translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

HIV/AIDS: Kini dan Mendatang

AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Ciri penyakit ini adalah timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan. Sejak epidemi AIDS bermula, lebih dari 65 juta orang telah terinfeksi HIV dan lebih dari 25 juta orang meninggal karena AIDS. Di Indonesia pada tahun 2006 infeksi HIV diperkirakan mencapai 169.000-216.000 orang. HIV menular melalui hubungan seksual, melalui darah/produk darah yang tercemar, atau secara vertikal dari ibu hamil ke bayinya. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA, Western Blot dan PCR. Pengobatan HIV menggunakan kombinasi tiga obat, terdiri dari dua nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan satu protease inhibitor atau satu non nucleoside reverse transcriptase inhibitor. Ancaman epidemi HIV di Indonesia tampak dari terus meningkatnya infeksi HIV khususnya pada kelompok berisiko tinggi di sejumlah daerah. Peningkatan tersebut disebabkan penularan pada pengguna NAPZA suntik, sementara penularan melalui hubungan seksual berisiko masih tetap berlangsung. Yang perlu diantisipasi adalah mencegah perluasan epidemi HIV selanjutnya dengan meningkatkan upaya untuk mengatasi faktor-faktor risiko yang menyebabkan percepatan penyebaran HIV.



Diambil dari artikel oleh: 
Tantur Syahdrajat
Klinik RZI (Rumah Zakat Indonesia) Jakarta

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap. Ciri penyakit ini adalah dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi yang bersifat oportunistik dan penyakit keganasan. Kasus AIDS pertama kali dilaporkan tahun 1981. Kasus ini terjadi pada pria homoseksual dan pecandu narkotik di Los Angeles. Pada tahun 1983, HIV-1 (human immunodeficiency virus-1) diidentifikasi sebagai virus penyebab AIDS. Sejak epidemi AIDS bermula, lebih dari 65 juta orang telah terinfeksi HIV dan lebih dari 25 juta orang meninggal karena AIDS. Prevalensi infeksi HIV di dunia kini lebih dari 38 juta. Sebanyak 95% kasus terjadi di negara berkembang, terutama di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Hampir 64% pengidap infeksi HIV terdapat di sub-Sahara Afrika. Kebanyakan kasus AIDS terjadi pada dewasa usia 25-44 tahun.5 Berdasarkan jenis kelamin kebanyakan infeksi HIV masih terjadi pada pria yang melakukan kontak homoseksual. Namun, frekuensi infeksi pada wanita mengalami peningkatan, terutama di negara-negara berkembang. Di dunia, sekitar 50% penderita HIV adalah wanita5 dan lebih dari 40% infeksi baru terjadi pada kelompok usia muda 15-24 tahun. Di sub-Sahara, 60% pengidap HIV adalah wanita dan 77% kasus baru HIV baru pada usia 15-24 tahun. Secara internasional, infeksi HIV pada anak <15 tahun diperkirakan mendekati 10% dari seluruh kasus HIV. Jumlah kasus HIV pada tahun 2006 diperkirakan sebesar 39,5 juta. Jumlah infeksi baru sebanyak 4,3 juta. Sebanyak 2,9 juta orang meninggal akibat penyakit terkait AIDS.
Ada dua jenis virus utama penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.7 HIV-1 paling banyak ditemukan di seluruh dunia, sementara HIV-2 terutama dijumpai di Afrika Barat. Umumnya HIV menular melalui hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi. Meskipun mayoritas kasus awal HIV/AIDS di Amerika Serikat terjadi pada pria homoseksual, kini mayoritas kasus baru infeksi HIV terjadi pada populasi heteroseksual. Lebih dari 70% penularan HIV akibat hubungan seks pada heteroseksual, 5-10% pada homoseksual. Sebanyak 5-10% terjadi pada injecting drug use-sharing needle. Di kebanyakan negara berkembang, transmisi heteroseksual adalah cara penularan yang dominan dan transmisi dari ibu ke anak lebih umum terjadi dibanding di negara maju. Transmisi homoseksual jarang di Afrika, tetapi lebih umum di Asia Tenggara, Asia Tengah dan Amerika Selatan. Transmisi yang berkaitan dengan injecting drug use terutama sering terjadi di sebagian Asia Tenggara, Asia Selatan dan Amerika Selatan. Transmisi melalui darah yang terkontaminasi masih menjadi masalah, terutama di sebagian sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Di beberapa negara, donor darah komersial berperan dalam meningkatkan penyebaran HIV, pada resipien seperti halnya donor yang dapat terinfeksi melalui paparan pada peralatan yang tidak steril. Wanita dan anak-anak khususnya, memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV melalui transfusi karena tingginya insiden anemia dan perdarahan yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, dan belakangan oleh karena anemia pada malaria.
Salah satu dampak jangka panjang meluasnya penyebaran HIV/AIDS adalah pada indikator demografi. Mengingat HIV lebih banyak menjangkiti orang muda kelompok usia produktif (19-49 tahun), dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup dan berdampak besar pada ketersediaan dan produktivitas tenaga kerja. Meluasnya HIV/AIDS bukan hanya akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian tetapi juga akan menurunkan kegiatan ekonomi dan pembangunan negara. Dalam kurun waktu satu dekade jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di sub-Sahara Afrika 28,1 juta, kasus infeksi baru 3,4 juta, lebih 20 juta meninggal, umur harapan hidup turun dari 60 tahun menjadi 43 tahun, terjadi di Botswana, Zimbabwe, Zambia, Uganda dan Malawi. Berbagai dampak sosioekonomi seperti kemiskinan, keterbelakangan, terancamnya kegiatan sektor ekonomi merupakan contoh betapa beratnya beban suatu perusahaan pertanian di Kenya akibat meningkatnya kasus baru AIDS dan semakin membengkaknya biaya pengobatan per tahun. Di Thailand dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, jumlah ODHA mencapai 670.000, anak yatim piatu meningkat, ibu hamil yang terinfeksi HIV meningkat, infeksi pada kelompok Injecting Drug User (IDU) meningkat, dan banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi dari para suami yang terinfeksi dari wanita penjaja seks.

