translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Teh Hijau Sebagai Anti Hiperpigmentasi Karena Paparan Ultra Violet

Senyawa katekin teh hijau merupakan antioksidan alam yang mempunyai potensi menghambat terjadinya pigmentasi karena paparan sinar ultra violet (UV). Potensinya dalam menghambat pigmentasi karena paparan UV melalui senyawa katekin yang dimilikinya, terutama epicatecin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG) dan epicatechin-3-gallate (EGCG), yang dapat berkompetisi dengan enzim L-tirosinase dan terikat pada tempat aktif (active site) dari tirosinase. Akibatnya terjadi hambatan kerja dari tirosinase yang menyebabkan terhambatnya pembentukan pigmen melanin, sehingga dapat mengurangi hiperpigmentasi pada kulit.

Diambil dari artikel oleh:
Betty Ekawati Suryaningsih Irianto
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Maraknya produk pemutih atau pencerah kulit yang beredar dipasaran secara bebas menimbulkan kontroversi tentang manfaat pemutih itu sendiri dan efek sampingnya, dengan adanya peringatan dari WHO (World Health Organization) tidak diperbolehkanya salah satu produk pemutih kulit kimia beredar secara bebas karena bahaya efek samping yang ditimbulkan, maka berlomba-lomba para produsen kosmetik memasarkan produk pemutihnya yang diyakininya berasal dari bahan alami tumbuh-tumbuhan, sehingga lebih aman penggunaanya seperti dari bengkoang, mullbery, jeruk nipis, lidah buaya, teh hijau dan masih banyak lagi yang dipasarkan dapat sebagai pencerah kulit. Teh Hijau (Green tea) mengandung banyak senyawa polifenol yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan kuat, saat ini teh hijau banyak digunakan dalam industri kosmetik sebagai produk pemutih atau pencerah kulit. Senyawa antioksidan yang dimilikinya mampu secara optimum menghambat aktivitas tirosinase dan dapat berguna sebagai pelindung surya. Tulisan ini akan mengupas tentang teh hijau dan bagaimana teh tersebut dapat bermanfaat sebagai pemutih atau pencerah kulit alami.

Sinar Ultra-Violet (UV) dan Pengaruhnya Terhadap Hiperpigmentasi Kulit
Warna kulit normal ditentukan oleh jumlah dan sebaran melanin yang dihasilkan oleh melanosom pada melanosit, yang secara genetik jumlahnya telah tertentu. Warna kulit juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit, vaskularisasi kulit, kemampuan refleksi permukaan kulit serta kemampuan absorbsi epidermis dan dermis, selain itu juga ada beberapa pigmen lain seperti karoten (kuning), oksihemoglobin (merah), hemoglobin (biru) dan melanin (coklat) yang mempengaruhi warna kulit. Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan enzim tirosinase. Tirosinase mengubah tirosin menjadi DOPA, kemudian dopa kuinon. Dopa kuinon diubah menjadi dopakrom melalui auto oksidasi sehingga menjadi dihidroksi indole (DHI) atau dihidroksi indole carboxy acid (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna coklat). Dengan adanya sistein atau glutation, dopakuinon diubah menjadi sisteinil dopa, reaksi ini membentuk feomelanin (pigmen berwarna kuning).
Selain hal tersebut warna kulit seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam tubuh maupun luar tubuh. Dari dalam tubuh misalnya faktor genetik dan hormonal, faktor dari dalam tubuh yang sangat berpengaruh adalah ras atau genetik, pengaruh tersebut terjadi bukan karena jumlah sel melanosit yang berbeda, melainkan bergantung pada jumlah dan bentuk melanosom. Sedangkan luar tubuh misalnya sinar matahari, makanan ataupun obat. Perpaduan faktor ini akan menghasilkan warna kulit tertentu. Pajanan sinar matahari dapat menyebabkan kulit berwarna lebih gelap karena sinar matahari mengandung ultra violet (UV), di antara ultra violet tersebut ultra violet B (UVB) merupakan sinar yang paling poten menyebabkan kerusakan jaringan kulit baik akut ataupun kronis. Salah satu reaksi akut akibat UV-B menyebabkan terjadinya inflamasi akut dan pigmentasi lambat pada kulit manusia.
Kulit sendiri mempunyai perangkat untuk melindungi jaringan yang ada dibawahnya diantaranya yaitu melanin. Melanin yang memayungi inti sel berfungsi sebagai pelindung dengan menyerap sinar UV. DNA sebagai kromofer seluler utama, di samping trytophan dan tyrosinase, akan mudah rusak karena ultra violet–B, dengan adanya kerusakan tersebut, DNA akan memberikan signal pada melanosit untuk meningkatkan sintesisnya. Selain melanin, stratum korneum yang tebal juga akan menyerap sinar UV, hal ini terbukti dengan menurunnya produksi sitokin oleh keratinosit, disamping itu asam urokanat diduga juga mempunyai peranan pelindung terhadap paparan UV. Paparan UV secara langsung akan menghasilkan radikal bebas dan meningkatkan regulasi mRNA tirosin yang merupakan enzim dalam biosintesis melanin, hal ini akan menyebabkan terjadinya abnormal pigmentasi seperti melasma, frekles dan lentigo senilis. Untuk mengurangi efek-efek buruk karena paparan sinar ultra violet tersebut diperlukan pelindung surya atau tabir surya, yang dapat mengurangi atau mencegah efek-efek yang merugikan karena paparan UV.

