translate

English French Japanese Arabic Chinese Simplified

Masukkan email untuk berlangganan:

Blog Archive

fblike

balacinema

Balaguris89

IDIonline

Membership P2KB IDI

widgeonline dan amungonline kirteng

bg banner dan widgeopr

networkedblogs

iklan adsensecamp

Limfogranuloma Venereum

Limfogranuloma venereum (Limfopatia venereal, limfogranuloma inguinale) adalah infeksi fokal yang infeksius dan kontagius yang disebabkan oleh serotipe tertentu dari Chlamydia trachomatis (L1-L3) dengan kemungkinan terjadi infeksi asenden melalui pembuluh limfe, kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual dan biasanya berlokasi pada daerah genito-anal (Rassner dan Steinert, 1995). Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan sub tropik, penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyak dari pada wanita dan biasanya terjadi pada umur seksual aktif (Djuanda, 2001). Limfogranuloma venereum merupakan penyakit yang jarang ditemukan di Amerika utara, Eropa, Australia. Prevalensi tertinggi ditemukan di Afrika bagian timur dan barat, India, Asia tenggara dan Amerika selatan (Perine dan Stamm, 1999). Sejak tahun 1950, negara-negara di Eropa melaporkan kasus limfogranuloma venereum tidak pernah lebih dari satu lusin. Sedangkan di Amerika Serikat kasus limfogranuloma venereum setiap tahunnya sekitar 595 kasus. Negara Ethiopia melaporkan kasus limfogranuloma venereum setiap tahunnya sampai beberapa ribu kasus (Perine dan Stamm, 1999).

Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) ialah penyakit venerik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering ialah sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar gatah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang tidak serentak (Djuanda, 2001).
Sinonim
Menurut Perine dan Stamm, 1999, sinonim dari limfogranuloma venereum ialah tropical or climate bubo, strumous bubo, paradenitis inguinalis, Durand-Nicolas-Favre disease, lymphogranuloma inguinale. Sedangkan menurut Mulyono, 1986, sinonimnya ialah Limfogranuloma tropikum, limfopatia venereum.
Epidemiologi
Penyakit ini dapat timbul secara endemik di seluruh dunia. Paling banyak dijumpai di daerah yang beriklim panas, jarang pada daerah yang beriklim dingin. Angka prevalensi yang tinggi terutama terjadi pada orang Negro dan kulit berwarna, yang diperkirakan ada hubungannya dengan keadaan higiene yang rendah. Insiden terbesar terjadi pada usia dengan kegiatan seksual yang masih aktif. Pria lebih banyak dijumpai dari pada wanita (Mulyono, 1986).
Etiologi
Limfogranuloma venereum biasanya disebabkan oleh salah satu dari ketiga serovars Chlamydia trachomatis yaitu L1, L2 dan L3 (Perine dan Stamm, 1999). Menurut Andriantodan Sukardi, 1988, penyakit ini disebabkan oleh Miyagawanella lymfogranulomatosis dari genus chlamydia yang dulunya dianggap virus. Ia mengandung RNA dan DNA. Sedangkan menurut Mulyono, 1986, penyebabnya adalah ‘Chlamydia lymfogranulomatis’, sejenis virus dari genus chlamydia. Dapat dibiakkan di dalam sel yolc sac dari embrio ayam atau perbenihan khusus untuk keperluan diagnostik.
Patogenesis
Patogenesisi terjadinya limfogranuloma venereum menurut Perine dan Stamm, 1999, yaitu: Chlamydia tidak bisa menembus selaput lendir atau kulit yang utuh, organisma inikemungkinan dapat menembus melalui laserasi dan abrasi. LGV merupakan penyakit yang dominan terjadipada jaringan limfe. Prosespatologis yang penting adalah trombolimfangitis dan perilimfangitis dengan proses penyebaran inflamasi dari nodus limfatikus yang terinfeksi ke jaringan sekitarnya. Limfangitis ditandai oleh proliferasi sel endotelial lapisan kelenjar getah bening dan penghubung kelenjar getah bening di dalam nodus limfatikus. Tempat terjadinya primer infeksi pada saluran nodus limfatikus cepat memperbesar dan membentuk area kecil, yang dipisahkan dari jaringan yang nekrosis oleh sel endotelial yang rapat. Area yang nekrotik menarik leukosit polimorfonuklear dan membesar sehingga terbentuk suatu bangunan yang khas yang berbentuk segitiga atau bentuk segi empat yang lebih dikenal dengan ‘stellate abses Inflamasi nodus limfatikus yang berdekatan disertai dengan periadenitis, dan sebagai akibat dari perkembangan inflamasi, bisul bersatu dan ruptur, membentuk loculated abses, fistula-fistula, atau sinus-sinus. Proses inflamasi terjadi selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan yang berlangsung mengakibatkan fibrosis, yang akan menghancurkan struktur nodus limfatikus yang normal dan menyebabkab obstruksi pembuluh limfe. Edema kronis dan sklerosa fibrosis menyebabkan indurasi dan pembesaran bagian yang terpengaruh. Fibrosis juga berperan dalam menyediakandarah untuk membran mukosaatau kulit, dan terjadinya ulserasi. Pada rektum mengakibatkan pembinasaan dan ulserasi mukosa, inflamasi transmural pada dinding bowel, obstruksi saluran limfatik dan pembentukan fibrotik. Pembentukanadhesi yang menentukan bagian yang lebih rendah dari sigmoid dan rektum terhadap dinding daritulang panggul dan organ yang berdekatan.
Simtomatologi
Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malaise, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea dan demam.Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal dan uretral. Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa tahun (Djuanda,2001).
Bentuk Dini
Afek primer. Setelah masa inkubasi 1 sampai 4 minggu atau bisa lebih timbul afek primer (Andrianto dan Sukardi, 1988). Biasanya berupa papulo vesikel kecil, berdiameter 2-3 cm, dalam waktu singkat mudah pecah menjadi erosi. Pada pria biasanya terletak pada daerah glans penis, prepusium, sulkus koronarius. Sedangkan pada wanita terletak pada vulva, vagina atau serviks. Lesi bersifat tidak nyeri, pada umumnya sembuh sendiri dalam waktu singkat tanpa gejala klinik yang menonjol sehingga tidak menarik perhatian dan lolos dari pengamatan. Melalui lesi primer ini kuman penyebab LGV masuk dan menyebar melalui aliran limfe mencapai kelenjar terdekat. Sindrom klinik sekunder terjadi dalam interval waktu antara 1-4 minggu setelah lesi primer dan biasanya disertai keluhan-keluhan umum (Mulyono, 1986).
Sindrom inguinal. Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan secara luas. Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria, jika afek primernya di genitalia eksterna, umumnya unilateral, kira-kira 80 %. Pada wanita terjadi, jika afek primernya pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sidrom tersebut lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada umumnya afek primer pada wanita di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat tersebut, maka yang mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar Gerota (Djuanda, 2001). Sindrom inguinal medial dimulai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal disertai rasa nyeri, teraba padat, kemudian berkembang ke arah peradangan perinodal. Terjadi perlekatan antara satu kelenjar dengan yang lain, juga dengan jaringan di bawah kelenjar serta jaringan kulit di atasnya yang tampak ungu kemerahan. Keluhan umum dapat berupa sakit kepala, demam, anoreksia, nausea dan artralgia. Kelenjar limfe iliakal dan femoral dapat juga terkena bersama-sama kelenjar limfe inguinal membentuk sekelompok bubo disebut “ettage bubonen”. Buboadenitis inguinal yang terletak di atas ligamentum inguinale dan buboadenitis femoral dibawah ligamentum inguinale tampak memanjang dari medial ke lateral, sedang ligamentum inguinal sendiri tetap utuh sehingga timbul celah panjang di antara keduanya dan disebut “sign of the groove” atau “green blatt’s sign”, suatu tanda klinik yang khas. Buboadenitis akan mengalami supurasi multilokular dan bila pecah akan menimbulkan sinus atau fistula multiple. Sindrom inguinal ini umumnya bersifat unilateral, hanya sebagian yang bersifat bilateral. Buboadenitis iliakal pada perut kanan bawah menimbulkan gejala yang mirip apendisitis. Pada wanita buboadenitis inguinal ternyata sangat jarang karena perbedaan aliran limfe dari vulva dan vagina pada umumnya menuju ke kelenjar limfe perirektal Gerota dengan gejala awal nyeri pada pinggang bawah (Mulyono, 1986).