Keadaan Di Indonesia
Kasus AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan tahun 1987. Kasus ini terjadi pada seorang wisatawan asing di Bali. Jumlah kasus HIV dan AIDS sejak 1987 sampai 2002 terus meningkat. 70% penularan terjadi melalui hubungan seksual berisiko. Sejak akhir tahun 2002 terjadi kenaikan tajam kasus AIDS dan di beberapa daerah prevalensi pada subpopulasi berisiko tinggi mencapai 5%, sehingga Indonesia dikategorikan dalam epidemi terkonsentrasi. Peningkatan pesat tersebut disebabkan penularan pada pengguna NAPZA suntik (penasun) sementara penularan melalui hubungan seksual berisiko tetap berlangsung. Pada akhir 2003 penularan pada penasun meningkat menjadi 26%. Pada tahun 2006 infeksi HIV diperkirakan mencapai 169.000-216.000 orang. Depkes melaporkan terjadinya peningkatan prevalensi HIV positif pada penjaja seks 23%, penasun 48% dan penghuni lapas 68%. Peningkatan prevalensi HIV positif terutama terjadi di kota-kota besar.
Peningkatan prevalensi pada penjaja seks terjadi di kota-kota besar dan kecil bahkan di pedesaan, terutama di Papua dan Irian Jaya Barat. Di kedua provinsi ini, epidemi sudah menyerang populasi umum dengan ditemukannya kasus pada ibu rumah tangga baik di kota atau desa. Hingga akhir September 2007 jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 10.384 dan kasus HIV sebanyak 5.904. Jumlah yang tercatat tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi yang sesungguhnya karena adanya fenomena gunung es. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal sebanyak 22,02%. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan di Jakarta, diikuti Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau dan Riau. Penularan melalui penasun sebesar 49,5%, heteroseksual 42% dan homoseksual 4%. Berdasarkan jenis kelamin, terjadi 82% kasus AIDS pada laki-laki, 16% kasus pada perempuan, dan sisanya tidak diketahui. Kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (53,8%), diikuti kelompok 30-39 tahun (27,99%), dan kelompok 40-49 tahun (8,19%). Infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TB, diare kronis, kandidiasis orofaring, dermatitis generalisata, dan limfadenopati generalisata.


Transmisi Seksual
Kegiatan jasa seks tumbuh pesat di penjuru nusantara. Pekerja seks komersial, baik perempuan maupun laki-laki serta waria sangat rentan terhadap infeksi HIV. Menurut estimasi Depkes tahun 2006 jumlah wanita penjaja seks (WPS) sebanyak 177.200-265.000 orang dan pelanggan WPS sebanyak 2.435.000-3.813.000.8 Hampir semua provinsi melaporkan adanya HIV pada kelompok WPS. Prevalensi yang tinggi terdapat di Papua, Riau dan Jawa Barat. Di Merauke infeksi HIV pada WPS mencapai 26,5%. Penularan tidak hanya dari penjaja seks ke pelanggan atau sebaliknya, tetapi meluas ke pasangan tetap (istri) dari suami yang merupakan pelanggan WPS. Meningkatnya perilaku seks berisiko tidak hanya terbatas pada kelompok heteroseksual, tetapi juga pada kelompok lelaki suka lelaki termasuk waria penjaja seks, lelaki penjaja seks dan gay. Menurut estimasi Depkes tahun 2006 jumlah waria penjaja seks 21.000-35.000 orang dan lelaki suka lelaki 384.000-1.148.000 orang.8 Jumlah pelanggan waria sebanyak 62.000-104.000. Kejadian HIV pada waria penjaja seks di Jakarta mengalami peningkatan dari 6% tahun 1997 menjadi 21,7% tahun 2002.


