translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Diare Akut

Diare akut adalah diare yang berlangsung ≤ 14 hari. Penyebab diare akut dapat berupa infeksi ataupun noninfeksi. Secara patofisiologi, diare akut dapat dibagi menjadi diare inflamasi dan noninflamasi. Berbagai patogen spesifik dapat menimbulkan diare akut. Diare juga dapat terjadi pada pasien immunocompromised dan pasien yang di rawat di rumah sakit. Untuk mendiagnosis diare akut diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Terapi terpenting pada diare akut adalah rehidrasi, lebih disenangi melalui rute oral dengan larutan yang mengandung air, garam, dan gula. Terapi antimikrobial empiris hanya diperlukan pada keadaan khusus.
Eppy
SMF Penyakit Dalam RSUP Persahabatan
Jakarta
Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan yang penting di dunia hingga saat ini. Di negara-negara berkembang, angka kematian akibat diare pada umumnya masih tinggi. Sementara itu, di negara-negara industri, walaupun angka kematiannya rendah, tetapi angka morbiditas akibat penyakit ini cukup tinggi, sehingga mengganggu produktivitas dan membutuhkan biaya yang besar untuk penanganannya.
Definisi
Diare didefinisikan sebagai defekasi dengan berat feses >200 gram/hari. Akan tetapi, definisi tersebut kurang bernilai klinis karena pengukuran jumlah feses hanya dilakukan dalam penelitian. Definisi praktis yang sering dipakai adalah defekasi dengan feses encer/berair sebanyak ≥3 kali/hari. Diare akut adalah diare yang berlangsung ≤14 hari. Diare yang menetap sampai >14 hari disebut diare persisten, sedangkan bila menetap >30 hari dinamakan diare kronik. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai diare akut baik dari segi etiologi, patofisiologi, diagnosis, maupun penatalaksanaannya.
Etiologi
Penyebab diare akut dapat berupa infeksi ataupun noninfeksi. Pada beberapa kasus, keduanya sama-sama berperan. Penyebab noninfeksi dapat berupa obat-obatan, alergi makanan, penyakit primer gastrointestinal seperti, inflammatory bowel disease, atau berbagai penyakit sistemik seperti, tirotoksikosis dan sindrom karsinoid. Penyebab infeksi dapat berupa bakteri, virus, ataupun parasit (tabel 1).
Tabel 1. Patogen penyebab diare akut

Di negara-negara berkembang, prevalensi diare akut akibat bakteri dan parasit lebih tinggi dibandingkan akibat virus, dengan puncak kasus pada musim kemarau. Sebaliknya, di negara-negara industri diare akut lebih banyak disebabkan oleh infeksi virus. Frekuensi isolasi organisme dari kultur feses sebesar 2-40% pada berbagai penelitian. Angka ini kemungkinan masih jauh dari yang sebenarnya karena banyak pasien yang tidak meminta pertolongan medis serta kultur feses tidak selalu dilakukan ketika pasien berobat ke dokter.
Patofisiologi
Diare merefleksikan peningkatan kandungan air dalam feses akibat gangguan absorpsi dan atau sekresi aktif air usus. Secara patofisiologi, diare akut dapat dibagi menjadi diare inflamasi dan noninflamasi (tabel 2).
Tabel 2. Patofisiologi dan tipe diare akut
* Dapat mengenai usus kecil / besar, tetapi lebih sering pada lokasi di atas
** EPEC, EAggEC, EHEC, ETEC, semua dapat berkontribusi; laboratorium rutin dan kultur tidak dapat membedakannya dengan E. coli flora normal

Usus kecil berfungsi sebagai organ untuk mensekresi cairan dan enzim, serta mengabsorpsi nutriens. Gangguan kedua proses tersebut akibat infeksi akan menimbulkan diare berair (watery diarrhea) dengan volume yang besar, disertai kram perut, rasa kembung, banyak gas, dan penurunan berat badan.6 Demam jarang terjadi serta pada feses tidak dijumpai adanya darah samar maupun sel radang. Usus besar berfungsi sebagai organ penyimpanan. Diare akibat gangguan pada usus besar frekuensinya lebih sering, lebih teratur, dengan volume yang kecil, dan sering disertai pergerakan usus yang nyeri. Demam dan feses berdarah/mucoid juga sering terjadi. Eritrosit dan sel radang selalu ditemukan pada pemeriksaan feses.
Patogen Spesifik
Berbagai patogen spesifik dapat menimbulkan diare akut. Berikut ini akan dibahas secara garis besar.
A. Vibrio
Terdapat banyak spesies Vibrio yang menimbulkan diare di negaranegara berkembang. Vibrio cholerae dapat menimbulkan diare noninflamasi. Organisme ini termasuk koloni patogen klasik. V. cholerae serogrup O1 dan O139 dapat menyebabkan deplesi volume yang cepat dan berat. Tanpa rehidrasi yang cepat dan adekuat, syok hipovolemik dan kematian dapat terjadi dalam 12-18 jam sesudah pertama kali timbul gejala. Feses biasanya encer, jernih, disertai bercak-bercak mukus. Muntah biasa terjadi, tetapi jarang terdapat demam. Vibrio nonkolera, seperti Vibrio parahemolyticus juga dapat menyebabkan diare. V. cholerae O1, V. parahemolyticus, dan V. cholerae non-O1 merupakan penyebab tersering pertama, ke-4, dan ke-7 dari diare yang dirawat di rumah sakit di Indonesia, masing-masing sebesar 37,1%; 7,35; dan 2,4%.
