Blog Archive
fblike
balacinema
Balaguris89
widgeonline dan amungonline kirteng
networkedblogs
iklan adsensecamp
Era Fitofarmaka Nasional Berdaya Saing Internasional
00.53 |
Posted by
Forsema 95
Indonesia merupakan negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Dengan 30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% tanaman dunia dan 90% tanaman di Asia, Indonesia merupakan ladang bahan baku bagi penelitian obat-obat herbal. Menurut Dalimartha, penulis beberapa buku tumbuhan obat di Indonesia, Indonesia kaya dengan tumbuhan berkhasiat obat. Hampir semua daerah dan pulau memiliki tanaman obat yang telah dibuktikan kemanjurannya secara turun-temurun. Obat herbal memiliki peluang yang sangat besar dalam pengobatan formal, selain itu obat herbal juga mampu berperan dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Menempatkan manusia sebagai subjek penelitian (melakukan penelitian klinis) perlu diperhatikan secara serius bila ingin mendudukkan obat herbal Indonesia dalam pengobatan formal. Pencanangan dekade fitofarmaka nasional mampu menjadi pemicu semua pihak (peneliti, perusahaan, akademisi, klinisi) untuk lebih serius dalam menekuni menekuni penelitian klinis fitofarmaka. Hasilnya adalah era fitofarmaka nasional yang mampu berdaya saing di tingkat internasional.
Laurentius Aswin Pramono
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Indonesia merupakan negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Sekitar 30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% tanaman dunia dan 90% tanaman di Asia,1 maka Indonesia merupakan ladang bahan baku bagi penelitian obat-obat herbal. Menurut Dalimartha, penulis beberapa buku tumbuhan obat di Indonesia, Indonesia kaya dengan tumbuhan berkhasiat obat. Hampir semua daerah dan pulau memiliki tanaman obat yang telah dibuktikan kemanjurannya secara turun-temurun.
Setelah beberapa dekade menggantungkan pengobatan pada obat-obat modern, saat ini orang mulai melirik pengobatan tradisional. Jargon “back to nature” atau kembali ke alam mulai dikumandangkan sejumlah perkumpulan profesi, baik dari kalangan farmasis maupun dokter. Beberapa organisasi profesi didirikan berkaitan dengan maraknya penggunaan obat tradisional, antara lain Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) dan Perhimpunan Dokter Indonesia Pengembang Kesehatan Tradisional Timur (PDPKT). Di Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan semakin mendorong upaya penelitian dan pengkajian terhadap obat tradisional.
Pengembangan dan penelitian obat tradisional (terutama herbal) tampaknya sejalan dengan kebutuhan pasar nasional yang mulai
memberi perhatian besar pada obat tradisional. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), penggunaan obat tradisional (termasuk herbal) meningkat dari tahun ke tahun, tercatat dari 19,9% dari tahun 1980 menjadi 23,3% tahun 1986 dan meningkat menjadi 31,7% tahun 2001. Data tahun 2004 menggambarkan penggunaan obat tradisional meningkat lagi menjadi 32,8%. Permintaan tersebut sewajarnya diikuti dengan ketersediaan. Di sinilah peran penelitian dan pengkajian, baik mengenai khasiat, efek samping, legalitas, maupun pemasaran obat herbal.
Dengan kekayaan bahan baku dan permintaan pasar yang besar, pengobatan tradisional tidak saja bermanfaat bagi pelayanan kesehatan nasional. Bisnis obat tradisional juga dapat mengangkat nama Indonesia sebagai produsen obat tradisional terkemuka di dunia. Hal itu akan diikuti dengan peningkatan ekspor dan pendapatan negara. Penelitian, pengembangan, dan pemasaran yang tepat akan membawa obat herbal Indonesia pada pasar global. Obat-obatan Indonesia akan bersaing dengan produk tradisional dari negara lain di tingkat internasional.
Dalam rangka mewujudkan obat herbal Indonesia yang berdaya saing internasional, kita perlu memasukkan obat herbal yang kita miliki dalam ranah pengobatan formal. Strategi ini dapat terlaksana bila kita melakukan serangkaian uji klinis pada manusia, hal apa yang dapat meningkatkan obat herbal menjadi fitofarmaka. Sejatinya, penelitian klinis menuju era fitofarmaka nasional adalah jalan bagi obat herbal masuk dalam pengobatan formal.