Transmisi Parenteral
Jumlah pengguna NAPZA di Indonesia terus meningkat terutama pada remaja dan dewasa muda.8 Terdapat sekitar 1,3-2 juta pengguna NAPZA. Pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 191.000-248.000 penasun. BNN melaporkan sebanyak 572.000 pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah perkotaan di Jawa dan kotakota provinsi di luar Jawa. Perilaku penggunaan alat suntik tidak steril bersama pada penasun menyebabkan penularan HIV. Penasun juga berisiko menularkan dan kontak dengan HIV melalui perilaku seksual berisiko. Pada tahun 1996 kasus AIDS melalui napza suntik sebesar 2,5% dan tahun 2002 hampir 20%. Data Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta menunjukkan adanya kenaikan infeksi HIV pada penasun dari 15% pada 1999 menjadi 47,9% pada 2002. Pada tahun 2000 di Kampung Bali, Jakarta sebanyak 90% dari penasun terinfeksi HIV. Jumlah pengguna NAPZA di penjara bertambah dari 7.211 pada 2002 menjadi 11.973 pada 2003 dan 17.000 pada 2004. Sebanyak 23.409 orang dari 101.036 napi di Indonesia adalah napi kasus narkotika. Sekitar 70% adalah pengguna NAPZA dan 40% dari pengguna NAPZA adalah penasun. Survei BNN dan BPS lapas di 9 provinsi pada Oktober 2003 menunjukkan 53,9% napi pengguna narkoba, 26,8% pengedar dan sisanya pemakai dan pengedar narkoba. Napi yang positif HIV terus meningkat dari 17.5% (2000) menjadi 22% (2002). Studi lainnya menunjukkan 24,5% napi di Jakarta dan 10,2% napi di Bali terinfeksi HIV. Infeksi HIV pada napi penasun di Bali sebesar 56%. Peningkatan infeksi HIV pada napi berkaitan dengan peningkatan pengguna NAPZA di penjara. Risiko penularan HIV makin meluas bila terjadi juga kegiatan seks berisiko. Tingkat penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) tertinggi pada napi yang pernah dilaporkan sampai tahun 2001 sekitar 10%. Tingkat penularan ini mengindikasikan adanya perilaku seksual berisiko pada napi. Penularan HIV dapat berlanjut ke pasangan mereka ketika napi kembali ke masyarakat.
Sementara itu, pemeriksaan darah donor pada tahun 1992/1993 menunjukkan HIV positif pada 2 di antara 100.000 darah donor. Tahun 1994/1995 jumlah ini meningkat menjadi 3 per 100.000 darah donor. Lalu meningkat menjadi 4 per 100.000 darah donor pada 1998/1999, kemudian meningkat menjadi 16 per 100.000 darah donor pada tahun 2000. Data ini menunjukkan terjadinya peningkatan sebanyak 8 kali dalam kurun waktu 1990-2000.


Transmisi Perinatal
Penelitian di beberapa tempat di Riau pada tahun 1998-1999 menunjukkan 0,35% ibu hamil terinfeksi HIV. Penelitian yang sama di Papua menunjukkan hasil 0,25%. Konseling dan testing sukarela pada ibu hamil yang berisiko tertular HIV di Jakarta Utara menunjukkan 1,5% ibu hamil terinfeksi HIV pada tahun 2000 dan 2,7% pada tahun 2001. Laporan pasif antara 1996-2000 menunjukkan ada 26 ibu hamil yang positif HIV di Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau. Dilaporkan juga ada 13 bayi yang terlahir dengan infeksi HIV. Diperkirakan tiap tahun ada sekitar 9.000 ibu hamil positif HIV yang melahirkan di Indonesia. Jika tidak ada intervensi, setiap tahun bisa lahir 3.000 bayi positif HIV di Indonesia. Jumlah bayi lahir dari ibu HIV positif tiap tahun terus meningkat. Dari satu kasus pada 1999 menjadi 17 kasus pada 2003, 44 kasus pada 2004 dan 74 kasus pada 2005. Jumlah keseluruhan kasus bayi dilahirkan dari ibu HIV positif periode 1999-2005 adalah 143 kasus, sebanyak 81 bayi positif HIV. Pada tahun 2006 persentase kasus AIDS pada anak 5 tahun ke bawah mencapai 1%.8 Diperkirakan sebanyak 4.360 anak tertular dari ibu HIV positif dan separuhnya telah meninggal.