Tabir Surya atau Pelindung Surya
Tabir surya adalah suatu substansi dengan senyawa aktif yang dapat menyerap, memantulkan atau menghamburkan energi surya yang mengenai kulit manusia. Bahan aktif tabir surya kimiawi yang beredar dipasaran terdiri dari golongan PABA (para amino benzoic acid), salisilat, atranilat, sinamat, kamfor, benzofenon dan derivatnya, serta kombinasi yang mengandung lebih dari satu bahan aktif. Kendalanya adalah masing-masing spektrum sinar surya memberikan dampak buruk yang berbeda, sedangkan tabirsurya tertentu mempunyai daya lindung terhadap spektrum tertentu pula.
Dalam penelitian Elmet dkk (2001) membuktikan bahwa polifenol teh hijau EGCG dan ECG mempunyai kemampuan sebagai fotoproteksi dengan mekanisme kerja yang berbeda dari tabirsurya. Komponen polifenol teh hijau tidak menyerap cahaya UV. Implikasinya adalah bila polifenol teh hijau dikombinasikan dengan tabir surya konvensional, maka akan menghasilkan efek fototerapi tambahan atau sinergisme. Selain itu, dapat juga bermanfaat pada individu yang alergi atau tidak dapat mentolerir tabirsurya biasa serta dapat memberikan perlindungan baik terhadap UVB maupun UVA. Dalam penelitian Suryaningsih (2003) terbukti krim teh hijau dengan berbagai konsentrasi yang dioleskan pada punggung probandus dan disinari dengan UVB dalam waktu 2 hingga 16 menit dapat mencegah terjadinya pigmentasi dan eritema akibat paparan UVB.