B. Shigella
Shigella merupakan penyebab klasik diare inflamasi atau disentri dan penyebab ke-2 tersering penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) di Amerika Serikat, serta sampai saat ini masih menjadi problem utama di pusat perawatan harian atau institusi. Di Indonesia, Shigella spp merupakan penyebab tersering ke-2 dari diare yang dirawat di rumah sakit, yakni sebesar 27,3%. Dari keseluruhan Shigella spp tersebut, 82,8% merupakan S. flexneri; 15,0% adalah S. sonnei; dan 2,2% merupakan S. dysenteriae. Hanya dibutuhkan 10 kuman untuk menginisiasi timbulnya penyakit ini dan penyebaran dari orang ke orang amat mudah terjadi. Infeksi S. sonnei adalah yang teringan. Paling sering terjadi di negara-negara industri. Infeksi S. flexneri akan menimbulkan gejala disentri dan diare persisten. Paling sering terjadi di negara-negara berkembang. S. dysenteriae tipe 1 (Sd1) menghasilkan toksin Shiga, sehingga dapat menimbulkan epidemi diare berdarah (bloody diarrhea) dengan case fatality rate yang tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah. Infeksi Shigella dapat menimbulkan komplikasi hemolytic-uremic syndrome (HUS) dan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
C. Salmonella
Salmonellosis merupakan penyebab utama foodborne disease di Amerika Serikat.6 Di Indonesia, Salmonella spp merupakan penyebab tersering ke-3 dari diare yang dirawat di rumah sakit, yakni sebesar 17,7%. Terdapat lebih dari 2000 serotype Salmonella dan semuanya patogenik bagi manusia. Bayi dan orang tua paling rentan terinfeksi. Hewan merupakan reservoir utama bagi kuman ini. Gejala salmonellosis umumnya berupa diare noninflamasi. Akan tetapi, dapat juga berupa diare inflamatif atau disentri (bloody diarrhea).
D. Campylobacter
Organisme ini dapat menimbulkan watery ataupun bloody diarrhea. Meskipun jarang, Campylobacter juga dapat menimbulkan sindrom Guillain-Barré. Infeksi asimtomatik sering terjadi di negaranegara berkembang akibat kontak erat dengan hewan ternak. Campylobacter jejuni merupakan penyebab tersering ke-6 dari diare yang dirawat di rumah sakit di Indonesia, yakni sebesar 3,6%.
E. Escherichia coli diarrheogenic
Semua jenis E. coli diarrheogenic dapat menimbulkan penyakit di negara-negara berkembang. Akan tetapi, infeksi enterohemorrhagic E. coli (EHEC), termasuk E. coli O157:H7 lebih sering terjadi di negaranegara industri.2 Enterotoxigenic E. coli (ETEC) dapat menimbulkan diare pada wisatawan. Enteropathogenic E. coli (EPEC) jarang menyerang orang dewasa. Enteroinvasive E. coli (EIEC) dapat menimbulkan bloody mucoid diarrhea, biasanya disertai demam. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) dapat menimbulkan bloody diarrhea, dan Enteroaggregative E. coli (EAggEC) dapat menimbulkan diare persisten pada pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV).
Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), terutama Escherichia coli 0157:H7, merupakan penyebab tersering kolitis infektif di negara-negara industri. EHEC dapat memproduksi suatu sitotoksin, seperti verotoksin (Shiga-like toxin) yang menyebabkan bloody diarrhea. EHEC dapat menimbulkan komplikasi HUS dan TTP. Kolitis hemoragik berat dengan HUS dilaporkan terjadi pada 6–8% pasien. Tidak mudah untuk mengidentifikasi kuman ini karena media agar MacConkey-Sorbitol untuk membiakannya tidak tersedia di semua laboratorium. Selain itu, laboratorium juga tidak secara rutin mengidentifikasi nonserogroup O157:H7 EHEC yang sama manifestasi klinisnya dengan serogrup O157:H7.
F. Virus
Virus merupakan merupakan penyebab utama diare akut di negaranegara industri. Berbagai virus dapat menimbulkan diare akut pada manusia, di antaranya rotavirus, human calicivirus, enteric adenovirus, astrovirus, cytomegalovirus, coronavirus, dan herpes simplex virus. Rotavirus sering menimbulkan diare pada bayi, namun relatif jarang pada anak-anak dan dewasa karena telah mempunyai antibodi protektif. Rotavirus dapat menimbulkan gastroenteritis berat. Hampir semua anak-anak di negara-negara industri dan negaranegara berkembang telah terinfeksi pada usia 3–5 tahun. Human calicivirus (HuCV) termasuk ke dalam famili Caliciviridae, terdiri dari norovirus dan sapovirus. Sebelumnya dinamakan “Norwalk-like virus” dan “Sapporo-like virus”. Norovirus merupakan penyebab tersering kejadian luar biasa gastroenteritis pada semua kelompok umur. Sapovirus lebih sering mengenai anak-anak. Beberapa serotype adenovirus juga dapat menimbulkan diare akut, akan tetapi lebih sering pada anak-anak.
G. Parasit
Berbagai spesies protozoa dan cacing dapat menimbulkan diare akut. Di negara-negara maju, parasit jarang menjadi penyebab diare akut, kecuali pada wisatawan. Giardia intestinalis, Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, dan Cyclospora cayetanensis
paling sering menimbulkan diare akut pada anak-anak.
Tabel 3. Penyebab diare akut di Indonesia

Diare pada pasien immunocompromise

Individu dengan penyakit immunocompromise, seperti limfoma, transplantasi sumsum tulang, atau infeksi HIV berisiko lebih tinggi untuk mengalami infeksi yang disebabkan oleh patogen usus dibandingkan individu sehat. Diare dilaporkan terjadi pada 60% dari pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) di negara-negara industri dan 95% pasien AIDS di negara-negara berkembang. Patogen yang paling sering dijumpai adalah Cryptosporidium parvum, Isospora belli, Cyclospora, Microsporidium, Salmonella enteritidis, Campylobacter, Shigella spp, Mycobacterium avium complex, Cytomegalovirus, Herpes simplex, dan Adenovirus. Prevalensi diare akibat berbagai patogen tersebut pada pasien AIDS dilaporkan terus menurun dengan semakin luasnya pemberian terapi antiretroviral, walaupun diare masih sering dijumpai pada kelompok pasien tersebut.