Aspek Klinis HIV/AIDS Etiologi dan Patogenesis
HIV merupakan lentivirus, subgrup dari retrovirus.5 Ada dua jenis virus utama yaitu HIV-1 dan HIV-2.7 HIV adalah partikel icosahedral bertutup (envelope) dengan ukuran 100-140 nanometer, berisi sebuah inti padat elektron. Inti virus terdiri dari untaian RNA yang terbentuk oleh protein struktural utama p7 dan p9 serta enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease yang diperlukan pada proses replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai tonjolan-tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 beperan pada pengikatan HIV dengan reseptor CD4 dari sel. Gp 41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA sepanjang 10 kilo pasang basa terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur-struktur virus, yaitu gen gag, pol, dan env. Selain itu masih terdapat gen tambahan yaitu gen tat, rev, dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan RNA virus.
Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada sel-sel yang mempunyai molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T, monosit, makrofag dan sel-sel dendritik lain. Gp120 yang merupakan reseptor permukaan virus akan berikatan dengan CD4. Kemudian Gp120 akan berinteraksi dengan koreseptor yang tertanam dalam membran sel dan terpapar dengan peptide dari Gp41 dan mulailah terjadi fusi antara virus dan membran sel. Setelah fusi, internal virion core akan dilepaskan ke sitoplasma sebagai suatu kompleks ribonukleoprotein. HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang akan mengubah RNA virus menjadi DNA. DNA ini akan memasuki inti sel host dan dengan bantuan enzim integrase akan berintegrasi dengan DNA sel host dan membentuk provirus. Setelah terjadi integrasi, DNA provirus mengadakan transkripsi dengan bantuan enzim polimerase sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan translasi dengan protein-protein struktural sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan matang. Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang berada dalam sel-sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe regional dan akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara lain merekrut limfosit-limfosit. Tetapi pengumpulan limfosit-limfosit ini justru akan menyebabkan sel-sel CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak lagi. Monosit dan limfosit yang terinfeksi akan menyebarkan virus ke seluruh tubuh; HIV juga dapat memasuki otak melalui monosit atau melalui infeksi sel endotel. Beberapa hari setelah infeksi HIV akan terjadi limfopenia akibat penurunan CD4 T dalam darah. Selama periode awal ini virus-virus bebas dan protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar tinggi dalam darah dan jumlah sel-sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini virus bereplikasi secara cepat dengan sedikit kontrol dari respon imun. Kemudian setelah 2-4 minggu akan terjadi peningkatan yang dramatis jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah sel CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon imun terhadap virus. Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang neutralising antibody. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga namun kadang-kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas dan sel yang terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T. Sel CD8 yang teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi sejumlah sitokin terlarut (termasuk CAF) yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel-sel CD4 T tanpa menyebabkan lisis sel. Setelah itu jumlah sel CD4 akan kembali ke kadar semula seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut kebanyakan kasus menunjukkan gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia, dan sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati dan ruam.
Setelah infeksi fase akut, terjadi keadaan asimtomatik selama beberapa tahun walaupun jumlah CD4 menurun secara perlahan-lahan. Jumlah virus dalam darah dan sel-sel perifer yang dapat dideteksi rendah. Penurunan jumlah CD4 dalam darah rata-rata 65 sel/ml setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem imun tetapi tidak bersifat laten dan masih dapat mengalami perbaikan terutama dalam limfonoduli. Penurunan jumlah sel T CD4 selama infeksi HIV secara langsung dapat mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh sel T CD4 seperti hipersensitivitas tipe lambat, transformasi sel muda limfosit, dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik. Munculnya strain HIV yang lebih patogen dan lebih cepat bereplikasi pada host merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun. Dikatakan juga bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4 menurun sampai <200/ml. Karena sel-sel ini berperan dalam mengontrol sel yang terinfeksi virus dan membersihkan virus pada tahap awal infeksi sehingga dikemukakan hilangnya aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan jumlah virus. Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik. Rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun.


Transmisi
HIV masuk ke tubuh manusia terutama melalui darah, semen, dan sekret vagina serta transmisi dari ibu ke anak. Tiga cara penularan HIV adalah sebagai berikut: Hubungan seksual baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% total kasus sedunia.2 Kontak langsung dengan darah, produk darah, atau jarum suntik. Transfusi darah/produk darah yang tercemar mempunyai risiko sampai >90%, yang ditemukan pada 3-5% dari total kasus di seluruh dunia. Pemakaian jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan spuitnya pada pecandu narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% dari total kasus sedunia. Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan mempunyai risiko 0,5% dan mencakup <0,1% dari total kasus di seluruh dunia. Transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada bayinya (in utero, selama proses kelahiran dan melalui ASI) memiliki risiko penularan sebesar 25-40% dan terdapat <0,1% total kasus di seluruh dunia.


Manifestasi Klinis
Perjalanan infeksi HIV dapat dibagi menjadi 4 fase berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.
1. Infeksi primer HIV
Pada infeksi primer HIV terdapat gejala yang mirip dengan infeksi mononukleosis. Gambaran klinis menunjukkan demam, faringitis, limfadenopati, atralgia, mialgia, letargi/malaise, anoreksia dan berat badan yang menurun. Pada kulit ditemukan ruam makulopapular yang kemerahan, ruam roseola-like, urtikaria difus, ulkus pada mukokutan, deskuamasi dan alopesia. Gejala pada sistem saraf berupa sakit kepala/nyeri retroorbita, meningoensefalitis, neuropati perifer, radikulopati, neuritis brakialis, Sindrom Guillain Barre dan gangguan kognitif/afektif. Gejala pada sistem pencernaan berupa kandidiasis oral/orofaring, mual/muntah dan diare. Gejala lain berupa batuk. Gejala-gejala ini ditemukan pada sekitar 80% penderita, selama 10-14 hari. Pada tahap ini, terlihat jumlah limfosit CD4 yang menurun tetapi jumlah limfosit CD8 meningkat dan rasio CD4:CD8 terbalik.

2. Penurunan sistem imun tahap awal
Merupakan stadium asimtomatis yang berlangsung kira-kira 4-5 tahun. Kecepatan progresivitas penyakit dalam stadium ini tergantung pada keseimbangan antara sistem imun dengan banyaknya virus dalam jaringan limfoid dan kemampuan replikasi serta patogenitas virus. Selain itu, viral load juga dapat memprediksi laju progresivitas penyakit. Replikasi virus akan menyebabkan rangsangan kronis pada sistem imun yang akan menyebabkan limfadenopati umum dan berbagai penyakit autoimun seperti Sindrom Guillain Barre, neuropati demielinisasi kronik, ITP, Sindrom Reiter, Bells palsy, poliomielitis dan Sindrom Sjorgen. Jumlah CD4 pada stadium ini masih >500/uL. Viral load dapat bervariasi mulai <200 copies/ml sampai >100.000 copies/ml.