Bentuk lanjut
Pada pria dapat ditemukan “cicatrical inguinal” yang dalam derajat berat dapat menimbulkan edema dan elephantiasis tungkai. Pada wanita kelainannya akan lebih parah dari pada wanita.
Sindrom genital. Pada pria, sindrom genital biasanya terbatas pada genitalia eksterna sedang pada wanita selain genitalia eksterna juga genitalia interna (Mulyono, 1986).
Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial, sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada pria, elephantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan klitoris, disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elephantiasis genitor-anorekta dan disebut Sindrom Jersild (Djuanda, 2001).
Sindrom anorektal. Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria homoseksual, yang melakukan senggama secara genitoanal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, jika senggama dilakukan dengan cara genito-anal. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan rektum (Djuanda, 2001). Penjalaran dari kelenjar Gerota menimbulkan proktitis, ulserasi mukosa rektum, sekret rektum purulen dan bisa berdarah. Lebih lanjut bisa menimbulkan abses perirektal, fistula rektovasikal, rektovaginal dan fistula in ano serta obstruksi usus dan kesulitan defekasi (striktura rekti) (Andrianto dan Sukardi, 1988).
Sindrom genital lanjut. Ditandai oleh edema kronik yang dapat menimbulkan indurasi dan hiperplasi labia secara poliploid dengan lobulasi dan papilla. Keadaan ini disebut “elephantiasis labiae” (esthiomene). Orifisium uretra eksterna tertarik ke bawah akibat prolaps dinding ventral vagina (visbek uretrae). Kadang-kadang tampak hipopigmentasi atau hiperpigmentasi kulit pada genitalia eksterna. Ulserasi vagina dapat menembus ke vesika urinaria sehingga timbul fistula vesikovagal.
Sindrom anogenital lanjut. Ditandai oleh perubahan-perubahan pada vulvoanal, rektovaginal, dan anosigmoidorektal. Limfangitis dan perilimfangitis kronik pada vulvoanal menimbulkan hiperplasi induratif, pada penekanan oleh kedua paha mengubah elephantiasis tersebut menjadi gepeng dan disebut “Buchblatt condyloma”. Ulserasi kronik pada rektum atau sigmoidorektum berakhir dengan jaringan parut sehingga terjadi striktur. Ulserasi pada rektum dapat menembus vagina sehingga terjadi fistula rektovagina. Abses perirektal dapat berlanjut menjadi fistula perianal dan bila sfingter ani terkena akan timbul inkontinensia alvi. Akibat striktur pada rektum sering terjadi kolitis ulseratif atau protokolitis (Mulyono, 1986).
Sindrom uretral. Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth uretra dan penis melengkung seperti pedang Turki (Djuanda, 2001).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi
Pada gambaran darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meninggi. Peninggian ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tak khas untuk LGV, lebih berarti untuk menilai penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun. Sering terjadi hiperproteinemia berupa peninggian globulin, sedangkan albumin normal atau menurun, sehingga perbandingan albumin-globulin menjadi terbalik. Imunoglobulin yang meninggi ialah IgA dan tetap meninggi selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama dengan LED menunjukkan keaktifan penyakit (Djuanda, 2001).