Infeksi oleh Cryptosporidium tampil sebagai penyakit diare dengan dehidrasi berat, namun dapat sembuh sendiri pada pasien dengan hitung CD4 >150 sel/mm3 sama seperti pada individu dengan fungsi imun yang normal. Sebaliknya, pada pasien HIV dengan fungsi imun yang lebih buruk terjadi penyakit yang lebih berat dan tidak dapat mengalami remisi. Cyclospora dan Microsporidium merupakan patogen usus kecil. Gambaran klinis diare yang disebabkan oleh Cyclospora khas dengan lamanya yang rerata >3 minggu, disertai rasa letih dan lemah yang kuat. Dehidrasi pada diare akibat infeksi Microsporidium biasanya lebih ringan dibandingkan pada diare yang disebabkan oleh Cryptosporidium. Gejala inflamasi, seperti perut kembung, kram, dan banyak flatus biasa dijumpai. Microsporidium jarang menyebabkan diare pada pejamu yang immunocompetent.
Diare Nosokomial
Diare nosokomial didefinisikan sebagai penyakit diare dengan onset >72 jam sesudah masuk rumah sakit. Penyakit ini dapat menambah lama perawatan di rumah sakit pada orang dewasa sampai >1 minggu, dan pada usia lanjut sampai >1 bulan. Insiden dan mortalitas tertinggi dijumpai kelompok pasien yang berusia >70 tahun. Diare nosokomial dapat disebabkan oleh infeksi ataupun noninfeksi. Akan tetapi, diare nosokomial lebih sering disebabkan oleh penyebab noninfeksi yang multipel, seperti penggunaan tube feeding atau obat-obatan yang dapat menimbulkan diare. Penyebab infeksi tersering adalah Clostridium difficile.
Kolitis pseudomembranosa hampir selalu disebabkan oleh C. difficile. Organisme ini juga menjadi penyebab dari 20% diare tanpa kolitis akibat pemakaian antibiotik. Kolitis pseudomembranosa berkisar dari diare ringan-sedang hingga kolitis berat. Sebenarnya semua antibiotik telah dihubungkan dengan infeksi C. difficile, akan tetapi penyebab tersering adalah golongan penisilin berspektrum luas, cephalosporin, dan clindamycin. Sebagian besar pasien mengalami gejala selagi masih memakai antibiotik, tetapi diare dapat juga baru timbul 1-3 minggu sesudah antibiotik dihentikan. Infeksi C. difficile juga dapat timbul pada pasien-pasien yang mendapat kemoterapi.
Diagnosis
Untuk mendiagnosis diare akut diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Anamnesis
Dalam menganamnesis pasien diare akut perlu ditanyakan mengenai onset, lama gejala, frekuensi, serta kuantitas dan karakteristik feses. Feses dapat mengandung darah atau mukus. Adanya demam merupakan temuan diagnostik yang penting karena menandakan adanya infeksi bakteri invasif seperti Salmonella, Shigella, dan Campylobacter, berbagai virus enterik, atau suatu patogen sitotoksik seperti, C. difficile dan E. histolytica.
Adanya feses yang berdarah mengarahkan kemungkinan infeksi oleh patogen invasif dan yang melepaskan sitotoksin; infeksi EHEC bila tidak terdapat leukosit pada feses; serta bukan infeksi virus atau bakteri yang melepaskan enterotoksin. Muntah sering terjadi pada diare yang disebabkan oleh infeksi virus atau toksin bakteri misalnya S. aureus. Tenesmus merupakan penanda dari diare inflamasi. Walaupun demikian, tidaklah mudah untuk mengenali patogen spesifik penyebab diare hanya berdasarkan gambaran klinisnya semata karena beberapa patogen dapat menunjukkan gambaran klinis yang sama.
Untuk mengidentifikasi penyebab diare diperlukan juga data tambahan mengenai masa inkubasi, riwayat perjalanan sebelumnya, riwayat mengkonsumsi makanan tertentu, risiko pekerjaan, penggunaan antibiotik dalam 2 bulan terakhir, riwayat perawatan, residency, binatang peliharaan, hobi, serta risiko terinfeksi HIV. Waktu timbulnya gejala setelah paparan terhadap makanan yang dicurigai juga dapat mengarahkan penyebab infeksi, seperti berikut ini:
  1. Gejala yang timbul dalam waktu <6 jam kemungkinan disebabkan oleh toksin bakteri Staphylococcus aureus atau Bacillus cereus.
  2. Gejala yang timbul sesudah 6-24 jam kemungkinan disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium perfringens atau Bacillus cereus.
  3. Gejala yang timbul lebih dari 16-72 jam mengarahkan infeksi oleh virus, terutama bila muntah merupakan gejala yang paling prominen; atau kontaminasi bakterial dari makanan oleh enterotoxigenic/enterohemorrhagic E. coli, Norovirus, Vibrio, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Giardia, Cyclospora, atau Cryptosporidium.