3. Penurunan sistem imun intermediate
Pada stadium ini jumlah sel CD4 antara 200-500/ml berlanjut sampai sekitar 5 tahun. Pada fase ini replikasi virus sangat tinggi. Dua pertiga penderita dengan jumlah CD4 200/ml tampak masih sehat. Tetapi secara bertahap sistem imun menurun sehingga fungsi permukaan kulit dan mukosa dalam mencegah infeksi akan menurun. Penurunan fungsi ini terjadi juga pada sel efektor termasuk makrofag dan sel CD4 T. Penurunan jumlah sel CD4 rata-rata 30-60 sel/ml per tahun. Pada kulit ditemukan herpes simplex, herpes zoster, infeksi jamur, folikulitis, moluskum kontagiosum, dan sarkoma kaposi. Pada mulut didapatkan kandidiasis, gingivitis, dan hairy leukoplakia. Didapatkan pembesaran kelenjar limfe pada servikal, oksipital, supraklavikula, inguinal dan tonsil. Ditemukan juga infeksi pada saluran napas. Pada genitalia dapat ditemukan herpes simpleks, infeksi jamur, kandidiasis, dan cervical intraepithelial neoplasia. Pada mata didapatkan gangguan penglihatan akibat eksudat dan perdarahan. Gejala-gejala itu sering kambuh ataupun menetap. Pada akhir stadium sering didapatkan gejala AIDS Related Complex (ARC) yaitu penurunan berat badan, panas, dan diare yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Pada stadium ARC dapat dijumpai penurunan rasio sel Th (T4) : Ts (T8) >2 SD dan penurunan jumlah sel T-helper >2 SD.

4. Penurunan sistem imun tahap lanjut
Pada tahap ini jumlah sel CD4 di bawah 200/ul. Penurunan daya tahan pada tahap lanjut ini menyebabkan risiko tinggi terjadinya
infeksi oportunistik berat atau keganasan. Kondisi yang ditetapkan sebagai AIDS (CDC, 1993 revisi)
- Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
- Koksidiomikosis ekstrapulmoner
- Kriptokokosis ekstrapulmoner
- Kanker serviks invasif
- Kriptosporidiosis intestinal kronik (>1 bulan)
- CMV retinitis atau CMV selain hati, limpa, kelenjar limfe
- Ensefalopati HIV
- Herpes simplex dengan ulkus mukokutan >1 bulan, bronkitis, atau pneumonia
- Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner
- Isosporiasis kronik >1 bulan
- Sarkoma Kaposi
- Limfoma Burkitt’s, imunoblastik, primer pada otak
- M. avium atau M. kansasii ekstrapulmoner
- M. tuberculosis pulmoner atau ekstrapulmoner
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Pneumonia rekuren bakterial (>2 episode per tahun)
- Leukoensefalopati multifokal progresif
- Salmonella bakteremia rekuren
- Toksoplasmosis serebral
- Wasting syndrome yang terkait HIV

Definisi kasus AIDS untuk surveilans
Seorang dewasa atau remaja (>12 tahun) dianggap menderita AIDS bila sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor beserta dengan sekurang-kurangnya 1 gejala minor dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala Mayor
- berat badan menurun >10%
- diare kronik >1 bulan
- demam berkepanjangan >1 bulan (intermiten atau konstan)
Gejala Minor
- batuk menetap >1 bulan*
- dermatitis generalisata yang gatal
- riwayat herpes zoster
- kandidiasis orofaring
- infeksi herpes simplex kronik progresif atau diseminata
- limfadenopati generalisata
Keberadaan Sarkoma Kaposi generalisata atau meningitis kriptokokosis cukup untuk diagnosis AIDS untuk tujuan surveilans. Untuk pasien TB, batuk menetap >1 bulan harus tidak dianggap sebagai sebuah gejala minor

Kriteria klinis diagnosis HIV pada anak
AIDS didefinisikan apabila ditemukan minimal 2 atau lebih gejala mayor dan 2 atau lebih gejala minor tanpa ada penyebab supresi imun yang lain.23
Gejala mayor
- penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat
- diare kronis (>1 bulan)
- demam berkepanjangan tanpa sebab yang jelas (>1 bulan)
- pneumonia berat atau berulang
Gejala minor
- pembesaran kelenjar getah bening generalisata
- kandidiasis orofaring
- infeksi yang berulang (misalnya infeksi telinga, faringitis)
- batuk persisten (tanpa adanya penyakit TB)
- ruam generalisata
- infeksi HIV maternal

Pemeriksaan Penunjang
Saat HIV masuk ke dalam tubuh, sistem imun membuat antibodi terhadap HIV. Hasil tes antibodi yang positif berarti pernah ada pajanan terhadap infeksi, bukan adanya kekebalan terhadap virus. Sebagai uji penyaring untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV digunakan ELISA. Sensitivitas ELISA sebesar 98,1-100%.Hasil positif ELISA harus dikonfirmasi dengan Western Blot. Western Blot lebih spesifik mendeteksi antibodi terhadap komponen antigen permukaan virus.23 Spesifisitas Western Blot sebesar 99,6-100%.Hasilnya dinyatakan positif, negatif atau indeterminate.5 CDC merekomen dasikan reaksi dengan dua dari pita berikut sebagai kriteria untuk hasil positif: p24, Gp 41, Gp 120/160. Hasil indeterminate dihasilkan dari reaksi nonspesifik sera HIV negatif dengan beberapa protein HIV. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan negatif. Untuk mendeteksi antigen virus digunakan pemeriksaan PCR.Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi sehingga menghambat pemeriksaan serologis, menetapkan status infeksi pada individu seronegatif, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, serta tes konfirmasi untuk HIV-2 karena sensitivitas ELISA untuk HIV-2 rendah.