Obat Herbal dan Pengobatan Formal
Obat herbal memegang peran yang sangat vital dalam pengembangan obat tradisional di Indonesia. Sebagian besar obat tradisional berasal dari tanaman. Hanya sejumlah kecil yang berasal dari hewan atau mineral tertentu. Sebanyak 7000 spesies tanaman di Indonesia digunakan masyarakat sebagai obat. Dalam industri obat herbal biasa (belum terstandar, umumnya dalam industri jamu), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mencatat 283 spesies tanaman dipakai sebagai bahan baku.
Potensi yang dimiliki obat herbal tidak saja dipandang dari segi medis atau kesehatan, melainkan juga segi ekonomi. Sayangnya, jalan meningkatkan peran herbal dalam pengobatan formal masih terhalang beberapa kendala. Sebagian besar penelitian hanya berputar pada percobaan in vitro dan in vivo pada hewan. Pengembangan yang sudah dimulai sejak tiga dekade yang lampau seolah mengalami stagnasi. Hal tersebut merupakan fokus masalah yang harus diselesaikan bersama-sama antara pemerintah, akademisi, perusahaan farmasi, dan pemegang dana.
Perlu diyakini bahwa obat-obat herbal Indonesia layak mendapatkan tempat dalam pengobatan formal. Sikap skeptik terhadap pengobatan tradisional terlebih dahulu harus dihilangkan. Cara terbaik adalah dengan terus menggalakkan penelitian klinis di berbagai pusat pengembangan, perusahaan, dan universitas. Beberapa tanaman asli Indonesia yang sudah menjadi kandidat kuat fitofarmaka tidak sebanding dengan jumlah tanaman yang berpotensi untuk itu. Demikian, pemasarannya juga masih belum optimal. Masalahnya hanya terletak pada kesediaan masing-masing instansi yang terkait untuk lebih perhatian terhadap peluang ini.
Sembilan obat herbal Indonesia yang akan segera masuk dalam ranah pengobatan formal (fitofarmaka) adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl), temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb), kunyit (Curcuma domestica Val), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk), sambiloto (Andrographis paniculata Ness), jahe (Zingiber officinale Rosc), mengkudu (Morinda citrifolia L), salam (Eugenia polyantha Wight), dan jambu biji (Psidium guajava L). Saat ini, memang beberapa nama tanaman di atas sudah populer baik dalam pengobatan herbal maupun herbal terstandar.
Namun, bukan sampai di situ saja harapan kita. Kelak bila kesembilannya berhasil menembus fitofarmaka layaknya sejumlah besar obat herbal Amerika dan Jepang yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, nama Indonesia akan terangkat sebagai produsen fitofarmaka yang berkualitas.
Penelitian dan pengembangan obat tradisional menuntut adanya koordinasi yang baik dari seluruh lembaga terkait. Dengan demikian, jaringan antar disiplin ilmu harus diperkuat. Setiap komponen memiliki perannya masing-masing. Pihak pemerintah bertindak selaku pengatur dalam kerja sama ini, perusahaan farmasi menyediakan sarana, fasilitas, dan pembiayaan yang sepatutnya.
Sementara kalangan klinisi, akademisi, dan epidemiolog klinik berperan sebagai konsultan ahli dalam penelitian. Pengkajian boleh dilaksanakan di berbagai tempat, baik sentral penelitian perusahaan maupun universitas. Sebagai contoh, hal itu sudah berhasil diwujudkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan membentuk Clinical Study Unit Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI yang diresmikan Menteri Pendidikan Nasional tahun lalu.
Manusia sebagai Subyek Penelitian
Saat ini yang terjadi di Indonesia, ribuan tanaman terbukti berkhasiat sebagai obat tradisional hanya pada studi in vitro dan hewan coba. Hal itu tampak dalam beberapa buku yang dipublikasikan sehubungan dengan fenomena ini. Dalimartha sendiri banyak menekankan publikasinya terutama pada kata “turun temurun” dan “toksikologi”. Memang benar, uji klinis yang baik perlu didahului studi praklinis. Kita perlu pula mengetahui efek toksik obat tersebut pada hewan coba. Namun, sampai tahun 2009 ini, belum banyak penelitian skala besar dan yang menerapkan kaidah evidence based medicine tentang uji tanaman obat pada manusia. Oleh karena itu, hal tersebut patut disesalkan.