Riwayat makanan yang dikonsumsi juga dapat mengarahkan diagnosis. Konsumsi produk makanan yang tidak dipasteurisasi, daging atau ikan mentah/setengah matang, atau sayur mayur dihubungkan dengan patogen tertentu. Penting juga untuk menanyakan mengenai antibiotik yang baru saja digunakan (sebagai petunjuk adanya infeksi C. difficile), obat-obat lain, dan riwayat penyakit sebelumnya secara lengkap (untuk mengidentifikasi pejamu yang immunocompromise atau kemungkinan infeksi nosokomial).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dinilai keadaan umum, kesadaran, berat badan, temperatur, frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan darah, turgor kulit, kelopak mata, serta mukosa lidah. Selain itu, perlu dicari tanda-tanda dehidrasi dan kontraksi volume ekstraseluler, seperti denyut nadi >90 kali/menit dan lemah, hipotensi postural/ortostatik, lidah kering, kelopak mata cekung, serta kulit yang dingin dan lembab. Tanda-tanda peritonitis juga perlu dicari karena merupakan petunjuk adanya infeksi oleh patogen enterik invasif.
Tabel 4. Sumber penularan patogen usus spesifik

Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mencari penyebab diare akut, yakni pemeriksaan leukosit dan darah samar feses, pemeriksaan laktoferin feses, endoskopi saluran cerna bagian bawah, kultur feses, serta pemeriksaan telur cacing dan parasit.
A. Leukosit dan Darah Samar Feses
Sejumlah penelitian telah mengevaluasi akurasi pemeriksaan leukosit feses baik secara sendiri maupun dikombinasikan dengan pemeriksaan darah samar. Kemampuan pemeriksaan tersebut untuk memprediksi adanya diare inflamasi amat bervariasi, dengan sensitivitas dan specificity berkisar 20–90%.Variasi hasil penelitian tersebut kemungkinan akibat perbedaan dalam pemrosesan spesimen dan pengalaman operator. Akan tetapi, hasil meta-analisis tentang pemeriksaan ini menunjukkan sensitivitas dan specifitynya yang lemah, hanya sebesar 70% dan 50%.Leukosit feses juga bukan prediksi yang akurat bagi respon terapi terhadap antibiotik. Karena berbagai keterbatasan tersebut, peran pemeriksaan leukosit feses masih dipertanyakan. Akan tetapi, adanya darah samar dan leukosit pada feses mendukung diagnosis diare akibat infeksi bakteri bersama-sama dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan diagnostik lainnya. Pemeriksaan leukosit feses kurang bermanfaat dibandingkan pemeriksaan terhadap C. difficile untuk diare yang timbul selama perawatan di rumah sakit. Pada umumnya pemeriksaan sel radang pada feses diperlukan pada pasien dengan penyakit berat, yang ditandai oleh satu atau lebih hal berikut ini:
  1. Watery diarrhea yang masif (profuse), disertai dehidrasi.
  2. Terdapat banyak gumpalan feses berukuran kecil yang mengandung darah dan mukus.
  3. Temperatur tubuh ≥38,5°C (101,3°F).
  4. Keluarnya ≥6 kali feses tak berbentuk dalam 24 jam atau lama sakit >48 jam.
  5. Nyeri abdomen hebat pada pasien berumur >50 tahun.
  6. Diare pada pasien usia lanjut (≥70 tahun) atau immunocompromise.
B. Laktoferin Feses
Keterbatasan pemeriksaan leukosit feses seperti yang dikemukakan di atas mendasari pengembangan pemeriksaan lactoferrin latex agglutination assay (LFLA) feses. Laktoferin merupakan penanda bagi adanya leukosit pada feses, akan tetapi pengukurannya lebih akurat dan kurang rentan terhadap berbagai variasi dalam pemrosesan spesimen. Pada satu penelitian, laktoferin feses dijumpai pada 93% dari 28 sampel yang diketahui positif terhadap Salmonella, Shigella atau Campylobacter dan tidak dijumpai pada 83% dari 18 sampel dengan rotavirus atau tanpa patogen yang dapat dideteksi. Kepustakaan lain menyebutkan sensitivitas dan specifity pemeriksaan ini sebesar 92% dan 79%. Akan tetapi, pada berbagai penelitian lain performa pemeriksaan ini kurang baik sehingga tidak digunakan secara luas.
C. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Bawah
Endoskopi umumnya tidak dibutuhkan dalam mendiagnosis diare akut. Akan tetapi, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk:
  1. Membedakan inflammatory bowel disease dari diare akibat infeksi.
  2. Mendiagnosis infeksi C. difficile dan menemukan pseudomembran pada pasien yang toksik sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur jaringan. Namun, saat ini pemeriksaan enzyme linked immunosorbent assays (ELISA) dari feses untuk toksin A telah mempersingkat waktu untuk mendiagnosis infeksi C. difficile dan mengurangi kebutuhan pemeriksaan endoskopi pada kasus-kasus tersebut.
  3. Mendiagnosis adanya infeksi oportunistik (seperti, cytomegalovirus) pada pasien immunocompromise.
  4. Mendiagnosis adanya iskemia pada pasien kolitis yang dicurigai namun diagnosisnya masih belum jelas sesudah pemeriksaan klinis dan radiologis.
D. Kultur Feses
Belum ada konsensus yang secara jelas memasukkan kultur feses sebagai salah satu strategi optimum dalam mendiagnosis diare akut. Walaupun, cukup sulit untuk memprediksi etiologi diare akut akibat infeksi bakteri hanya berdasarkan gambaran klinisnya, akan tetapi dokumentasi patogen penyebab tidak selalu diperlukan karena sebagian besar diare akut akibat infeksi disebabkan oleh virus yang dapat sembuh sendiri (self-limited) dan akan membaik hampir separuhnya dalam waktu <1 hari. Pada diare akut, mempertahankan volume intravaskuler yang adekuat serta mengoreksi gangguan cairan dan elektrolit lebih prioritas dibandingkan mencari patogen penyebab.2 Pemeriksaan kultur feses diindikasikan pada pasien dengan diare inflamasi dengan darah/mukus pada fesesnya. Penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa 53% dokter baru melakukan kultur darah bila diare telah berlangsung >3 hari. Kultur feses kurang bernilai pada pasien yang mengalami diare sesudah >72 jam perawatan di rumah sakit karena penyebabnya hampir selalu infeksi C. difficile atau suatu penyebab noninfeksi. Kultur feses juga diperlukan pada:
  1. Pasien immunocompromise, misalnya pasien dengan HIV.
  2. Pasien dengan co-morbidity yang meningkatkan risiko untuk mendapatkan komplikasi.
  3. Pasien dengan penyakit dasar inflammatory bowel disease dimana amat penting untuk membedakan antara kekambuhan dengan infeksi sekunder.
