translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Peritonitis

Peritonitis generalita skunder adalah infeksi pada peritoneum yang disebabkan oleh sumber mikroorganisme akibat kelainan anatomi atau kebocoran organ intra abdomen di dalam kavum peritonii Kelainan yang memungkinkan menjadi penyebab ialah apendisitis perforasi, perforasi ileum, perforasi ulkus peptikum, perforasi gaster, perforasi vesika felea, pankreatitis akut, perforasi kolon maupun strangulasi, penyebaran dari ginekologi serta akibat pembedahan pada masa pasca bedah. Penderita peritonitis datang dalam keadaan dehidrasi karena terkumpulnya cairan dalam ruangan interstitial maupun transelular, muntah, evoporasi yang berlebihan akibat panas maupun ‘intake’ cairan yang kurang.

Untuk tindakan rehidrasi mutlak diperlukan agar penderita bisa dioperasi dalam keadaan yang lebih baik dan mortalitas operasi bisa ditekan. Dalam pemberian cairan dan elektrolit tidak hanya untuk koreksi cairan yang hilang tetapi perlu diberikan juga cairan rumatan. Jumlah cairan dan jenis elektolit untuk koreksi ditentukan dari jumlah dan komposisi cairan yang hilang.
Anantomi dan Fisiologi
Peritoneum merupakan suatu lapisan tunggal yang terdiri dari sel mesotel di atas jaringan ikat longgar yang berisi sel-sel lemak, makrofag, serabut kolagen dan elastis. Peritoneum pariental adalah peritoneum yang melapisi seluruh rongga abdomen, diagfragma dan pelvis, sedang peritoneum viseralis adalah peritoneum yang melapisi seluruh organ visera intra abdomen dan penggantungnya.
Peritoneum parientalis mendapat persarafan dari saraf aferen somatik dan viseral, yang sifatnya sangat sensitif hingga mirip dengan kulit. Bagian yang paling sensitif pada bagian ventral, sedangkan yang kurang sensitif pada bagian pelvis. Sifat ini memungkinkan untuk melokalir stimulus dan memudahkan dignosa klinis penyakit-penyakit akut intra abdominal, dimana didapatkan nyeri tekan lepas dan tahahan otot di atasnya / ‘defans musculer’. Peritoneum viseralis hanya mendapat persarafan dari sistem otonom yang relatif tidak sensitif, sehingga tidak dapat melokalisir dan biasanya hanya merespon terhadap rangsangan yang berupa tekanan, tarikan atau distensi. Luas permukaan peritoneum ± 1,5-2 m² / hampir sama dengan luas permukaan tubuh. Pada keadaan normal rongga peritoneum berisi ± 100 ml cairan yang berfungsi sebagai pelicin. Peritoneum dapat berlaku sebagai suatu membran semipermeabel yang memungkinkan transport air, elektrolit, peptida dan molekul-molekul kecil lainya. Pergerakan bahan-bahan tersebut melalui membran peritoneum, saluran linfe trans-diafragma juga berperan dalam cairan dari rongga peritoneum.
Patofisiologi
Respon tubuh terhadap inflamasi pada peritoneum berupa respon primer dan respon sekunder. Respon primer berupa : inflamasi membran : hiperemia yang diikuti dengan transudasi, edema dan kongesti vaskular dalam jaringan subperitoneal. Abdsorsi melalui peritoneum yang inflamiasi terganggu hingga molekul-molekul besar dapat lewat, transudasi cairan yang mengandung protein diikuti oleh diapedesis lekosit polimorfonuklear, sebaliknya toksin dan bahan-bahan lain dalam rongga peritoneum diabsorsi dan masuk ke dalam aliran limfe dan darah, yang dapat menyebabkan bakteriemia hingga sepsis. Respon usus, pada awalnya berupa hipermotilitas transien, kemudian diikuti dengan ileus adinamik. Usus mengalami distensi dan terjadi timbunan udara serta cairan di dalamnya. Hipovolemi disebabkan oleh reaksi vasodilatasi dan timbunan cairan intravaskular dan intersisiel ke dalam rongga peritoneum yang kemudian tertangkap ke dalam jaringan longgar subperitoneal. Selain itu juga disebabkan oleh timbunan cairan dalam rongga usus yang berasal dari cairan ekstraselular. Translokasi cairan, elektrolit dan protein ke dalam rongga ketiga dapat mencapai 4-6 liter dalam 24 jam.
Respon sekunder terdiri dari respon endokrin, jantung, respirasi ,ginjal dan metabolik. Respon endokrin berupa pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal yang menyebabkan vasokontriksi, takikardia dan berkeringat. Selain itu, aldosteron dan antidiuretik juga meningkat sebagai respon terhadap hipovolemi dalam upaya menahan air dan natrium, namun pada kenyataannya retensi air lebih besar hingga terjadi hiponatremi. Respon jantung disebabkan oleh penurunan volume cairan ekstraselular dan progresifitas dari asidosis. Defisit volume menyebabkan penurunan aliran balik vena dan menurunkan curah jantung, sebagai kompensasi frekuensi denyut jantung meningkat tapi tidak dapat mengembalikan seluruh curah jantung. Asidosis menyebabkan gangguan kontraktilitas jantung dan penurunan curah jantung, hingga sulit mempertahankan perfusi jaringan dan metabolisme