Tidak saja perusahaan farmasi yang masih kurang mendukung, para dokter dan farmasis juga masih minim minatnya terhadap penelitian obat herbal. Serangkaian peraturan pemerintah yang masih simpang siur memperkeruh situasi ini. Penelitian yang mencuat di berbagai publikasi hanya uji klinis terhadap obat-obat modern berikut semua kombinasinya. Sekali lagi, hal itu sangat disayangkan karena tahap-tahap praklinis, standarisasi sederhana, dan pembuatan sediaan standar sebenarnya sudah dilakukan.
Uji klinis pada obat tradisional membutuhkan beberapa prinsip etika yang harus dipenuhi. Informed consent harus diberlakukan dengan sejelas-jelasnya dan prinsip sukarela wajib diterapkan. Selain itu, standarisasi sediaan juga perlu dalam rangka penentuan dosis pengulangan pada percobaan lain. Hal tersebut bermanfaat untuk kesinambungan proses penelitian. Berikut adalah empat fase yang harus dijalankan dalam melakukan uji klinis.
Fase I : pengujian keamanan dan tolerabilitas pada individu sehat
Fase IIA : pasien tanpa pembanding (kontrol)
Fase IIB : pasien dengan pembanding (kontrol)
Fase III : uji klinis dengan kaidah randomisasi dan acak tersamar ganda
Fase IV : pasca-pemasaran
Menempatkan manusia sebagai subjek penelitian merupakan prinsip utama uji klinis. Di sini kita dapat melihat efek obat herbal tersebut pada manusia. Berbagai proses efek dan metabolisme yang sebelumnya kita temukan pada hewan tidak sama dengan manusia. Hal yang disayangkan, uji klinis memiliki beberapa kendala dari segi pembiayaan, proses penelitian yang panjang, standarisasi bahan obat yang kadang masih tidak sama pada setiap pusat penelitian, dan masih sulitnya penentuan dosis. Minat klinisi dan farmasis yang juga rendah, disebabkan karena imbalan waktu yang diberikan tidak seimbang dengan pendapatan yang dicapai.
Dari pihak calon produsen (perusahaan farmasi), kita dapat melihat adanya kekhawatiran produknya kalah dari obat modern yang sudah mantap beredar di masyakarat. Akhirnya, “main aman” terus terjadi. Kalau begini terus, Indonesia akan tetap menjadi pengguna teknologi dan inovasi tanpa menjadi inovator atau pencipta pasar. Sudah waktunya strategi penelitian klinis dijalankan agar kita tidak tertinggal dari negara luar dalam memproduksi berbagai obat formal yang berasal dari herbal.
Era Fitofarmaka Nasional
Berdaya Saing Internasional
Berdaya Saing Internasional
Surat peraturan BPOM RI menegaskan bahwa semua obat herbal, herbal terstandar, maupun fitofarmaka yang beredar memiliki kepentingan bagi peningkatan kesehatan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan berbagai penelitian dan pengembangan untuk semakin meningkatkan kualitas obat-obat tradisional ini. Jadi, era fitofarmaka nasional bukan berarti setiap obat herbal boleh secara sembarangan digunakan oleh manusia tanpa landasan ilmiah dan etika. Landasan evidence based medicine, etika, dan prinsip pemasaran yang jujur harus diberlakukan dan mendapat pengawasan yang sepatutnya.
Era fitofarmaka nasional mengandung visi dan misi di mana Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya tumbuhan juga turut menyumbangkan peran bagi kesehatan umat manusia di seluruh dunia melalui produksi obat tradisional. Kita boleh berkaca pada Jepang yang tumbuhan herbalnya, Cladosiphon okamuranus, sejenis alga laut, telah teruji klinis dan dipublikasikan dalam ratusan jurnal kedokteran. Pemasarannya dan pengawasannya juga sangat bagus. Atau pada Amerika yang sudah melakukan serangkaian uji klinis pada tumbuhan Echinacea untuk memperkuat daya tahan tubuh. Produknya kini sudah beredar di seluruh dunia dengan berbagai merek dagang.