Teh Hijau dan Farmakokinetiknya
Teh merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh di Negara Cina Argentina, Jepang, India, Indonesia, Srilanka dan Turki. Tumbuhan ini berdaun hijau mengkilap dan bunga berwarna putih kecil, dengan tinggi pohon 1.2 m. Tanaman teh memerlukan matahari yang cerah, curah hujan yang cukup, dan tidak tahan terhadap kekeringan. Perbedaan ketinggian tempat menyebabkan perbedaan pertumbuhan dan kualitas teh. Tanaman memasuki saat dipetik setelah berumur 3-4 tahun. Panen berarti memetik pucuk, merupakan bagian daun muda yang berkualitas dan kaya kandungan polifenol. Pada saat ini dikenal tiga macam teh, yaitu: teh hitam, teh hijau dan teh oolong, ketiganya berasal dari daun tanaman Camellia sinensis yang mengalami pemrosesan berbeda. Teh hijau dibuat dengan pemanasan daun teh segera setelah dipetik. Proses ini untuk menginaktivasi enzim yang terlibat dalam oksidasi. Sedangkan teh hitam dan teh oolong dibuat dengan mengeringkan daun teh sampai kandungan minyaknya berkurang. Selanjutnya daun teh kering digiling dan dihancurkan untuk memulai fermentasi. Untuk teh oolong, daun teh kering yang telah digiling dan dihancurkan tersebut kemudian segera dibakar guna menghentikan oksidasi. Sedangkan untuk teh hitam dibiarkan lebih lama berfermentasi untuk menimbulkan oksidasi. Komposisi daun teh terdiri dari polifenol 30-35%, karbohidrat 25%, kafein 3.5%, protein 15%, asam amino 4%, Lignin 6.5%, asam organik 1.5%, lipid 2% ash 5% dan klorofil 0.5%, karotenoids <0.1, volatil <0.1.
Dari pemrosesan pembuatan, teh hijau tidak mengalami fermentasi, daun–daun teh muda tidak dibiarkan beroksidasi, enzim polifenol oksidase suatu enzim pada daun teh yang menyebabkan terjadinya fermentasi diinaktifkan dengan proses steam (pemanasan), sehingga polifenol yang terdapat pada daun teh tidak teroksidasi dan masih utuh. Teh oolong mengalami fermentasi parsial sedangkan teh hitam mengalami fermentasi seluruhnya. Berbedanya pemrosesan ini membuat polifenol atau katekin yang dikandung dalam teh tersebut menjadi berbeda, teh hijau mempunyai katekin isomer sedangkan teh hitam mempunyai katekin polimer dan teh oolong berada di antara kedua teh tersebut. Katekin atau polifenol merupakan suatu senyawa yang mempunyai potensi sebagai antioksidan alam yang poten.
Polifenol teh hijau mempunyai gugus hidroksil yang lebih banyak dari teh hitam, hal ini yang membuat teh hijau mempunyai potensi sebagai antioksidan alam lima kali lebih kuat daripada antioksidan lainnya. Teh hijau merupakan minuman tradisional negara Cina sejak 4000 tahun sebelum Masehi dan dipercaya masyarakat Cina bahwa teh hijau dapat mengobati dan mencegah kanker, mengandung vitamin B dan vitamin C, sebagai diuretik, dapat meningkatkan konsenterasi dan menenangkan pikiran, mengurangi nyeri sendi juga sebagai antipiretik. Secara epidemiologi, mengkonsumsi teh hijau dapat mencegah kanker dan menurunkan beberapa radikal bebas seperti peroksi nitrit, hidrogen peroksidase. Antioksidan teh hijau 100 kali lebih efektif dibandingkan dengan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin E. Farmakokinetik polifenol teh setelah meminumnya, metabolitnya memberikan aksi lokal jaringan. Dalam satu cangkir teh hijau mengandung 100-200 mg EGCG, efek sebagai antioksidan mencapai puncaknya dalam tubuh kurang lebih antara 30-50 menit kemudian setelah mengkonsumsi teh.16 Kadar EGCG, EGC dan EC dijumpai dalam saliva 10-20 menit kemudian setelah mengkonsumsi teh hijau 2-3 cangkir.
Waktu paruh EGCG kira-kira 5-5.5 jam, hampir dua kali EGC (2.5-3.4 jam). EGC dan EC dalam 8 jam diekskresikan kedalam urin.12,17 Pada penelitian di Jepang terbukti dengan mengkonsumsi teh 5-10 cangkir/hari, signifikan menurunkan frekuensi karsinoma gaster, menurunkan risiko kanker kolorektal dan kanker oesopagus. Selain itu antioksidan teh hijau mempunyai potensi dalam mereduksi 4-metil nitrosamin-1-3piridil-1-butanon suatu zat karsinogenik dalam tembakau, sehingga mereduksi stress oksidasi pada perokok yang berimplikasimenurunkan kanker paru pada perokok.