aerob. Respon respirasi pada walnya mungkin berupa peningkatan frekeunsi nafas yang distimulir oleh hipoksia dan mulai terjadinya akumulasi asam yang merupakan prioduk dari metabolisme aerob. Kemudian terjadi penurunan volume ventilasi dan atelektase basis paru sebagai reaksi terhadap distensi abdomen akibat ileus adinamik dan hambatan gerak nafas. Respon ginjal terhadap hipovolemi dan penurunan curah jantung berupa peningkatan ekskresi hormon anti diuretik dan aldostreron, sedang penurunan aliran darah ginjal menyebabkan penurunan laju fitrasi glomerulus dan aliran urin tubulus, hingga pruduksi urin minimal dan didapatkan kecenderungan terjadinya asidosis metabolik. Umumnya terjadi peningkatan rata-rata metabolisme yang berkaitan dengan kebutuhan oksigen perifer, namun karena kapasitas paru dan jantung untuk suplai oksigen berkurang, maka terjadi metabolisme anaerob di otot dan jaringan perifer lainya. Produk metabolik yang terjadi tidak berhasil dikeluarkan oleh ginjal dan terjadi metabolik. Keadaan ini dikompensasi dengan peningkatan respirasi, namun berlangsung untuk sementara karena perfusi yang kurang maka otot-otot pernafasan akan mengalami kelelahan. Untuk memenuhi kebutuhan energi glikogen hepar digunakan dan mobilisasi lemak melalui sekresi defisit energi. Katabolisme protein mulai terjadi pada awal peritonitis dan berlangsung terus aikbat penimbunan albumin dalam rongga peritoneum.
Skor Apache II
APACHE II (Acute Physiology dan Chronic Health Evaluation) merupakan perkembangan dari skoring APACHE mulai diajukan oleh Knaus, WA, dkk pada tahun 1981, cara ini mengklasifikasikan beratnya penyakit dengan menggunakan prisip dasar fisiologi tubuh untuk menggolongkan prognosa penderita terhadap resiko kematian pada kasus-kasus bedah, trauma, evaluasi penanganan/perawatan penderita di ICU dan uji penggunaan obat antibiotika.
Dalam bidang ilmu bedah, skor APACHE II digunakan untuk menentukan prognosa penderita pada saat preoperasi dan menentukan jenis tindakan yang akan dilakukan, dengan tujuan agar tindakan tidak makin memperberat kondisi penderita untuk mencapai kesembuhan. Pada perkembangan selanjutnya, cara skoring ini digunakan untuk eavuasi kasus peritonitis. Dari berbagai hasil penelitian penggunaan skor APACHE pada kasus peritonitis generalisata terdapat beberapa pndapat mengenai pnentuan besar skor untuk mlalkukan tindkan operasi. Wittmann dkk, menyarankan tindakan operasi pada skor < 11, sedangkan pada skor 11-20 mengupayakan perbaikan kondisi penderita dalam waktu singkat hingga skor dapat diturunkan sampai dibawah 11 hingga dapat dilakukan operasi segera, sedang untuk skor 20 langsung dilakukan drainase. Skor APACHE II dari 3 kelompok, yaitu skor fisiologi akut (12 variabel, maksimium 60), skor penyakit kronis (maksimum 5) dan skor umur (maksimum 6), hingga seluruhnya 71.
Skor penyakit kronis ditentukan berdasarkan riwayat penyakit yang menyangkut kelainan organ hepar sirosis, perdarahan traktus gastrointestinalis bagian atas akibat hipertensi portal, enselopati sampai koma, kardiovaskular (dekompensasi kordis derajad IV), pulmo (hipertensi pulmonal, hipoksia kronis), ginjal (hemodialisa/peritoneal dialisa kronis), gangguan imunologi (sedang dalam terapi imunosupresi, kemoterapi, radiasi, steroid jangka panjang atau dosis tinggi, menderita penyakit yang menekan pertahanan terhadap infeksi, misalnya leukemia, limfoma atau AIDS), dalam waktu 8 bulan sebelum sakit/dirawat, bila didapatkan salah satu diantaranya maka diberi nilai 5. Selain itu untuk pasien pasca bedah cito diberi nilai 5, sedangkan pasca bedah elektif diberi nilai 2.
Pemberian Cairan dan Elektrolit
Melihat mekanisme kehilangan cairan tersebut (seperti pada patofisiologinya) maka jenis cairan pengganti menjadi jelas yaitui cairan ekstraselular (misalnya rionger laktat), plasma (fresh frozen plasma) atau darah bisa dipertimbangkan bila diperlukan untuk koreksi dan untuk mengkompensasi kehilangan dan gangguan sintesa protein.
Yang menjadi masalah adalah kesulitan menentukan jumlah ciaran yang hilang. Karena kesulitan menentukan jumlah tingkat luas inflamasi peritoneum. Karena kesulitan ini maka monitoring yang ketat dari respon terhadap pemberian cairan dalam jumlah banyak dalam waktu cepat harus selalu dilakukan. Dalam keadaan ini pengukuran CVP atau pemasangan Swan-gans kateter menjadi sangat membantu. Dalam praktek estimasi kehilangan cairan sesuai dengan tingkat dehidrasi pada ileus.
1. Menentukan jumlah cairan yang hilang
a. Dari berat badan
kehilangan cairan = berat badan normal - berat badan sekarang
kesulitan : tidak tahu berat badan sebelumnya, tidak ada timbangan tempat tidur, cairan dalam lumen usus ikut diperhitungkan
b. Dari serum Na+