Tes Frei
Antigen Frei didapat dari penderita LGV yang belum perforasi dengan melakukan pungsi dari abses yang telah masak. Usahakan agar pus tidak tercampur darah (krem kekuningan). Setelah diencerkan 5 kali dengan larutan PZ kemudian dilakukan pasteurisasi. Sebanyak 0,1 ml antigen Frei disuntikkan intradermal sehingga terjadi benjolan kulit sebesar ± 10 mm di daerah volar lengan bawah dan pada lengan yang lain disuntikkan 0,1 ml PZ steril sebagai kontrol. Pembacaan dilakukan setelah 48-72 jam.
Tes Frei dikatakan positif bila teraba indurasi kemerahan selebar 5 mm atau lebih. Kadang-kadang indurasinya kecil untuk hal ini dapat dibuat ketentuan bahwa bila terdapat eritema selebar 10 mm atau lebih maka dapat dikatakan positif (Prakken cit Mulyono, 1986). Menghilangnya indurasi terjadi setelah 4-5 hari atau dapat bertahan 2-3 minggu. Buboadenitis yang timbulnya 10 hari atau lebih memberikan hasil positif. Bila ternyata negative, dilakukan tes ulangan selang waktu 3-5 hari. Dikatakan bahwa tes Frei akan positif pada saat buboadenitis LGV sudah lebih dari 2 minggu (Moschella dkk cit Mulyono, 1986) atau 5-8 minggu setelah senggama tersangka (Prakken cit Mulyono, 1986) atau 12-14 hari setelah lesi primer muncul (Schachter dan Abraham chit Mulyono, 1986). Perlu diingat bahwa pada orang yang pernah menderita LGV juga memberikan tes Frei positif. Selain itu tes ini kurang spesifik karena akan memberikan reaksi yang paling kuat. Juga tes yang negative tidak berarti menyingkirkan diagnosis LGV, perlu diulangi dengan selang waktu 3-5 hari (Mulyono, 1986).

Tes fiksasi komplemen
Tes tersebut lebih peka dan lebih dapat dipercaya dari pada tes Frei dan lebih cepat menjadi positif yakni setelah sebulan. Tes ini juga memberi reaksi silang dengan penyakit yang segolongan (Djuanda, 2001). Tes ini menggunakan EAE antigen dengan titer mencapai 1/16 atau lebih sampai 1/2048. Titer kurang dari 1/16 dianggap negative, sedangkan titer 1/64 atau lebih dianggap diagnostik untuk LGV (Schachter dan Abraham cit Mulyono, 1986). Setelah LGV sembuh maka titer akan turun seperti halnya pada VDRL, tetapi pada kasus-kasus LGV yang kronik titer masih tetap tinggi (Mulyono, 1986).

Tes presipitasi radioisotop
Tes ini sangat sensitive dan spesifik. Titer dapat mencapai 1/2048. Belum ada di Indonesia (Mulyono, 1986).

Tes jenis mikroimunofluoresensi
Juga sangat sensitif dan spesifik dengan titer cukup tinggi. Dapat menentukan 15 galur imunotipe termasuk L1-L2-L3 untuk LGV (Mulyono, 1986).

Tes dengan biakan
Sedikit pus bubo dibiakkan dalam ‘yolk sac’ embrio ayam. Koloni yang terjadi diambil untuk preparat Giemsa. Perbenihan ‘irradecated Mc coy cell’ digunakan untuk membedakan ‘subgroup A Chlamydia’ terhadap ‘subgroup B pittacosis’. Koloni sejenis virus tadi diambil dan diwarnai dengan PAS (Periodic Acid Schiff). Pada pemeriksaan dengan mikroskop tampak inklusi yang mengandung glikogen pada subgroup A Chlamydia (Mulyono, 1986).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding limfogranuloma venereum menurut Djuanda, 2001, adalah sebagai berikut:
Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni pada kedua-duanya terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak dengan akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang multiple. Kecuali itu LED meninggi pada kedua-duanya, sedangkan leukosit biasanya normal. Perbedaannya, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.

Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer pada umumnya telah tiada, karena cepat hilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multupel seperti pada LGV. Pda pemeriksaan terdapat leukositosis.

Limfadenitis karena ulkus mole
Ulkus mole kini jarang terdapat. Jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih tampak. Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya tidak serentak.

Limfoma maligna
Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, biasanya tidak melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dengan gambaran histopatologiknya memberi kelainan yang khas.