Polifenol Teh Hijau Sebagai Antioksidan Alam dan Manfaatnya
Polifenol teh hijau merupakan antioksidan alam yang sangat kuat karena mempunyai gugus hidroksil yang lebih dari polifenol teh hitam atau teh oolong. Dalam daun teh kering mengandung senyawa polifenol 30-35%, komposisi predominan polifenol teh adalah katekin (Flavan-3-ols) epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG) dan epicatechin-3-gallate (EGCG), dari keempat komponen tersebut EGCG merupakan komponen paling efektif sebagai antioksidan alam yang poten dan sebagai kemoproventif kutan terhadap inflamasi atau karsinogenesis yang diinduksi paparan UV-B. EGCG mempunyai potensi sebagai antioksidan alam yang dapat memberikan perlindungan pada kulit manusia terhadap terjadinya fotokarsinogenesis dan fototoksik yang diinduksi papara UV. Paparan UV-B akan menghasilkan suatu radikal bebas atau reactive oxygen spesies (ROS), keadaan ini merupakan kontribusi terjadinya karsinogenesis karena adanya kerusakan makromolekul termasuk DNA secara langsung. Paparan UV akan menginduksi reactive oxygen species (ROS) sehingga akan meningkatkan regualsi mRNA tirosinase yang berdampak terjadinya pigmentasi yang menganggu penampilan seseorang secara kosmetik. Antioksidan polifenol teh hijau mampu menghambat secara maksimum aktivitas tirosinase, terutama komponen EGCG, EGC dan CG yang mempunyai daya hambat terhadap terjadinya pigmentasi karena paparan UV-B.
Dalam penelitian Elmet dkk (2001) membuktikan bahwa polifenol teh hijau EGCG dan ECG mempunyai kemampuan sebagai fotoproteksi dengan mekanisme kerja yang berbeda dari tabirsurya. Komponen polifenol teh hijau tidak menyerap cahaya UV. Implikasinya adalah bila polifenol teh hijau dikombinasikan dengan tabir surya konvensional, maka akan menghasilkan efek fototerapi tambahan atau sinergisme. Selain itu, dapat juga bermanfaat pada individu yang alergi atau tidak dapat mentolerir tabir surya biasa, serta dapat memberikan perlindungan baik terhadap UVB maupun UVA. Berdasarkan beberapa penelitian pendahuluan tentang manfaat the hijau baik digunakan secara topikal ataupun sistemik dalam aplikasinya di dalam terapi bidang dermatologi. Beberapa perusahaan membuat beraneka produk kosmetik dari bahan teh hijau diantaranya produk pasta gigi, shampoo, krim depilator, krim pembersih wajah, moisturizing creams, body lotion, dan shower gels. Dalam penelitian Suryaningsih (2003), terbukti Krim teh hijau mampu sebagai antipigmentasi yang diinduksi oleh paparan UVB pada 30 punggung probandus, dengan pengolesan berbagai konsentrasi krim teh hijau, dalam penelitian tersebut terbukti semakin tinggi konsentrasi krim semakin kuat daya hambat pigmentasinya.

Kesimpulan
Teh hijau merupakan bahan alam yang dapat digunakan sebagai anti pigmentasi pada kulit manusia yang disebabkan paparan ultraviolet dan telah dibuktikan oleh beberapa penelitian tentang kandungan polifenol teh hijau yang merupakan antioksidan alam poten. Antioksidan alam yang terdapat pada polifenol teh hijau mempunyai daya hambat terhadap terjadinya pigmentasi karena paparan sinar surya, kandungan antioksidan yang berpontensi sebagai antihiperpigmentasi terkandung pada senyawa katekin terutama epicatecin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG) dan epicatechin-3-gallate (EGCG), Antioksidan polifenol teh hijau mampu menghambat secara maksimum aktivitas tirosinase, terutama komponen EGCG, EGC dan ECG yang mempunyai daya hambat terhadap terjadinya pigmentasi karena paparan UV-B.