kesulitan: tidak selalu serum Na+ bisa terukur, hasil tidak bisa segera bisa didapat, hanya bisa dipakai pada hipernatremi
c. Berdasarkan derajad dehidrasi
Menurut Jarrel dan Carabasi (1991)
Dehidrasi ringan: kehilangan cairan 3% dari total cairan tubuh, dengan keluhan utama haus
Dehidrasi sedang: khilangan cairan 6% dari total cairan tubuh, dengan tanda klinis menjadi lebih jelas, haus nyata dengan mukosa mulut yang kring, ketiak dan lipat paha kring, turgor kulit turun
Dehidrasi berat: kehilangan cairan 10% dari total cairan tubuh, dengan tanda klinis gejala diatas makin menonjol, ortostatik hipotensi sampat syok, gelisah dan merancau.
Menurut Swartz, Shires dan Spancer (1991)
Dehidrasi ringan : kehilangan cairan 4% BB
Dehidrasi sedang : kehilangan cairan 6% BB
Dehidrasi berat : kehilangan cairan 8% BB

2. Jumlah cairan yang diberikan
Cairan yang hilang (defisit)+
Cairan rumatan (maintenance) : 2 cc/Kg BB/Jam +
Kenaikan panas 1ÂșC, koreksi : 12,5% x maintenance+
Pengeluaran cairan dari NGT

3. Jumlah pemberian cairan
Koreksi gangguan cairan dan elektrolit diharapkan dicapai dalam 6 jam setelah penderita masuk, sehingga operasi bisa segara dilakukan.
Dari jumlah keseluruhan cairan yang dibutuhkan setengahnya diberikan dalam waktu 6 jam, tetapi pada penderita yang tua dan kemungkinan gangguan jantung harus berhati-hati.
Ada yang menganjurkan koreksi setengah dari defisit dalam 12-24 jam, kemudian dilakukan pengecekan kembali status kardiovaskular dan tingkat rehidrasi yang terjadi.

4. Kebutuhan elektrolit
Kebutuahan Natrium : 1,5 (1-3) meq/KgBB/hari
Kebutuhan Clorida : 1,5 (1-3) meq/Kg BB/hari
Kebutuhan Kalium : 1 (1-2) meq/KgBB/hari
Ditambah defisit dari hasil pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut:
Untuk Natrium : 0,6 x BB x (Kadar normal-hasil laboratorium)
Untuk Kalium : 0,3 x BB x (kadar normal-hasil laboratorium)

5. Monitoring
Yang sangat penting adalah monitoring selama pemberian infus, perhatikan:
Tanda vital (tensi, nadi, temperatur, kesadaran)
Tanda turgor kulit
Diuresis (dianggap telah ter-rehidrasi bila produksi urin stabil antara 0,5-1cc/KgBB/jam)
Adanya edema paru (ronki basah halus basal paru)
Edema palpebra dan vena jugularis yang mengembang menunjukan adanya over hidrasi.
Kesimpulan
Penentuan jumlah dan jenis cairan yang hilang pada peritonitis sangat penting untuk melakukan koreksi cairan pra-bedah. Koreksi diharapkan telah terjadi dalam waktu 6 jam sehingga penderita sudah siap operasi, ini akan menurunkan angka mortalitas maupun morbilitas. Monitoring yang ketat untuk hindari terjadinya komplikasi sangat diperlukan.


  1. Ellis H, Acute Secondary Peritonitis, In Mangingot’s abdominal Operations, 9thEd, Vol1
  2. Riwanto, Koreksi Cairan dan Elektrolit pada Penderita Ileus Obstruksitivus dan Peritonitis, pertemuan ilmiah Regional IKABI, Semarang 1995.
  3. Schwartz, Sheris,Spencer, Buku Ajar ilmu bedah, Acut Abdominal , ECG, Jkrta, 1997
  4. Sabiston, Acut abdominal, Buku Ajar Ilmu Bedah, ECG- Jakarta, 1996
  5. Wittmann DH, Intra-Abdominal infections; Pathophysiology and Treatment, Marcel Dekker Inc, New York, 1999.




Artikel Lainnya