Terapi
Pengobatan infeksi HIV terdiri dari pengobatan terhadap virus dan pencegahan terhadap infeksi oportunistik. Tujuan pengobatan HIV adalah untuk mengurangi viral load sebanyak mungkin dengan target <20-50 copies/ml sehingga dapat menghentikan atau memperlambat progresivitas selama mungkin, memperbaiki status imun dalam segi kuantitas dan kualitas CD4, serta memperpanjang usia hidup dan memperbaiki kualitas hidup.24 Pengobatan yang sekarang dianut adalah pengobatan kombinasi tiga obat, terdiri dari dua nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan satu protease inhibitor atau satu non nucleoside reverse transcriptase inhibitor.
Saat memulai pengobatan antiretroviral adalah pada keadaan simtomatik AIDS dan pada keadaan CD4 <200/mm3 dengan atau tanpa klinis AIDS. Pengobatan juga secara umum ditawarkan bila CD4 200-350/mm3, dengan mengabaikan viral load. Keputusan untuk memulai terapi pada pasien dengan CD4 >200/mm3 perlu mempertimbangkan beberapa faktor termasuk kesiapan pasien untuk memulai terapi, derajat imunodefisiensi ditentukan oleh hitung CD4, risiko progresi penyakit ditentukan kecenderungan serial dari hitung sel CD4 dan viral load HIV RNA dari waktu ke waktu, manfaat potensial dan risiko memulai terapi pada pasien asimtomatik, kemungkinan kepatuhan pasien pada regimen yang diberikan. Tiga golongan antiretroviral (ARV) adalah sebagai berikut:
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Golongan NRTI yaitu zidovudine (AZT), didanosine (ddL), zalcitabine (ddC), stavudin (d4T), lamivudine (3TC), abacavir (ABC), tenofovir (TDF) dan emtricitabine (FTC). NRTI bekerja melalui fosforilasi interseluler menjadi bentuk trifosfat dan bergabung ke dalam DNA selanjutnya dapat menghambat pemanjangan rantai RNA virus. Masing-masing obat secara spesifik mirip dengan nukleosida. Penetrasi CNS baik pada semua NRTI dan Zidovudine terlihat bermanfaat pada demensia AIDS. Golongan obat ini utamanya dieliminir melalui ginjal dan tidak berinteraksi dengan obat lain yang melalui sitokrom p-450.
2. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Golongan NNRTI yaitu nevirapine (NVP), delavirdine (DLV) dan efavirenz (EFV).24 NNRTI bekerja menghambat enzim reverse transcriptase melalui ikatan dengan tempat aktivitas enzim. Obat tidak memerlukan aktivasi intraseluler dan tidak aktif terhadap HIV-2. Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas sitokrom p-450 di hati sehingga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain yang melalui sitokrom p-450. Obat ini memerlukan perhatian bila dikombinasikan dengan ARV lain. Obat ini juga mereduksi metadon hampir 50% dan dapat mempresipitasi withdrawal opiate.
3. Protease Inhibitor (PI)
Golongan PI yaitu saquinavir (SQV), indinavir (IDV), ritonavir (RTV), nelvinafir (NFV), amprenavir (APV), lopinavir/kaletra (LPV/r) dan atazanavir (ATV). Obat ini bekerja mencegah pelepasan polipeptida pasca translasi menjadi protein virus fungsional. Obat diberikan dalam kombinasi dengan 2 NRTI dapat mengontrol replikasi virus dalam jaringan dan plasma dan memperbaiki sistem imun. PI menghambat sitokrom p-450 (terutama isoenzim CYP3A4), meningkatkan potensi interaksi banyak obat. Beberapa obat yang berinteraksi dengan PI khususnya ritonavir yaitu rifampisin, midazolam, simvastatin dan antihistamin tertentu.