  4. Beberapa pekerjaan tertentu, seperti pengelola makanan, yang terkadang baru dapat kembali bekerja sesudah hasil kultur fesesnya negatif.
Klinisi sebaiknya menyebutkan secara spesifik patogen yang dicurigai sewaktu mengirimkan feses untuk memudahkan proses di laboratorium mikrobiologi; serta menentukan media, metode, atau pewarnaan yang tepat untuk mengisolasi atau mengidentifikasi organisme yang diinginkan. Spesimen sebaiknya dibiakkan sesegera mungkin pada media kultur yang sesuai. Kultur feses rutin sudah akan akan dapat mengidentifikasi Salmonella, Campylobacter, dan Shigella. Bila terdapat kecurigaan adanya infeksi Aeromonas atau berbagai strain Yersinia maka laboratorium perlu diberitahu karena berbagai patogen tersebut tumbuh pada kultur rutin akan tetapi seringkali terlewat bila tidak dicari secara khusus. Hasil kultur yang positif untuk salah satu dari organisme tersebut pada pasien dengan gejala diare akut dapat diinterpretasikan sebagai positif yang sebenarnya, walaupun terapi antibiotik tidak selalu diperlukan untuk semua organisme tersebut. Tidak seperti telur cacing dan parasit yang seringkali ditemukan secara intermiten, berbagai patogen ini umumnya diekskresikan secara terus-menerus. Jadi, hasil kultur yang negatif biasanya bukan merupakan hasil negatif palsu, dan pengulangan spesimen jarang diperlukan. Organisme lain yang perlu diperhatikan pada keadaan tertentu adalah Enterohemorrhagic E. coli, virus, Vibrio, Giardia, Cryptospori-dium, dan Cyclospora. Biaya untuk analisis feses dan kultur dapat ditekan dengan memperbaiki seleksi dan pemeriksaan spesimen berdasarkan interpretasi dari informasi kasus, seperti riwayat penyakit pasien, aspek klinis, inspeksi feses visual, dan perkiraan masa inkubasi.
Tabel 5. Pemeriksaan feses pada penyakit diare.

E. Pemeriksaan Telur Cacing dan Parasit Pengiriman sampel feses untuk pemeriksaan telur cacing dan parasit tidak cost-effective untuk sebagian besar kasus diare akut. Pemeriksaan telur cacing dan parasit, hanya diindikasikan pada:
  1. Diare persisten (dihubungkan dengan Giardia, Cryptosporidium, dan E. histolytica)
  2. Diare sesudah perjalanan dari Rusia, Nepal, atau wilayah pegunungan (dihubungkan dengan Giardia, Cryptosporidium, dan Cyclospora)
  3. Diare persisten dengan paparan terhadap bayi pada pusat perawatan harian (dihubungkan dengan Giardia dan Cryptosporidium)
  4. Diare pada lelaki yang berhubungan seks dengan sesama jenis atau seorang pasien AIDS (dihubungkan pertama-tama dengan Giardia dan E. histolytica, selanjutnya dengan berbagai parasit lainnya)
  5. Pada KLB penyakit yang ditularkan melalui air di komunitas (dihubungkan dengan Giardia dan Cryptosporidium)
  6. Diare berdarah dengan sedikit atau tanpa leukosit pada feses (dihubungkan dengan amebiasis intestinal)
Karena ekskresi telur cacing dan parasit yang intermiten, maka diperlukan 3 spesimen yang masing-masing diambil pada hari yang berbeda selama 3 hari berturut-turut atau pengambilan masing-masing spesimen berjarak ≤ 24 jam.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien diare akut dimulai dengan terapi simtomatik, seperti rehidrasi dan penyesuaian diet. Terapi simtomatik dapat diteruskan selama beberapa hari sebelum dilakukan evaluasi lanjutan pada pasien tanpa penyakit yang berat, terutama bila tidak dijumpai adanya darah samar dan leukosit pada fesesnya. Terapi antibiotik tidak diperlukan pada sebagian besar kasus diare akut karena penyakit biasanya sembuh sendiri (self-limited). Akan tetapi, terapi antibiotik empiris dan spesifik dapat diberikan bila terdapat indikasi.
