translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Penyakit Paru Obstruktif Menahun - PPOM

Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan sekelompok penyakit paru dengan etiologi tak jelas, yang ditandai oleh perlambatan aliran udara yang bersifat menetap pada waktu ekspirasi paksa.
PPOM yang terdiri dari bronkitis kronis, emfisema paru/bentukan campuran merupakan penyakit kronik saluran nafas yang ireversibel, berlangsung secara lambat dan progresif. Bronkitis kronis dan emfisema paru merupakan dua jenis proses yang berbeda, tapi kedua penyakit ini sering ditemukan bersama-sama pada penderita PPOM. Berbagai faktor berpengaruh untuk menimbulkan PPOM, tetapi faktor merokok dan polusi udara merupakan 2 faktor yang sangat berperan untuk menimbulkan PPOM.


Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok, tetapi telah pula menimbulkan pencemaran lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan masalah merokok, mengakibatkan penyakit Bronchitis kronik dan emfisema paru menjadi suatu masalah besar. Di inggris dan AS penyakit paru-paru menahun merupakan salah satu penyebab utama ketidakmampuan penderita untuk bekerja dan kematian. Di AS Terdapat 7,5 jt penderita bronchitis kronik dan 2,1 juta penderita emfisema paru. Di Indonesia belum banyak dilakukan studi epidemiologi maupun penelitian lain tentang penyakit ini. Di RS Persahabatan Jakarta, Nawas dkk mendapatkan 26% penderita yang berobat adalah PPOM, kedua terbanyak setelah penyakit TB Paru. Tetapi penderita bronkitis kronik dan emfisema paru yang dirawat di sub unit Pulmonologi RS Hasan S/FK-Unpad selama 1968-1878 adalah 6,21% dari seluruh penderita paru merupakan ke-6 terbanyak. Penelitian tahun 1995-1999 di RS Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional menunjukkan bahwa penyakit PPOM menduduki peringkat ke-5 dan ke-4 dalam jumlah penderita yang dirawat
Definisi
A. Bronkitis Kronik
Definisi bronkitis kronik adalah suatu definisi klinis yaitu batuk-batuk hampir tiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahunnya dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun. Beberapa penyakit lain juga memberikan gejala yang sama antara lain TB Paru, bronkiektasis, tumor paru, asma bronkial. Karena itu penyakit-penyakit tersebut harus disingkirkan dulu sebelum diagnosis bronkitis kronik dapat ditegakkan. Kadang sukar membedakan antara bronkitis kronik dan asma bronkial, malahan dapat timbul bersamaan pada seorang penderita. Bronkitis kronik dapat dibagi atas:
  1. Simple chronic bronchitis: bila sputumnya mukoid.
  2. Chronic/recurrent mucopurulent bronchitis: Dahak mukopurulen.
  3. Chronic obstructive bronchitis: + Obstruksi saluran nafas menetap.
B. Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan definisi anatomik, yaitu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai melebarnya secara abnormal saluran udara sebelahdistal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus.
Patologi
A. Bronkitis Kronik
Kelainan Utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus. terjadi sekresi mukus yang brlebihan dan lebih kental. Secara histologi dapat dibuktikan dengan membandingkan tebalnya kelenjar mukus dan dinding bronkus. Angka ini dinamakan indeks Reid. Normalnya adalah 0,26. pada bronchitis kronik rata-rata 0,55. Terdapat juga peradangan difus penambahan sel mononuclear di sub mukosa trakeo bronchial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. pada penderita yang sering mengalami bronkospasme, otot polos saluran bertambah dan timbul fibrosis peribronkial. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran nafas kecil yaitu hiperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa, edema, fibrosis peribronkial, penyumbatan mukus intraluminal dan penambahan otot polos.

B. Emfisema Paru
Pd emfisema paru terdapat pelebaran secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Menurut American Thoracic Society (1962) dibagi atas:
1. Paracicatricial : terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru.
2. Lobular : Pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di asinus/lobulus sekunder. Menurut tempat proses yaitu:
  • Sentro lobular: kerusakan di sentral asinus. Distalnya normal.
  • Panlobular: kerusakan terjadi di seluruh asinus.
  • Tak dapat ditentukan: kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat ditentukan dari mana mulainya.

Emfisema sentolobular sering ditemukan pada pria perokok, biasanya pada lobus atas dan menyertai penderita bronkitis kronik. Emfisema panlobular terdapat pada penderita defisiensi a-1-antitripsin dan sering menyertai proses degeneratif/penderita bronkitis kronik. Timbul pada lobus bawah paru.
Patogenesis
Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronkitis kronik dan emfisema paru yaitu rokok, infeksi dan polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial.
1. Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronik dan emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) 1 detik. Scara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernafasan. juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton dan Douglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar dan surfaktan.

2. Infeksi
Menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun lebih berat. Infeksi saluran pernafasaan bagian atas pada seorang penderita bronkitis kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronkitis kronik disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae.