Menurut Dewoto, lima tahun terakhir merupakan masa di mana penelitian menuju fitofarmaka Indonesia sangat meningkat. Sangat disesalkan bila hal itu hanya euforia atau semata-mata hanya demi keuntungan materi. Penelitian klinis terhadap kandidat fitofarmaka harus memiliki dasar pembangunan dan kesehatan umat manusia berdasarkan kaidah ilmiah dan etika yang benar. Keuntungan materi akan mengikuti, dan bukan tujuan utama. Pembangunan pusat penelitian obat herbal skala raksasa merupakan langkah lain yang patut dipikirkan. Pembangunan tersebut layaknya investasi negara bagi kesehatan dan kemajuan ekonomi di masa mendatang. Selain itu, era fitofarmaka nasional menjadi industri, penelitian, dan pengembangan yang mampu menyedot tenaga kerja. Hal itu akan menguntungan perekonomian nasional secara umum.
Tak berlebihan bila kampanye di bidang penelitian, pengkajian, dan pengembangan fitofarmaka perlu dilaksanakan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Kesehatan RI) melibatkan berbagai organisasi profesi, akademisi, klinisi, dan perusahaan farmasi. Implementasinya bisa dengan pencanangan dekade fitofarmaka nasional. Tentu saja hal itu akan menyedot semakin banyak peneliti dan perusahaan farmasi yang mau terlibat. Tak hanya retorika, anggaran negara juga harus ditingkatkan untuk membangun sektor ini. Akhirnya, dengan serius memberi perhatian pada pengembangan fitofarmaka nasional, bukan mustahil produk-produk kita nantinya berdaya saing di kancah dunia.
Kesimpulan
Indonesia dengan segala kelebihan alamnya menjadi ladang yang potensial bagi bahan baku obat herbal. Ribuan tanaman telah teruji pada tahap praklinis dan sebagian telah terstandarisasi. Namun, uji klinis pada manusia belum banyak dilakukan terhadap obat-obat tersebut. Sementara itu, jumlah kandidat fitofarmaka nasional tidak sebanding dengan potensi yang dimiliki.
Obat herbal memiliki peluang yang sangat besar dalam pengobatan formal, pun juga mampu berperan dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Menempatkan manusia sebagai subjek penelitian (melakukan penelitian klinis) perlu diperhatikan secara serius bila ingin mendudukkan obat herbal Indonesia dalam pengobatan formal. Pencanangan dekade fitofarmaka nasional mampu menjadi pemicu semua pihak (peneliti, perusahaan, akademisi, klinisi) untuk lebih serius dalam menekuni penelitian klinis fitofarmaka. Hasilnya adalah era fitofarmaka nasional yang mampu berdaya saing di tingkat internasional.
- Dewoto HR. Pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi fitofarmaka: untuk pemanfaatan pada pelayanan kesehatan. Pengukuhan Guru Besar FKUI, 14 Juli 2007
- Dalimartha S. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Trubus Agriwidya; 1999
- Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Standar Pelayanan Medik Herbal. Jakarta: Depkes RI; 2008
- Ginsberg D. The investigator’s guide to clinical research. 3rd Edition. Boston: Thomson Centerwatch; 2002
- Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan BPOM tentang Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Jakarta: BPOM RI; 2005
Artikel Lainnya
Label
Ageing
(1)
Alergi
(4)
Asma bronkial
(2)
Bedah
(6)
Bedah Digestif
(2)
Cardiology
(1)
COPD
(1)
Dermato Venerology
(9)
Diabetes Melitus
(4)
Emergency
(3)
Farmakologi
(1)
Fisiologi
(1)
GCS
(1)
Generals
(33)
GIT Tract
(8)
Herbal
(1)
Imunologi
(2)
Infertilitas
(1)
Infos
(2)
Interna
(31)
Jurnal Kedokteran
(34)
Kelainan Genetik
(1)
Masalah Pria
(1)
Masalah Wanita
(1)
Mentalic
(1)
Mineral
(1)
Neurology
(6)
Neurology - Penyakit Saraf
(6)
Nutrisi dan Gizi
(2)
Obstetri dan Ginekologi
(3)
Pediatri
(5)
Pengobatan dan Obat-obatan Alternatif
(1)
Penis
(2)
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
(1)
Penyakit Kulit dan Kelamin
(1)
Penyakit Menular
(6)
Praktis
(8)
Pulmonologi
(7)
Radiologi
(1)
Request
(1)
research
(1)
Rumah Sakit
(1)
Sinusitis
(1)
Suplemen makanan
(2)
TBC - Tuberculosis Paru
(4)
Terapi
(1)
THT
(3)
Trauma Kepala
(1)
Tropical Disease
(1)
Urologi
(1)
Vagina
(1)
Vitamin
(1)