Kecenderungan Di Masa Depan
Ancaman epidemi HIV tampak dari terus meningkatnya infeksi HIV khususnya pada kelompok berisiko tinggi di sejumlah wilayah tanah air. Dua jalur utama penularan yang mendorong percepatan penularan HIV di Indonesia adalah jalur penularan seksual berisiko dan jalur penularan pada penasun. Sejak 2002 Indonesia digolongkan dalam epidemi terkonsentrasi dengan tingkat penularan HIV yang rendah pada populasi umum, tetapi tinggi pada populasi-populasi tertentu. Di Merauke, misalnya, epidemi HIV sudah masuk ke populasi umum setelah menjangkiti WPS dengan tingkat infeksi sebesar 26,5%. Bila tidak ada upaya penanggulangan yang berarti, diperkirakan pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS sebanyak 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan sekitar sejuta pengidap HIV. Pada tahun 2015 diperkirakan jumlah kasus AIDS menjadi sejuta orang dengan kematian 350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada subpopulasi berisiko pada istri atau pasangannya. Pada akhir 2015 diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu HIV positif.
Kecenderungan terjadinya epidemi mengingat faktor-faktor seperti meningkatnya industri yang berkaitan dengan seks, mobilitas penduduk yang tinggi termasuk dari negara tetangga, meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, meningkatnya penasun, tingginya Penyakit Menular Seksual (PMS) pada anak jalanan serta tingginya penduduk yang mengungsi. Sementara itu, ketersediaan berbagai jenis ARV tidak diikuti kemudahan untuk mendapatkannya karena harganya masih mahal. Jenis ARV yang tersedia dengan harga relatif terjangkau di Indonesia masih terbatas. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melaksanakan program yang secara efektif bisa mengatasi faktor-faktor risiko tersebut dan bagaimana menjaga ketersediaan dan keterjangkauan obat ARV.
Indonesia telah berupaya untuk menanggulangi HIV/AIDS tetapi hasilnya belum memuaskan. Upaya pencegahan melalui pendidikan dan penyuluhan terutama terhadap populasi berisiko tinggi telah dilakukan bersamaan dengan upaya pengobatan, perawatan dan dukungan bagi ODHA melalui klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing). Namun demikian, upaya penanggulangan HIV belum menjangkau sebagian besar kelompok berisiko tinggi. Perkembangan selama periode 2004-2005 belum banyak orang yang dijangkau oleh program pencegahan (<10%), dan sangat sedikit yang dapat mengakses pelayanan VCT (18% penasun dan 14% pekerja seks). Pengetahuan tentang HIV/AIDS meningkat pada kelompok rentan, tetapi masih belum mencukupi. Perilaku berisiko masih banyak yang melakukannya. Masyarakat yang berperilaku risiko tinggi, sangat rendah kemauan dan tanggung jawabnya untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin maupun infeksi HIV yaitu dengan mengurangi/menghentikan perilaku berisiko tinggi. Sementara itu, meskipun tingkat kesadaran terhadap HIV/AIDS di antara remaja umumnya tinggi, tingkat hubungan seks berisiko tinggi dan penggunaan jarum suntik NAPZA bergantian juga tinggi. Hasil surveilans pada pelajar SMA tahun 2004-2005 menunjukkan sekitar 23% pelajar di Jakarta dan 9% di Surabaya pernah menggunakan narkoba dan sekitar 1% penasun. Rata-rata 15% pelajar lakilaki dan 5% pelajar perempuan di Jakarta pernah berhubungan seks. Sedangkan di Surabaya sebanyak 7,6% pelajar laki-laki dan 5,3% pelajar perempuan pernah berhubungan seks. Pada kelompok rawan lain seperti anak jalanan walaupun belum ada data pasti tentang infeksi HIV tapi kelompok ini terinfeksi penyakit kelamin cukup tinggi dan ini merupakan pintu masuk ke infeksi HIV. Hal yang harus diperhatikan adalah kelompok berisiko yang satu berhubungan dengan kelompok lainnya melalui kegiatan seksual berisiko yang merupakan jalur penularan antar kelompok tersebut. Hal ini penting dalam perluasan epidemi HIV karena tingkat penularan yang tinggi pada penasun dapat pindah pada penjaja seks, lalu pada pelanggan penjaja seks dan juga pada pasangan seksualnya (istri atau suami). Jalur penularan HIV tidak lagi hanya terbatas dalam kelompok perilaku risiko tinggi saja, tetapi meluas ke kelompok lainnya serta pada perilaku risiko rendah. Perluasan epidemi selanjutnya ditentukan oleh besarnya jalur lintas perilaku berisiko antara kelompok-kelompok berisiko yang berbeda dan juga penularan meluas ke pasangan-pasangan tetap mereka. Selama ini kegiatan penanggulangan HIV belum banyak menjangkau pasangan-pasangan tetap dari individu-individu yang berisiko tersebut. Yang perlu diantisipasi adalah mencegah perluasan epidemi HIV selanjutnya dengan meningkatkan upaya-upaya penanggulangan HIV.