3. Polusi
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab penyakit diatas, tetapi bila ditambah merokok, risiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan bronkitis adalah zat-zat pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2 O, hidrokarbon, aldehid, ozon.

4. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak, kecuali pada penderita dengan defisiensi a-1-antitripsin yang merupakan suatu protein. Kerja enzim ini menetalkan enzim proteolitik yanga sering dikeluarkan pada peradanagan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi a-1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif, yang sering menderita emfisema paru adalah penderita dengan gen S/Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

5. Faktor Sosial Ekonomi
Kematian pada penderita bronchitis kronik ternyata lebih banyak pada gol. sosial ekonomi rendah. Mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

6. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Di daalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak ada kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan akan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel PMN dan makrofag alveolar (PAM = Pulmonary alveolar macrophage). Perangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi, menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem anti elastase yaitu sistem ensim a-1 protease-inhibitor terutama ensim a-1 anti tripsin (a-1 globulin), menjadi menurun. Akibat tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru dan kemudian emfisema.
Patofisiologi
Penyempitan saluran pernafasan terjadi pada bronkitis kronik maupun pada emfisema paru. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. pada bronkitis kronik sesak nafas terutama disebabkan karena perubahan pada saluran pernafaasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang terjadi obliterasai.
Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernafasan besar juga berubah. Timbul terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga saluran pernafasan lebih menyempit. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran pernafasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita emfisema paru dan bronchitis kronik, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan vetilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Tergantung dari kerusakannya, dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/ tidak ada, akan tetapi perfusi baik. sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah alveoli, tidak sama dan merata. Timbul hipoksia dan sesak nafas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. terjadi HT pulmonal, yang dalam jangka lama dapat timbulkan kor pulmonal.
Manifestasi Klinis
1. Keluhan
Manifestasi klinis dapat beragam mulai dari bronktis ringan tanpa gangguan sampai keadaan berat yang menyebabkan gagal nafas. pada brokitis kronik keluhan utama adalah batuk, berdahak dan sesak nafas. Sedangkan pada emfisema paru keluhan utama adalah sesak nafas dan batuk berdahak tidak begitu mencolok. Batuk biasanya pagi hari yang sering dikatakan karena merokok. Penderita sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita Tanya langsung.
Makin lama batuk makin berat, timbul siang maupun malam, penderita terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran nafas, batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi hilang. Bila batuk berdahak biasanya sputum berwarna putih (mukoid), sputum menjadi purulen/muko purulen dan kental bila terjadi infeksi. Adanya hemoptisis harus dipikirkan penyakit lain antara lain TB, bronkiektasis/tumor. Keluhan sesak nafas akan timbul lebih dini dan lebih cepat bertambah pada emfisema paru. Tetapi pada kedua penyakit tsb, bila timbul infeksi, sesak nafas akan bertambah, kadang-kadang disertai tanda-tanda payah jantung kanan, lama kalamaan timbul kor pulmonal yang menetaap. pada hipoksemia/hiperkapnia berat, dapat timbul keluhan neurologis seperti kesadaran menurun sampai koma, sakit kepala, tremor dan twitching.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang-kadang terdengar ronki pada waktu ekspirasi dlm. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai bising mengi. Juga didptkan tanda-tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter antero-posterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah. pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara nafas dan suara jantung lemah. Kadang-kadang disertai kontraksi otot-otot pernafasn tambahan.
Lebih sering didapatkan hernia inguinalis. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung dua akan lebih keras, terutama diruang intercostals II dan III sebelah kiri. Penderita yang lebih banyak bronkitis kroniknya, pada stadium lanjut biasanya terlihat gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pnafasan tambahannya pun tidak digunakan. Penderita yang lebih banyak emfisema parunya, pada stadium lanjut tlihat sebagai Padaerita yang kurus, sesak nafas, terlihat menggunakan otot-otot pernafasan tambahan. Bila duduk biasanya mmbungkuk dengan kedua tangannya dimuka sebagai penahan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOM bertujuan untuk menghilangkan/mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenasi dapat kembali normal, keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit secara garis besar penatalaksanaan PPOM dibagi 4 kelompok; penatalaksanaan umum, penggunaan obatan, O2 dan rehabilitasi.
1. Penatalaksanaan Umum
Yang termasuk dalam penatalaksanaan umum adalah pendidikan terhadap penderita dan keluarga, menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi, menghindari infeksi, menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi penderita yang punya riwayat alergi.

