan pemberian aspirin.

Gagal Jantung
Gagal jantung baik disfungsi ventrikular sistolik maupun diastolik merupakan akibat primer hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Pengontrolan tekanan darah yang ketat dan pengontrolan kadar kolesterol adalah tindakan preventif pada pasien dengan risiko tinggi gagal jantung. Pada pasien disfungsi ventikular asimptomatik, ACE-I dan BB direkomendasikan. Sedangkan untuk pasien dengan disfungsi ventikular simptomatik dan penyakit jantung stadium akhir, selain digitalis, ACE-I, BB, ARB dan aldosterone blockers direkomendasikan bersama dengan diuretik loop.

Penyakit Ginjal Kronik
Hipertensi sering ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, sehingga penatalaksanaan agresif terhadap tekanan darah sebaiknya diberikan dalam hal memperlambat penurunan fungsi ginjal dan mencegah penyakit jantung yang merupakan tujuan terapi pada penyakit ginjal kronik. Obat antihipertensi sering dibutuhkan 3 macam atau lebih untuk mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. ACE-I atau ARB mempunyai efek pada progresivitas penyakit ginjal diabetik atau nondiabetik. Pada penyakit penyakit ginjal lanjut (LFG <30 ml/ menit 1,73 m2, kreatinin serum 2.5-3 mg/dl)), diperlukan peningkatan dosis diuretik loop dalam kombinasi dengan obat lain.

Penyakit cerebrovascular
Risiko dan keuntungan penurunanan tekanan darah secara akut selama stroke akut masih belum jelas, kontrol tekanan darah pada level intermediate (kira-kira 160/100 mmHg) telah cukup sampai keadaan stabil atau membaik. Kejadian stroke berulang dapat diturunkan dengan kombinasi ACE-I dan thiazide.

Hipertensi Diabetik
Pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi, biasanya diperlukan 2 atau lebih antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. Diuretik thiazide, BB, ACE-I, ARB dan CCB dapat menurunkan insidens CVD dan stroke pada pasien diabetes. ACE-I dan ARB mempunyai efek terhadap progresivitas nefropati diabetik dan menurunkan albuminuria.

KEADAAN KHUSUS LAINNYA
Obesitas dan Sindrom Metabolik Obesitas (IMT >30 kg/m2) meningkatkan prevalensi faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dan CVD. The Adult Treatment Panel III guideline for cholesterol management mendefinisikan sindrom metabolik bila terdapat 3 atau lebih keadaan: obesitas abdominal (lingkar pinggang >102 cm pada pria atau >88 cm pada wanita), intoleransi glukosa (glukosa puasa >110 mg/dl), TD >130/85 mmHg, trigliserida tinggi (>150 mg/dl) atau HDL rendah (<40 mg/dl pada pria atau <50 mg/dl pada wanita). Pada pasien ini dianjurkan untuk melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi antihipertensi yang sesuai. ACE-I, SRB, CCB dan β-blocker adalah terapi lini pertama bagi pasien hipertensi dengan obesitas. Hal ini didasarkan pada efektivitasnya untuk mengontrol tekanan darah dan tidak didapatkannya gangguan metabolisme lipid dan glukosa selama pemberian obat tersebut.


Hipertrofi Ventrikel Kiri
Regresi hipertrofi ventrikel kiri terjadi dengan pengaturan tekanan darah secara agresif, termasuk penurunan berat badan, restriksi sodium, dan terapi dengan antihipertensi kecuali vasodilator hydralazine dan minoksidil.


Penyakit Arteri Perifer
Penyakit arteri perifer ekuivalen dengan risiko terhadap penyakit jantung iskemik. Selain diberikan antihipertensi, juga dapat dipertimbangkan pemberian aspirin.


Hipertensi Pada Usia Lanjut
Hipertensi terjadi pada lebih dari dua pertiga pasien berusia setelah 65 tahun. Rekomendasi penatalaksanaan untuk usia lanjut dengan hipertensi, termasuk hipertensi sistolik terisolasi, mengikuti prinsip yang sama dengan penatalaksanaan umum hipertensi.

Hipotensi Postural
Penurunan tekanan darah saat berdiri (TDS >10 mmHg) yang berkaitan dengan pusing atau pingsan, lebih sering terjadi pada usia lanjut dengan hipertensi sistolik, diabetes, terapi diuretik, venodilator (mis. Nitrat, β-blockers, dan sildenafil) dan beberapa obat psikotropik. Pada pasien ini sebaiknya dicegah kekurangan volume dan titrasi dosis antihipertensi yang berlebihan secara cepat.


Demensia
Demensia dan penurunan kognitif terjadi lebih sering pada pasien hipertensi. Keadaan ini dapat diturunkan dengan terapi antihipertensi yang efektif.

Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi adalah keadaan yang potensial dapat mengancam jiwa sehingga memerlukan tindakan medik segera untuk mencegah atau memperkecil kerusakan organ target.7 Ditinjau dari kecepatan pengobatan yang diperlukan, krisis hipertensi dibedakan menjadi kegawatan hipertensi (hypertensive emergency) dan hipertensi mendesak (hypertensive urgency). Hypertensive emergency digambarkan sebagai peningkatan tekanan darah yang berat (>180/120 mmHg) dengan kerusakan organ target akut (mis. hipertensi ensefalopati, perdarahan intraserebral, infark miokard akut, gagal ventrikel kiri akut dengan edema pulmonal, angina pektoris tidak stabil, eklampsia, perdarahan arterial yang mengancam jiwa atau diseksi aorta). Keadaan ini membutuhkan penurunan tekanan darah segera dalam waktu beberapa menit. Tujuan pengobatan pada keadaan ini adalah memperkecil kerusakan kerusakan organ target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat pengobatan dengan menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) tidak lebih dari 25% (dalam menit sampai 1 jam), kemudian bila stabil, diturunkan 160/100 mmHg sampai 110 mmHg dalam 2 sampai 6 jam berikutnya. Bila tekanan darah pada level ini dapat ditoleransi dan keadaan klinis pasien stabil, penurunan bertahap ke arah normal dapat dilakukan dalam 24-48 jam berikutnya. Pengobatan hypertensive emergency dilakukan di unit perawatan intensif yang dilengkapi dengan monitor tekanan darah dan antihipetensi yang diberikan umumnya intravena baik dengan bolus maupun infus kontinu karena dapat bekerja secara cepat.
Sedangkan hypertensive urgency adalah peningkatan tekanan darah yang berat tanpa kerusakan organ target progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilakukan lebih lambat dalam waktu beberapa jam. Keadaan ini biasanya tidak membutuhkan perawatan di RS, tetapi membutuhkan pemberian kombinasi terapi antihipertensi segera, seperti captopril, labetalol, atau klonidin diikuti dengan beberapa jam observasi.


1. Clarkson MR, Brenner BM. The Kidney: Hypertension. Seventh Edition. USA: Elsevier, 2005; 419-67.
2. Wilcox CS. Hypertension. Dalam: Greenberg A, Cheung A, Coffman TM, Falk RJ, Jennette JC, editor. Primary on Kidney Disease: National Kidney Foundation; 2005. 555-82
3. Naskah Lengkap The 4th Jakarta Nephrology & Hypertension Course and Symposium of Hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2004. h. 94-132
4. Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Available at: http://www.hypertensionaha.org
5. Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL (editors). Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 252-263
6. Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H, dkk (editor). Buku ajar penyakit dalam jilid II ed.3.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h. 453-489
7. Johnson RJ, Feehally J. (Editors). Comprehensive Clinical Nephrology 2nd Ed. Philadelphia: Mosby; 2003. p. 463-510
8. Massie, BM. Systemic Hypertension. Dalam: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editor. Current Medical Diagnosis & Treatment. San Fransisco: The Mc-Graw-Hill Companies; 2002, 459-84
9. Wilcox CS. Secondary Form Hypertension. Dalam: Tisher CC, Wilcox CS, editor. Nephrology and Hypertension: Washington: Lippincott Williams & Wilkings; 1999.p.179-89
10. Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati, Aspek Klinik dan Patologi Ginjal, Pengelolaan Hipertensi Saat Ini. Jakarta: PERNEFRI; 2003.h.93-126
11. Trisnohadi HT. Peran Antagonis Kalsium Dalam Penatalaksanaan Pasien Hipertensi. Dalam: Alwi I, Nasution S. (Ed). Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular III dan KARIMUN III. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.h.124-126
12. Prodjosudjadi W. Perlindungan. Ginjal Pada Hipertensi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kolopaking MS, Sari NK, Kie.(Ed) Current Diagnosis and Treatment In Internal Medicine 2004. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.h.95-100
13. Trisnohadi HT. Pengobatan Hipertensi dan Proteksi Kardiovaskular: Apakah Peran AIIRA? Dalam:Makmun LH, Alwi I, Mansjoer A.(Ed). Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2003. h. 113-117.
14. Sower JR, Haffer S. Treatment of Cardiovascular and Renal Risk Factors in the Diabetic. Hypertension 2002; 780-88.
15. Nathan S, Pepin CJ, Bakris JL. Calcium Antagonist: Effects on Cardio-Renal Risk in Hypertension Patients. Hypertension 2005; 46:637




Artikel Lainnya