Penutup
Pada masa lalu, banyak pasien yang tidak dapat bertahan hidup lebih dari 1-2 tahun setelah terdiagnosis AIDS. Namun, sejak ditemukan antiretroviral dan profilaksis terhadap patogen oportunistik, angka kematian menurun secara signifikan. Pengetahuan tentang HIV terus berkembang, pengukuran secara kuantitatif viral load dan tes resistensi makin meningkat. Barangkali perkembangan yang paling dramatis adalah terapi antiretroviral pada kehamilan yang telah berhasil mengurangi transmisi HIV dari ibu ke anak. Namun demikian, ternyata pandemi HIV/AIDS tengah mengancam penduduk dunia saat ini. Oleh karena itu, karakteristik berupa ancaman nyata dari HIV/AIDS, kondisi yang baik bagi penyebaran HIV/AIDS dan fenomena gunung es dari penyakit harus dicatat para petugas pada sektor kesehatan masyarakat atau swasta. Peraturan, pendidikan kesehatan dan pelajaran agama harus ditekankan dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan sangat diperlukan mengingat perilaku berisiko seperti perilaku seks bebas dan penggunaan NAPZA sudah dimulai sejak usia remaja. Beberapa panduan ke arah kesehatan reproduksi remaja berkualitas adalah sayangi diri sendiri, tingkatkan pengetahuan mengenai fungsi reproduksi, hindarkan dari membuat keputusan-keputusan yang merugikan dan berikan keutamaan yang benar pada semua aspek kehidupan.
Upaya preventif secara agresif harus terus ditingkatkan khususnya di antara pengguna NAPZA suntik dan kelompok perilaku seksual berisiko. Akses yang mudah untuk perawatan dan terapi ODHA harus tersedia. Pengobatan anti retroviral harus bisa diupayakan dan sistem perawatan medis harus ditingkatkan. Hal ini seiring dengan tujuan kampanye AIDS dunia 2005-2010, yakni para pemimpin dan pembuat kebijakan harus dapat memenuhi janjinya untuk mengurai benang kusut seputar permasalahan penanggulangan HIV/AIDS, seperti penyediaan akses universal layanan pengobatan, perawatan, dukungan dan pencegahan sampai 2010. Tragedi sub-Sahara, negeri dengan tingkat HIV/AIDS tertinggi dan masa depan yang buruk, harus memberi pengalaman pahit sehingga kita berharap tidak akan terjadi di Indonesia.

1. M ansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000. p.162-7
2. Pintauli S. AIDS dan pencegahan penularannya pada praktek dokter gigi. Website: http://www.library.usu.ac.id
3. Gottlieb MS. AIDS-past and future. NEJM 2001; 344:1788-91
4. Merson MH. The HIV-AIDS pandemic at 25-the global response. NEJM 2006; 354: 2414-7
5. Dubin J. HIV infection and AIDS. Updated February 5, 2007. Website: http://www.emedicine.com/EMERG/topic253.htm
6. Terdapat 4,3 juta infeksi baru, intervensi harus jangkau kelompok berisiko. 2006. Website: http://www.depkes.go.id
7. Grant AD, De Cock KM. ABC of AIDS: HIV infection and AIDS in the developing world. BMJ 2001; 322:1475-8
8. Komisi Penanggulangan AIDS. Strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010. Website: http://www.spiritia.or.id
9. Pusat Kesehatan Kerja. Kebijakan Depkes dalam penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Website: http://www.depkes.go.id
10. Sujudi A. Laporan eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang penanggulangan HIV/AIDS dan respon menangkal bencana nasional pada Sidang Kabinet Maret 2002. Website: http://www.data.unaids.org
11. Komisi Penanggulangan AIDS. Strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Website: http://www.spiritia.or.id
12. Komisi Penanggulangan AIDS. Statistik kasus s/d September 2007. Website: http://www.aidsindonesia.or.id
13. Komisi Penanggulangan AIDS. Ancaman HIV/AIDS di Indonesia semakin nyata, perlu penanggulangan lebih nyata. 2002. Website: http://www.ternyata.org
14. Heriawan R, Ahnaf A, Riono P, Anwar J, penyunting. Hasil survei surveilans perilaku tahun 2004-2005. Website: http://www.aidsindonesia.or.id
15. BAPPENAS. Laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan milenium Indonesia. Website: http://www.bappenas.go.id/
16. Riono P. Pentingnya upaya penanggulangan HIV/AIDS di LAPAS. Website: http://www.lapas.aids-ina.org/
17. Penularan HIV/AIDS masuki area keluarga. Gemari 2007; 79:37
18. Kurniati SC. Berbagai aspek klinis AIDS dan penatalaksanaannya. Website: http://www.kalbe.co.id
19. Noormaini, Barakbah J. Hubungan infeksi HIV dengan penyakit menular seksual lainnya. Berkala Ilmu Penyakit & Kelamin 2001; 13:90-102
20. Nopriyanti, Nugroho SA. Gambaran klinis dan pengobatan infeksi HIV/AIDS. Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin 2005; 17:254-67
21. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FKUI; 2001.p.573-9
22. Nadler JP, Montero J. Pathophysiology of HIV infection. Website: http://www.faetc.org
23. Rukmini NKP, Kurniati N, Suyoko D. Pendekatan diagnosis dan tata laksana Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pada anak:. Sari Pediatri 2007; 9:101-11
24. Harjono T. Terapi antiretroviral pada HIV. Dalam: Sumaryono dkk, penyunting. Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.217-24
25. Beal J, Orrick JJ. Antiretroviral therapy. Website: http://www.faetc.org
26. Komisi Penanggulangan AIDS. AIDS di Indonesia. Website: http://www.aidsindonesia.or.id
27. Mari bergabung menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia. Website: http://www.weforum
28. Suharto. Clinical-epidemiological data on HIV/AIDS patients admitted to atop referral hospital during 1997-2005. A database for action in the future, referring to another developing countries. Folia Medica Indonesiana 2005; 41:149-58
29. Halizah H. Remaja & seks beringat sebelum terlambat. Website: http://wanita.jim.org.my
30. Departemen Kesehatan. Peringatan hari AIDS sedunia 2007. Kepemimpinan: stop AIDS, tepati janji. Website: http://www.depkes.go.id


Artikel Lainnya