2. Pemberian Obat-obatan
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi/mengurangi obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Bronkodilator yang digunakan adalah golongan simpatomimetik, xantin dan antikolinergik.
Golongan simpatomimetik mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat mengurangi? produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi otot polos saluran nafas. Pemberian ß2 agonis dapat menimbulkan tremor, tetapi dengan meneruskan pemberian obat, maka biasanya gejala tremor, tetapi dengan meneruskan pemberian obat, maka biasanya gejala tremor akan berkurang. Bersaman dengan pemberian ß2 agonis ini dapat diberikan Na Kromolin. Pemberian obat simpatomimetik secara inhalasi akan mengurangi efek samping, selain itu pemberian secara inhalasi akan merangsang mobilisasi lendir. Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase yang menginaktifkan siklik AMP. Pemberian kombinasi xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis sehingga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing lebih rendah dan efek samping juga berkurang. Kadar terapi tercapai bila kadar teofilin darah 10-20 meg/ml.
Pada penderita gagal jantung dan penyakit hati, dosis aminofilin yang diberikan dikurangi. Golongan xantin ini tidak saja berguna sebagai bronkodilator tetapi juga punya efek yang kuat dan berlangsung lama dalam me? daya kontraktilitas diafragma dan daya tahan terdapat kelelahan otot pada penderita PPOM. Gol. antikolinergik seperti Ipatropium bromid punya efek bronkodilator yang lebih baik pada penderita PPOM disbanding dengan gol. simpatomimetik. Penambahan antikolinergik pada penderita yang telah mendpt simpatomimetik akan memberikan efek bronkkodilatasi yang lebih besar.
Antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut. Diperlukan pemeriksan kultur untuk mendapatkan antibiotik yang ssuai. Pemberian kortikosteroid jangka pendek dapat bermanfaat pada serangan akut yaitu pemberian prednison 40-60 mg/hari.
Pada penderita dengan hiperaktivitas bronkus, pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dan gejala penyakit Pemberian kortikosteroid jangka panjang memperlambat progrisivitas penyakit pada PPOM dengan dekompensasi kordis kiri dianjurkan pemberian digitalis, namun dosis hendaknya dipantau secara kuat. Dosis dipertahankan antara 0,125-0,25mg/hari biasanya cukup adekuat. Pemberian duretika pada pasien yang sesak nafas yang bertambah akibat edema paru da gagal jantung kanan dapat menolong. Diuretika juga berguna untuk mengurangi retensi air akibat penggunan steroid.

3. Terapi Oksigen
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu PaO2 < 55 mmHg pemberian oksigen konssentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus-menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOM terutama pada sat adanya infeksi saluran nafas.
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan ptunjuk perlunya O2 tambahan. Terapi O2 mem-perbaiki kandungan O2 arteri dan memperbanyak O2 ke jantung, otak dan organ vital lain. O2 memperbaiki vasokonstriksi pulmonalis, menurunkan tekanan vascularpulmonr yang memungkinkan ventrikel kanan me?ngisi sekuncup.

4. Rehabilitasi Meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan.
Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik ketingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterpi dapat dilakukan; latihn relaksasi, nafas, perkusi dinding dada, drainase postural dan prog uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan tertekan karena penyakitnya.
Sedangkan rehabilitasi pekerjan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. secara umum rehabilitasi ini btujuan agar dapat mengurus dirinya dan beraktivitas yang bermanfaat ssuai dengan kemampuan.
Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis pada waktu berobat. Penderita dengan penyakit yang lebih banyak emfisema paru, akan lebih baik daripada penderita yang penyakitnya lebih banyak bronkitis kronik. Penderita dengan sesak nafas ringan (<50 tahun), 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan. Tetapi bila penderita datang dengan sesak sedang, maka 5 tahun kemudian 42% penderita akan sesak lebih berat dan meninggal.
Kesimpulan
PPOM merupakan penyakit paru dengan etiologi tidak jelas, yang ditandai oleh perlambatan aliran udara yang bersifat menetap pada waktu ekspirasi paksa. Penyebab yang paling sering adalah bronkitis kronik dan emfisema paru. Menaiknya jumlah penderita PPOM dapat disebabkan oleh berbagai faktor a.n; bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk, bertambahnya polusi udara dan meningkatnya jumlah perokok serta makin dininya usia mulai merokok. tetapi rokok dan polusi merupakan 2 faktor yang sangat berperan untuk PPOM.

  1. Erlina, 1999, Penatalaksanan kor Pulmonal pada PPOK, Jurnal Kardiologi Indonesia, 24 (4), 169-74, Jakarta.
  2. Kurt J. et.,2000 Al, dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih Bahasa: Ahmad H. Asdie, Vol. 3, EGC , Jakarta.
  3. Price,1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed.4, EGC,689-95, Jkt.
  4. Soeparman,1990, Buku Ajar IPD, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, 753-62, Jakarta.
  5. Yunus, F.,1996, Masalah Penyakit Paru Di Masa Mendatang, Majalah Kedokteran Indonesia, 46(4), 163-4, Jakarta.
  6. ---, 1997, Penatalaksanan Penyakit Paru Obstruksi, Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 26-32, Jakarta,
  7. ---, 1997,Rehabilitasi pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Menahun, Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 33-36, Jakarta.
  8. ---,2000,Gambaran Penderita PPOK yang Dirawat Di Bagian Pulmonologi FKUI/SMF Paru RSUP Persahabatan, Jurnal Respirologi Indonesia, 20(2), 64-68, Jakarta.





Artikel Lainnya