Terapi Rehidrasi
Terapi terpenting pada diare akut adalah rehidrasi, lebih disenangi melalui rute oral dengan larutan yang mengandung air, garam, dan gula. Terapi rehidrasi oral (oral rehydration therapy/ORT) merupakan pemberian cairan melalui mulut untuk mencegah atau mengoreksi dehidrasi akibat diare. ORT merupakan standar bagi penanganan diare akut yang efficacious dan cost-effective, termasuk di negara-negara industri. Pada dasarnya ORT terdiri dari 2 bagian, yaitu:
  1. Rehidrasi, ditujukan untuk mengganti air dan elektrolit yang hilang.
  2. Terapi cairan rumat (bersama nutrisi yang sesuai).
Larutan rehidrasi oral (oral rehydration solution/ORS) adalah cairan yang khusus dibuat untuk terapi rehidrasi oral. Larutan rehidrasi oral dikembangkan berdasarkan fakta bahwa pada banyak kasus diare usus kecil fungsi absorpsi glukosa usus melalui cotransport natriumglukosa masih baik. Yang terganggu hanya fungsi sekresi dari usus halus, sehingga air masih bisa diserap oleh usus kecil bila glukosa dan garam juga tersedia untuk membantu tranpor air dari lumen usus. World Health Organization (WHO) telah mengembangkan ORS hipotonik untuk digunakan secara global. ORS berosmolaritas rendah (konsentrasi natrium dan glukosanya lebih rendah) ini lebih efektif dalam mengurangi muntah, keluarnya feses, serta kebutuhan infus intravena dibandingkan dengan ORS standar (tabel 7). ORS hipotonik WHO juga telah direkomendasikan untuk digunakan dalam pengobatan kolera pada orang dewasa dan anak-anak.
Tabel. 6 Komposisi ORS hipotonik yang direkomendasikan oleh WHO

Jus buah yang encer dan minuman ringan berpengawet bersama dengan biskuit asin dan kaldu/sop juga mengandung air dan garam yang cukup untuk pasien dengan penyakit yang ringan (tanpa dehidrasi). Terapi rehidrasi intravena diberikan untuk pasien dengan kehilangan cairan >10% berat badan atau yang tidak dapat minum karena muntah atau perubahan status mental. Ringer’s lactate (RL) merupakan larutan dengan kadar elektrolit yang hampir sama dengan cairan tubuh yang hilang. Untuk orang dewasa dapat diberikan cairan sebanyak 30 ml/kg berat badan selama 30 menit pertama, dilanjutkan 70 ml/kg berat badan untuk 2,5 jam berikutnya.
Bila larutan RL tidak tersedia maka dapat digunakan larutan NaCL 0,9%, akan tetapi kehilangan bikarbonat dan kalium tidak terganti. Larutan dekstrosa sebaiknya tidak digunakan karena tidak mengandung elektrolit, sehingga tidak dapat mengganti kehilangan elektrolit dan mengkoreksi asidosis. Selain itu, larutan dekstrosa juga kurang efektif untuk mengatasi hipovolemia.
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan pasien diare akut

Terapi Antimikrobial
Belum adanya metode pemeriksaan diagnostik cepat yang akurat untuk patogen enterik menjadikan keputusan untuk pemberian antimikrobial seringkali dibuat secara empiris begitu ada indikasi klinis. Terapi antimikrobial empiris mungkin diperlukan pada:
  1. Pasien dengan demam, feses berdarah/mucoid, terdapat darah samar atau leukosit pada feses.
  2. Pasien dengan buang air besar >8 kali/hari, dehidrasi, gejala >1 minggu, yang memerlukan perawatan, atau immunocompromise.
Pasien sebaiknya diteliti dengan cermat mengenai risiko terkena C. difficile sebelum pemberian antibiotik empiris. Pada berbagai keadaan sebaiknya diberikan terapi empiris dengan suatu kuinolon nonpseudomonal selama 3-5 hari. Bila patogen penyebab telah diketahui dengan pasti, maka dapat dimulai pemberian terapi antimikrobial spesifik seperti yang tercantum pada tabel 8 dan 9. Pemberian antimikrobial sebaiknya mempertimbangkan manfaat klinik dengan biaya, risiko efek samping, eradikasi flora normal usus yang membahayakan, induksi produksi toksin Shiga, dan meningkatnya resistensi terhadap antimikrobial. Untuk diare akut pada orang dewasa, terdapat bukti yang baik bahwa pemberian ciprofloxacin dalam waktu singkat (satu/dua dosis) atau quinolone lain akan mengurangi beratnya dan memperpendek lama diare akut pada wisatawan (traveler’s diarrhea). Hal ini masih kontroversial. Sebaiknya terbatas untuk individu berisiko tinggi atau yang memerlukan kunjungan singkat ke daerah berisiko tinggi. Untuk traveler’s diarrhea sedang/berat atau diare dengan demam dan atau feses berdarah sebaiknya diberikan terapi antimikrobial empiris dengan quinolone sebagai pilihan pertama dan cotrimoxazole sebagai pilihan kedua.
Tabel 7. Terapi antimikrobial untuk diare akibat infeksi bakterial
* Trimethoprim/sulfamethoxazole 160/800 mg (DS tab) per oral tiap 12 jam
** Norfloxacin 400 mg per oral, ofloxacin 400 mg per oral, ciprofloxacin 500 mg per oral 
*** Erythromycin, klaritromisin, azithromycin


Tabel 8. Terapi antimikrobial untuk diare akibat infeksi nonbakterial

Dalam terapi diare yang disebabkan oleh C. difficile, banyak pasien mengalami perbaikan bila pemberian antibiotik spektrum luas dihentikan. Metronidazole oral (yang murah) dan vancomycin oral efektif untuk terapi diare yang disebabkan oleh C. difficile, dengan angka keberhasilan mencapai >90 % dan waktu rerata untuk mengalami perbaikan adalah 3 hari, akan tetapi sering terjadi kekambuhan. Campylobacter yang resisten terhadap quinolone saat ini telah dilaporkan di beberapa wilayah Asia Tenggara (misalnya, Thailand) dan azithromycin menjadi terapi alternatif. Dosis yang direkomendasikan adalah 250 mg atau 500 mg 1 kali/hari selama 3–5 hari.