Hernia inguinalis
Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada hernia tanda-tanda radang tidak ada kecuali tumor, dan pada pengejanan tumor akan membesar.
Terapi
Dahulu dianggap bahwa sulfa merupakan obat pilihan untuk terapi LGV, tetapi akhir-akhir ini obat tersebut makin berkurang khasiatnya.
kotrimoksazol, yaitu kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dikatakan lebih poten. Satu tablet terdiri atas 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim (nama dagang, misalnya: septrin bactrim), dosis sehari 2 x 2 tablet, diberikan terus menerus hingga sembuh.
Lama penyembuhan pada sindrom inguinal tergantung pada berat ringannya penyakit. Efek samping sulfa ialah anemia hemolitik, agranulositosis dan methemoglobinemia. Meskipun efek samping tersebut jarang terjadi, sebaiknya diperiksa kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis sebelum pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap minggu. Kristaluria sekarang langka dijumpai karena daya larut sulfa yang baru sangat baik. Penggunaan trimetoprim pada ibu hamil tidak dianjurkan, meskipun ada laporan yang menulis bahwa obat tersebut tidak bersifat teratogenik (Djuanda, 2001).
Bila penderita alergi terhadap preparat sulfa atau gagal dengan terapi sulfa atau terdapat infeksi lain seperti sifilis disamping LGV dapat diberikan Tetrasiklin atau Eritromisin dengan dosis 3-4 x 500 mg sehari selama dua minggu. Pada kasus-kasus kronik dapat diteruskan sampai 4 minggu atau lebih (Mulyono, 1986).
Pada sindrom inguinal dianjurkan pula untuk beristirahat di tempat tidur. Pengobatan topikal berupa kompres terbuka jika abses telah memecah, misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1/5000. Hal yang penting dikemukakan ialah tentang insisi dan aspirasi. Menurut kepustakaan tindakan tersebut tidak boleh dilakukan karena bekas insisi sukar sembuh, sedangkan bekas aspirasi akan meninggalkan fistel artifisial yang juga sukar sembuh, bahkan ada yang mengatakan insisi akan menyebabkan penyebaran kuman secara hematogen. Ada yang mengatakan pendapat tersebut tidak benar. Jika telah beberapa hari tidak ada perbaikan, hendaknya abses diinsisi. Dengan cara tersebut keluhan penderita akan berkurang dan masa penyembuhan dipercepat. Bekas insisi akan cepat sembuh seperti pada abses karena penyakit lain, asalkan obat terus diberikan (Djuanda, 2001). Pada elefantiasis labia (esthiomene) dapat dilakukan vulvektomi atau labiektomi. Striktura rekti perlu juga dilakukan tindakan dilatasi dengan ‘rektal bougies’ atau dilatator lainnya. Tindakan kolostomi dilakukan pada keadaan obstruksi rektal yang penuh (Mulyono, 2001).

Terapi pada bentuk lanjut ialah tindakan pembedahan dan kortikosteroid. Pada terapi LGV jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati (Djuanda, 2001). Tindakan epidemiologis dan perundang-undangan berupa pemeriksaan dan terapi terhadap pasangan seksual, wajib lapor seperti pada penyakit sifilis (Rassner dan Steinert, 1995).
Kesimpulan
Limfogranuloma venereum (LGV) merupakan salah satu penyakit menular seksual yang banyak terjadi di negara-negara yang beriklim panas tidak terkecuali di Indonesia tetapi jarang di negara-negara yang beriklim dingin. Penyakit ini disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Secara umum perjalanan klinik dari LGV dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu bentuk dini yang terdiri atas afek primer dan sindrom inguinal dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal dan uretral.
Terapi pada LGV dapat menggunakan kotrimoksazol dengan dosis 2 x 2 tablet, diberikan terus menerus sampai sembuh. Kalau alergi terhadap preparat sulfa dapat diberikan tetrasiklin atau eritromisin dengan dosis 3-4 x 500 mg sehari selama 2 minggu. Terapi yang lainnya dapat berupa insisi atau asopirasi. Pada terapi LGV jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati.

  1. Andrianto, P. dan Sukardi, E. 1988. Kapita Selekta Dermato-Venerologi, EGC, Jakarta : 152-154.
  2. Djuanda, A. 2001. Limfogranuloma Venereum, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI, Jakarta : 388-391.
  3. Mulyono. 1986. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, 1sted. Meidian Mulya Jaya, Jakarta : 149-152.
  4. Perine, L.P dan Stamm, W.E. 1999. Limfogranuloma Venereum, dalam Holmes, K., Mardh, P.A., Sparling, P.F., Lemon, S.M., Stamm, W.E., Piot, P. dan Wasserheit, J.N. (eds). Sexually Trasmitted Disease, 3rd ed. The McGraw-Hill Companies, New York : 423-430.
  5. Rassner dan Steinert, V. 1995. Buku Ajar dan Atlas Dermatologi, 4th ed. EGC, Jakarta : 355-356.




Artikel Lainnya