1. Elmet C.A, Sigh D, Tubesing K, et al. Cutaneous photoprotection from ultra violet injury by green tea Polyphenols. J Am Acad 2001; 44 (3):425-32
2. Katiyar, Ahmad N, Mukhtar H. Green Tea and Skin. Arch Dermatol 2000; 136 (8):989-94
3. Halaban R, Hebert DN, Fisher ED. Biology of melanocytes. In: Fitzpatick TB, Eisen AZ, Wolff K, FM Irwin, Austen KF, Goldsmith Lowel A, Katz S I, editor. Dermatology in General Medicine, edisi ke-6. New York:Mc-Graw Hill; 2003.p.127-47
4. Katiyar SK, Elmet. Green tea polyphenolic antioxidants and skin photoprotection. Int J Oncol 2001; 18(6):1307-13
5. Gilchrest BA, Yaar M. Bhiochemical and molecular in photoaged skin. In: Gilchrest BA. Photodamage. New York: Blackwell Science, 1995.p.168-78
6. Kochevar EI. Molecular and cellular effect of UV radiation relevant to chronic photodamage. In: Gilchrest BA. Photodamage. New York:Blackwell Science; 1995.p.52-67
7. No KJ, Kim JY, Shim Kh, et al. Inhibition of tyrosinase by green tea components. Life Science 1999; 65 (21):241-6
8. Katiyar SK, Bergamo B, et al. Green tea polyphenol: DNA photodamage and photoimmunology. Journal of Photochemistry & Photobiology 2001; 65:109-14
9. Walker SL, Howk JLM, Young AL. Acute and chronic effects of the sun. In: Fitzpatick TB, Eisen AZ, Wolff K, FM Irwin, Austen KF, Goldsmith Lowel A, Katz S I, editor. Dermatology in General Medicine edisi-6. New York:Mc-Graw Hill; 2003.p.1275-82
10. Suryaningsih BE. Pengaruh krim ekstrak the hijau terhadap eritema dan pigmentasi akibat paparan UV-B. [Tesis PPDS I]. Fakultas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; 2003
11. Martin FP. Green tea. In: Gale Encyclopedia of Alternative Medicine. Gale Group; 2001
12. Dvorakova K, Dorr RT, Valcic S, Pharmacokinetics of the green tea derivative, EGCG, by the topical route of administration in mouse and human skin. Cancer Chemoterapy Pharmacology 1999; 43:331-5
13. Katiyar SK, Afaq F,Perez A. Green tea polyphenol (-)- epigallocatechin-3-gallate treatment of human skin inhibits ultraviolet radiation-induced oxidative stress. Carcinogenesis 2001; 22(2):287-94
14. Alexis AF, Jones FA, et al. Potential terapeutic application of tea in dermatology. Internationale Journal of Dermatology 1999; 38:735-43
15. Yang C, Landau JM. Effect of tea consumption on nutrition and health. Journal of Nutrition 2000; 130:2409-12
16. Benelli R, Vene R. Anti-Invasive effect of green tea polyphenol epigallocatecin-3-gallate (EGCG), a natural inhibitor of metallo and serine protease. Biology Chem 2002; 383:101-5
17. M Hasan, Ahmad N. Tea polyphenols: prevention of cancer and optimizing health. Am J Clin Nutrition 2000; 71:1698S-702S
18. Brown MD. Green tea (Camellia sinensis) extract and its possible role in the prevention of cancer. Altern Med Rev 1999; 4(5):360-70
19. Katiyar SK, Matsui MS, Elmets CA, Mukhtar H. Polyphenolic antioxidant (-)-epigalochatechin-3-gallate from green tea reduce UV-B-induced inflamatory responses and infitration of leukocyte in human skin. Photochem photobio 1999l; 69(2):148-53
20. Pinnell SR. Cutaneous photodamage, oxidative stress, and topical antioxidant protection. J Am Acad Dermatol 2003; 48:1-19



Artikel Lainnya