Terapi Simtomatik
1. Antimotilitas
Obat-obat antimotilitas, seperti loperamide atau diphenoxylate dapat digunakan sebagai terapi simtomatik pada diare akut dengan atau tanpa demam serta fesesnya tidak berdarah/mukoid. Loperamide merupakan obat terpilih untuk orang dewasa. Obat ini paling baik digunakan pada traveler’s diarrhea ringan/sedang, serta tanpa tanda klinik diare invasif. Loperamide menghambat peristaltik usus dan mempunyai efek antisekresi yang ringan. Sebaiknya dihindari penggunaannya pada bloody/mucoid diarrhea atau suspek inflamasi (dengan demam). Nyeri abdomen hebat yang mengarahkan suatu diare inflamatif termasuk kontraindikasi untuk pemberian loperamide. Pemberian loperamide mulamula 2 tablet (4 mg), kemudian 2 mg setiap keluar feses yang tak berbentuk, tidak lebih dari 16 mg/hari selama ≤2 hari. Difenoksilat mempunyai efek opiat sentral dan dapat menimbulkan efek samping kolinergik. Dosis difenoksilat adalah 2 tablet (4 mg) 4 kali/hari selama ≤ 2 hari.
Kedua obat tersebut dapat memfasilitasi timbulnya HUS pada pasien yang terinfeksi oleh EHEC. Pasien perlu berhati-hati bila mendapat obat ini karena dapat menutupi jumlah kehilangan cairan akibat pengumpulan cairan dalam usus. Jadi, pada pasien yang mendapat obat antimotilitas sebaiknya diberikan cairan yang lebih agresif.
2. Antisekresi
Bismut subsalisilat dapat mengurangi gejala diare, mual, dan nyeri abdomen pada diare wisatawan. Obat ini bekerja melalui efek antisekresi dari salisilatnya. Bismut subsalisilat 30 ml atau 2 tablet setiap 30 menit sebanyak 8 dosis bermanfaat pada beberapa pasien. Obat ini paling efektif untuk pasien dengan gejala muntah yang menonjol, namun tidak boleh diberikan pada diare inflamasi atau berdarah. Racecadotril merupakan suatu inhibitor enkephalinase (nonopiat) dengan aktivitas antisekresi, didapatkan bermanfaat pada anak-anak dengan diare, tetapi tidak pada orang dewasa dengan kolera.
3. Adsorben
Kaolinpektin, activated charcoal, dan attapulgit dapat menyerap bahan infeksius atau toksin, namun menunjukkan efikasi yang tidak adekuat untuk diare akut pada orang dewasa. Obat-obat tersebut mengabsorbsi air dan membuat feses menjadi lebih berbentuk.
Probiotik
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang adekuat akan menguntungkan bagi kesehatan pejamu. Berbagai penelitian menunjukkan manfaat probiotik dalam pengobatan diare infeksi dan diare akibat pemberian antibiotik. Probiotik akan berkompetisi dengan bakteri patogen pada tempat menempelnya bakteri di mukosa usus dan memodulasi sistem imun pejamu. Terdapat beberapa spesies yang telah diteliti dan digunakan sebagai probiotik, yakni Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus GG, Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophilus, Enterococcus faecium, dan Saccharomyces boulardi. Yang umum digunakan adalah kelompok laktobasilus dan bifidobakteria.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis yang tepat, jangka waktu pemberian serta bentuk sediaan yang ideal agar probiotik yang diberikan dapat efektif sesuai dengan yang diharapkan.
Pengaturan Diet
Pemberian diet khusus tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan hidrasi oral pada penelitian dengan kontrol. Akan tetapi, pemberian nutrisi yang adekuat selama episode diare akut amat berguna untuk memfasilitasi perbaikan enterosit. Bila pasien anorektik, hanya mengkonsumsi cairan dalam waktu yang tidak lama tidak akan membahayakan. Tepung dan biji-bijian rebus (misalnya, kentang, mie, beras, terigu, dan gandum) dengan garam diindikasikan pada pasien dengan watery diarrhea. Biskuit, pisang, yoghurt, sop, dan sayuran rebus boleh juga diberikan.
Dalam prakteknya, menghindari makanan selama >4 jam adalah tidak tepat. Makanan sebaiknya mulai diberikan 4 jam sesudah pemberian ORT atau cairan intravena. Diet diberikan tanpa memperhatikan cairan yang digunakan untuk terapi rehidrasi oral atau rumatan. Diet diberikan dalam porsi kecil dan sering (6 kali/hari). Perlu juga diberikan makanan tinggi kalori dan mikronutrien (beras, daging, buahbuahan, dan sayur-mayur). Peningkatan kalori disesuaikan dengan perbaikan episode diarenya. Perlu dihindari pemberian jus buah pekat karena hiperosmolar dan dapat memperberat diare.
Malabsopsi laktosa sekunder sering terjadi sesudah enteritis infeksi dan dapat menetap selama beberapa minggu sampai bulan. Jadi, makanan yang mengandung laktosa sebaiknya dihindari untuk sementara waktu.
Terapi Khusus pada Pasien Immunocompromise
Terapi diare pada pasien dengan infeksi HIV stadium awal sama dengan terapi pada pasien non-immunocompromise. Enteritis bakterial pada pasien HIV stadium lanjut dengan hitung CD4 absolut <200 sel/mm3 sebaiknya diobati dengan antimikrobial empiris dari golongan quinolone. Tidak ada terapi yang efektif untuk Cryptosporidium atau salah satu spesies dari Microsporidium (E. bieneusi) yang dapat menimbulkan diare kronik dengan morbiditas yang bermakna. Albendazole terlihat efektif untuk terapi infeksi E. intestinalis.
Kesimpulan
Pemahaman akan etiologi dan patofisiologi amat diperlukan dalam mendiagnosis diare akut. Rehidrasi merupakan terapi utama untuk pasien diare akut.

  1. Carlos CC, Saniel MC. Etiology and epidemiology of diarrhea. Phil J Microbiol Infect Dis 1990;19:51-3
  2. Farthing M, Linberg D, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E, Ramakhrisna BS, et al. World Gastroenterology Organization Practice Guideline: Acute Diarrhea. WGO, March 2008.p.1-28
  3. Al-Gallas N, Bahri O, Bouratbeen A, Hasasen AB, Aissa RB. Etiology of acute diarrhea in children and adults in Tunis, Tunisia, with emphasis on diarrheagenic Escherichia coli: prevalence, phenotyping, and molecular epidemiology. Am J Trop Med Hyg 2007;77:571–82
  4. DuPont HL, The practice parameters Committee of the American College of Gastroenterology. Guidelines on acute infectious diarrhea in adults. Am J Gastroen-terol 1997;92:1962-75
  5. OMGE practice guideline: acute diarrhea in adults. [cited 2008 October 12]. Available from URL: http://www.omge.org/guides/g_data1_en.htm
  6. Wanke CA. Epidemiology and causes of acute diarrhea. [cited 2008 October 15]. Available from URL: http://www.uptodate.com
  7. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, Thielman NM, Slutsker L, Tauxe RV, et al. Practice guidelines for the management of infectious diarrhea. Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2001;32:331-51
  8. Huicho L. Diagnostic approach to acute infectious diarrhea: the state of the art. Bull Inst Fr Etudes Andines 1995; 24:317-39
  9. Barbut F, Leluan P, Antoniotti G, Collignon A, Sedallian A, Petit JC. Value of routine stool cultures in hospitalized patients with diarrhea. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 1995; 14:346
  10. Thielman NM, Guerrant RL. Acute infectious diarrhea. N Eng J Med 2004; 350: 38-47
  11. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, Machpud N, Komalarini S, Santoso W, et al. Antimicrobial resistance of bacterial pathogens associated with diarrheal patients in Indonesia. Am J Trop Med Hyg 2003; 68:666-70
  12. Boyce TG, Swerdlow DL, Griffin PM. Escherichia coli O157:H7 and the hemolyticuremic syndrome. N Engl J Med 1995; 333:364-8
  13. Tserenpuntsag B, Chang HG, Smith PF, Morse DL. Hemolytic uremic syndrome risk and Escherichia coli O157:H7. Emerg Infect Dis 2005; 11:1955-7
  14. Wong CS, Jelacic S, Habeeb RL, Watkins SL, Tarr PI. The risk of the hemolytic– uremic syndrome after antibiotic treatment of Escherichia coli O157:H7 infections. N Eng J Med 2000; 342:1930-6
  15. LeBaron CW, Furutan NP, Lew JF, Allen JR, Gouvea V, Moe C, et al. Viral agents of gastroenteritis: public health importance and outbreak management. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 1990; 39:1-24
  16. Chan PKS, Lim WL, Wong MF, Kwok CSY. Viral gastroenteritis in Hong Kong. J Hong Kong Med Assoc 1994; 46:195-9
  17. Lesna M, Parham DM. Risk of diarrhoea due to Clostridium difficile during cefotaxime treatment. Mortality due to C. difficile colitis in elderly people has been underestimated. BMJ 1996; 312:778
  18. Impallomeni M, Galletly NP, Wort SJ, Starr JM, Rogers TR. Increased risk of diarrhoea caused by Clostridium difficile in elderly patients receiving cefotaxime. BMJ 1995; 311:1345-6
  19. Jones EM, Kirkpatrick BL, Feeney R, Reeves DS, MacGowan AP. Hospital acquired Clostridium difficile diarrhoea. Lancet 1997; 349: 1176-7
  20. Dixit V, Sellers J. Management of Clostridium difficile diarrhoea in District General Hospital, audit for 3 months and review of literature. Internet J Med Update 2007; 2:1-4
  21. Wanke CA. Approach to the patient with acute diarrhea. [cited 2008 October 15]. Available from URL:http://www.uptodate.com
  22. Savola KL, Baron EJ, Tompkins LS, Passaro DJ. Fecal leukocyte stain has diagnostic value for outpatients but not inpatients. J Clin Microbiol 2001;39:266
  23. Guerrant RL, Araujo V, Soares E, Kotlof f K, Lima AAM, Cooper WH, et al. Measurement of fecal lactoferrin as a marker of fecal leukocytes. J Clin Microbiol 1992; 30:1238-42
  24. Nachamkin I. Fecal lactoferrin screening assay for inflammatory bacterial diarrhea. J Clin Microbiol 1996; 34:2337-8
  25. Guidelines and Protocols Advisory Committee. Investigation of suspected infectious diarrhea. [cited 2008 November 8]. Available from URL:http://www. healthservices.gov.bc.ca/msp/protoguides
  26. Rohner P, Pittet D, Pepey B, Nije-Kinge T, Auckenthaler R. Etiological agents of infectious diarrhea: implications for requests for microbial culture. J Clin Microbiol 1997; 35:1427-32
  27. World Health Organization. The treatment of diarrhoea: a manual for physicians and other senior health workers. Publication WHO/CDD/SER/80.2 rev 4, 2005
  28. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for the management of acute diarrhea. [cited 2008 October 20]. Available from URL: http://www.bt.cdc. gov/disasters
  29. Hickson M, D’Souza AL, Muthu N, Rogers TR, Want S, Rajkumar C, et al. Use of probiotic Lactobacillus preparation to prevent diarrhoea associated with anti-biotics: randomized double blind placebo controlled trial. BMJ 2007;335:80-4
  30. D’Souza AL, Rajkumar C, Cooke J, Bulpitt CJ. Probiotics in prevention of antibiotic associated diarrhoea: meta-analysis. BMJ 2002; 324:1361-7




Artikel Lainnya